Karin butuh beberapa hari untuk keluar dari sarangnya sejak satu minggu lalu.
Ia telah mengurung diri di kamar, menjalani proses healing yang ia harap dapat berlangsung dengan baik. Tapi kenyataannya tak pernah selaras dengan keinginan seorang Karin. Dia masih belum bisa menghapus nama Xavier dari pikirannya. Lelaki itu masih menjadi pemegang tahta tertinggi di dalam hati seorang Karin, meski ia tahu, hati laki-laki itu berlabuh pada perempuan lain.
Seharusnya Karin tak memilih resiko itu. Beberapa temannya sudah memperingatkannya, jika sebaiknya Karin tidak berhubungan dengan laki-laki yang belum kelar dengan masa lalunya. Tapi pada saat itu, Karin pikir dia bisa menaklukan hati Xavier. Tapi lagi-lagi dia salah.
Tanpa harus menjelaskannya pada Karin, binar sendu sekaligus teduh milik Xavier terasa hampa setiap kali mereka bertukar pandang. Kadang, Xavier sulit fokus ketika diajak ngobrol oleh Karin. Tetapi Karin tak mau menyerah, dia tetap teguh pada keyakinannya bahwa suatu saat Karin dapat menyelami hati Xavier.
Namun dua tahun belakangan hubungan Karin dan Xavier runyam kembali dan tidak semesra awal pacaran. Mungkin keyakinan Karin sempat terjabah oleh Xavier, hanya saja tidak berlangsung lama. Cinta Xavier pada perempuan difabel itu jauh lebih besar daripada untuknya. Dan Karin cuma bisa menerima kekalahan. Posisinya akan jauh lebih berat apabila dia mempertahankan hubungan ini hanya untuk egonya sendiri.
Karin menghabiskan waktu senggangnya dengan membaca poems book dari Lang Leav yang isinya semua tentang patah hati. Dia berharap akan cepat melupakam Xavier. Meski tidak selalu berhasil, setidaknya Karin jauh lebih stabil dibanding yang sebelumnya.
“Permisi Mbak Rin,” ujar Asisten Rumah Tangganya yang bernama Omas. Wanita paruh baya yang telah mengurusnya sejak ia berusia lima tahun itu, mengetuk pintu kamar Karin dengan sopan.
“Ya Bi Mas, masuk aja,” ucap Karin mempersilakan. Karin melangkah, menyeret kakinya demi menuju daun pintu. Seketika ia bertukar tatap dengan Omas, wanita yang telah Karin anggap seperti ibu keduanya itu langsung menghela napas saking terkejutnya melihat kondisi Karin yang lebih mirip tengkorak hidup.
Karin sejak dulu memang sudah kurus. Bobot tubuhnya tidak pernah bertambah juga berkurang, hanya saja wajahnya yang pucat pasi itu meredupkan aura kecantikan Karin yang dulu ceria.
“Non, mau nambah Camomile tea-nya nggak?” Omas menawarkan minuman kesukaan Karin. Dan tentu saja tanpa berpikir, Karin menolak. Dia enggan makan apapun karena sakit hatinya terlalu dalam.
Dia kehilangan nafsu makan, bahkan untuk bekerja saja, Karin sangat ogah-ogahan.
“Non, Non belum makan udah dua hari tiga puluh jam,” kata Omas dengan penuh keyakinan. “Makan ya, Non? Saya dikasih uang sama Bapak untuk mesenin semua makanan kesukaan Non. Sushi mau nggak Non? Yang ada gerinjel-gerinjel merahnya itu? Kesukaan, Non. Tobika,” kata Omas asal.
“Tobiko, Bi...” Karin meralat.
“Ya, apalah itu, Non. Yang penting Non harus makan. Ya? Apa perlu nih saya telepon Mas Xavi suruh suapin Non?” Ia memberi opsi lain yang jelas-jelas langsung ditentang Karin.
“Lho, kenapa toh, Non? Kan calon suami. Sebentar lagi juga akan pindah kesini sama Non. Mas Xavi orangnya baik loh, Non. Mana ganteng banget lagi. Hidungnya itu loh, pengin tak ambil buat ditempelin ke hidung Bibi, biar ngerasain gitu gimana punya hidung mancung kayak Mas Xavi...”
“Nggak Bi. Jangan panggil kesini si Xavier.”
