noonanya.lucas

Aku langsung membelalakkan mata