“Berantem ya, Non? Kalau orang mau menikah, emang banyak banget tantangannya. Yang sabar ya, Non. Saya yakin Mas Xavi nggak seperti itu orangnya...”
“Bi, Xavier sama aku sekarang sahabatan aja. Berteman.”
Omas terlihat kaget dengan pengakuan Karin. Mata wanita itu melebar tatkala bibir bawah Karin bergetar, serta air matanya bercucuran.
“Non, kok malah nangis? Aduh, maaf ya, Non. Saya nggak tau...”
Karin menyeka air matanya sebelum ia merespon permintaan maaf Omas, “nggak apa-apa, Bi.” Ia mengibaskan tangan, “Kan Karin masih ada Papa dan Bibi. I would be okay. Kalau gitu, boleh deh, Bi. Mau sushi!”
“Siap Non. Sebentar ya, saya pesenin dulu.” Omas mengambil ponsel dari kantong bajunya dan segera membuka aplikasi online.
“Dah beres, Non. Nanti kalau udah sampe, saya bawa ke kamar ya.”
“Thanks, Bi.”
Entah sudah berapa kertas terbuang percuma di lantai marmer mewah yang dimiliki oleh pria dengan setelan jas biru donker dan kemeja putih di dalamnya.
Hari itu mungkin bukan hari keberuntungannya untuk bekerja sebab sejak pagi lelaki itu bertikai dengan pikirannya sendiri, ia mencoba menggali inspirasi, namun tak tahu mengapa, otaknya enggan bekerja sama seharian. Lihat saja bagaimana lelaki itu menghela napas dalam-dalam, membuang lagi kertas yang setengahnya baru ia garis. Ia mengusap wajahnya dengan gusar, menyambar ponselnya sambil sebelah jarinya mengetuk meja.
Pria itu masih setia duduk di kursi kebesarannya dengan tampang lesu dan tak bersemangat. Jemarinya meragu untuk menekan salah satu aplikasi yang paling haram dia buka. Yang mungkin nyaris ia hapus, tapi karena dulu terlalu banyak tugas yang harus ia kerjakan, pria itu belum sempat menghapusnya.
Dan...pada akhirnya aplikasi ini justru menuntunnya melangkah. Memberi pria itu jawaban yang benar-benar membuatnya tak percaya bahwa enam tahun ternyata tidak pernah cukup buat pria ini untuk mengerti apa arti dari kata lupa.
Dia menghela nafas lagi. Kopi yang sedari tadi telah sesuai dengan suhu ruangan bahkan tidak ia minum sedikitpun. Ia terus termangu, memandangi aplikasi itu. Sejumput rasa bersalah sempat mampir, namun setelahnya rasa itu pergi dan berganti menjadi perasaan yang sulit ia artikan.
“Pak Joseph.” Sebuah suara dari luar ruangannya membuyarkan lamunan pria itu.
“Masuk aja,” sahutnya mempersilakan. Seorang lelaki yang usianya tak begitu jauh dari pria ini langsung duduk di kursi kosong yang tersedia. Senyum kecil melambung di wajah lelaki itu.
“Ah kampret, gue kira siape,” gumam si pria saat mendapati siapa yang barusan masuk ke ruangannya. Lelaki itu bernama Surya, salah satu teman kuliah sekaligus asistennya di kantor ini. Sebenarnya masih ada satu lagi, Charles, namun Charles sedang berhalangan hadir karena harus meninjau lokasi pembangunan di daerah Lembang.
“Pake manggil gue Joseph!” Sekali lagi lelaki itu mendengus lalu tertawa lepas.
Surya ikut tertawa mendengar protes kecil sahabatnya, “kenapa? Nginget yang mana emang?”
“Ngomong sekali lagi, gue lempar nih asbak,” ancam sang lelaki sambil melotot.
“Tumben banget hari ini lo nggak keluar ruangan, sampe berantakan begini lagi.” Surya berdecak kala mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kerja laki-laki itu.
“Lagi buntu gue, ngerokok dulu yuk,” ajak lelaki itu seraya bangkit dari kursinya.
“Gue udah janji sama cewek gue nggak mau ngerokok lagi,” kata Surya. Langkah lelaki itupun seketika terhenti. Dia seperti kembali pada masa-masa mudanya dulu, saat pertama kali dia melakukan hal bodoh ketika mabuk.
“Hadeeeh, bucin,” cibir lelaki itu menertawakan Surya sekaligus menertawakan dirinya sendiri.
“Ngaca lo!” balas Surya ikut mengekeh. “Tapi ya udah nggak pa-pa, gue temenin dah. Di bawah, kan?”
Pria itu mengangguk dan segera keluar dari ruang kerjanya.
“Pak Xavier, ini ada titipan dari Mbak Karin.”
Sesampainya di lobby lelaki itu dikejutkan dengan kiriman buket bunga berukuran besar dari Karin, mantan kekasihnya. Ia yang seharusnya langsung menuju coffee shop favoritnya, lagi-lagi harus mengurungkan niat demi menerima buket bunga itu.
Seingat lelaki itu, dia telah mengirimkan sejumlah uang untuk mengganti kerugian pembatalan pertunangan mereka. Begitu juga uang florist yang sempat dipegang oleh Karin. Ia mengirimkan semuanya tanpa cuma-cuma, bahkan kalau bisa ia bilang sengaja ia lebihkan agar Karin bisa membeli semua makanan kesukaannya.
Maka dengan cepat, lelaki itu menghubungi Karin, mantannya. Sembari memegang buket bunga itu, ia menekan nomor telepon Karin.
“Rin, kan aku udah kirimin uangnya. Ini bunganya kan juga udah dibatalin? Kenapa nggak balikin ke florist-nya aja?” tanya lelaki itu tanpa memberi celah pada Karin untuk bicara.
“Xav, bunganya buat kamu aja. Florist-nya ngasih ke aku sih emang, tapi kurasa, bunganya lebih tepat buat kamu.”
“Lho? Kamu yang bener aja dong, Rin... Masa aku dikasih bunga? Emang aku meninggal sampe dikirimin bunga kayak begini?”
“Duh, udah deh, Xav. Terima aja kenapa sih?” balas Karin tak mau mendebat. “Udah dulu ya, aku lagi sibuk ngunyah sushi. Dahhh.”
Dengan perasaan terpaksa, lelaki itupun mau tidak mau menerima bunga dari mantan kekasihnya. Ia memegangnya ogah-ogahan dan meletakkannya sembarangan di meja resepsionis.
“Nanti tolong dikasih air aja, Nit. Kalo udah, taro aja di meja resepsionis atas. Saya paling males sama bunga,” titah lelaki itu pada sang karyawan.
“Siap, Pak.” Tanpa menyahuti ucapan karyawannya, lelaki itu meninggalkan lobby kantor untuk sekedar mendapat udara segar di luar ruangan.
“Pak Xav!” Lelaki itu menggeram pelan karena sudah seharian ini semua rencananya selalu terhalang. Ia pun terpaksa menoleh pada sumber suara dengan tampang kesal.
“Bisa taro di atas aja, kan?” katanya sambil menahan emosi.
“Maaf Pak, tapi tadi kertasnya jatuh. Ini, Pak.” Karyawan itu buru-buru memberikan kertas kecil pada lelaki tersebut.
“Yah elah, cuma kertas doang,” acuh lelaki itu tanpa membaca tulisannya sedikitpun.
Usai menghisap rokoknya dalam-dalam, barulah lelaki itu dapat bernapas lega. Setidaknya, pikiran lelaki itu mulai bisa diajak bekerja sama. Ia sudah siap untuk kembali ke atas dan melanjutkan pekerjaannya. Di sebelah lelaki itu, Surya sahabatnya, masih setia menemani dirinya merokok. Namun kali ini Surya tak lagi menyelipkan rokok di tangan, dia menggantinya dengan kopi pahit yang ia pesan di kedai kopi favorit mereka.
“Dalam rangka apa Karin ngirimin bunga ke elo?” tanyanya memulai pembicaraan.
“Nggak paham juga gue. Mungkin minta gue kali yang ngirim balik ke florist-nya,” sahut lelaki itu mengangkat bahu.
Surya manggut-manggut paham, lalu ia kembali berkomentar, “lagian lo sama Karin tuh udah sama-sama cocok. Tinggal selangkah lagi kalian nikah, apa sih yang ada di pikiran lo sampe Karin akhirnya mutusin?”
Pertanyaan Surya barusan sukses membuat kerongkongan lelaki itu meronta-ronta. Mendadak kering seperti Gurun Sahara, asap rokoknya menolak masuk ke tubuh tegap nan atletis miliknya.
“iMess gue.”
“Hah? iMess lo kenapa?” Surya makin tak paham dengan jawaban tak sinkron yang keluar dari mulut sahabatnya.
Sementara lelaki yang sedang menjadi narasumber Surya sore itu mengusap wajahnya beberapa kali, lalu dengan suara parau lelaki itu menjawab, “Regina.”
“What? Xav, otak lo dimana goblok?” Surya langsung memaki sahabatnya tanpa ampun. Bodo amat lelaki itu akan marah, tapi Surya dapat mengerti alasan Karin mengakhiri hubungannya dengan sobat baiknya itu.
“Udah enam tahun Xav... Lo juga nggak tahu kan dia dimana. Heran gue sama lo, cewek sebaik Karin lo buang gitu aja. Dongo.” Cacian demi cacian ia hantarkan demi menyadarkan sobatnya, tetapi jawaban pasti yang terlantur dari bibir tipis lelaki itu lebih membuat Surya meringis tak percaya.
“Gue kira dengan Karin gue bisa ngelupain dia, tapi enggak. Sama sekali nggak bisa.”
”...Gue nggak ada maksud untuk menjadikan Karin pelarian. Makanya selama dua tahun ini gue dan Karin bareng, gue nggak mau buka iMess itu. Dan emang gue sengaja non-aktifkan, karena mau fokus kuliah plus kerja, sesuai permintaan Regina. She sets me free. Dia pengen gue nemuin orang yang lebih baik...”
Lelaki itu mengusap rambut belakangnya sendiri. “...Tapi nggak bisa. Sama sekali, dan Karin tahu itu. Waktu kuliah gue udah jelasin ke Karin, kalo gue emang ke Semarang buat kuliah, ngelarin pendidikan gue. Tapi... ya lo tahu Karin gimana kan, Sur?”
Surya mengangguk setuju. Perempuan bernama Karin, yang juga salah satu teman kampusnya itu memang tidak akan pernah kapok kalau belum kejadian. Mungkin melalui iMess sahabatnya itu, Karin akhirnya mengerti jika rumah kekasihnya itu bukanlah dia, melainkan perempuan yang terdahulu.
“But did you say sorry to her?”
“Iyalah. Gila aja lo, masa enggak?” Lelaki itu kembali menyalakan bara api pada ujung rokoknya. Ini sudah batang kelima yang ia habiskan.
“Jujur aja gue sebenarnya marah banget karena lo nggak bisa mikir jernih. Tapi ya gimana ya, Xav...cinta kan pake hati, nggak pakai logika.”
“Thanks banget lho, Sur. Gue kira lo lagi nyanyi lagunya AgnezMo.” Lelaki itu malah menanggapi ucapan serius Surya dengan candaan.
“Kampret!” Surya terbahak sesaat. “Btw, kertas lo jatuh lagi tuh.” Ia menunjuk pada satu kertas tipis kecil yang terbang ke tanah.
“Ah, ini.” Lelaki itu membungkuk, kemudian memungut kertas tersebut. Dahi lelaki itu tampak mengerut, wajahnya terpasang serius saat membaca kata per kata yang tertulis di kertas tersebut.
“Kertas apa sih? Tagihan ya?” Surya sedikit memiringkan badannya guna mengintip tulisan yang tengah dibaca oleh sobatnya.
“Widih, segala pake bahasa latin. Biarawati kali nih yang bikin!” celetuk Surya, kemudian dia terbahak sendiri. Namun guyonan Surya tampaknya tidak masuk sampai ke otak sobatnya. Lelaki itu masih betah memasang wajah serius hingga beberapa saat kemudian, ia tampak tergesa-gesa menyudahi agenda ngerokoknya bersama Surya.
“Sur, gue cabut dulu ya!” ujarnya tanpa menoleh lagi ke arah Surya. Dia bahkan tak sadar telah menguji iman Surya dengan meninggalkan boks rokok beserta koreknya di lantai.
“Hadeh, Xavier. Meus In Aeternum, Iterum Amare, gitu-gitu aje ucapannya nggak berubah,” kata Surya bergumam sendiri sembari mengambil bungkusan rokok yang ditinggalkan oleh sobatnya.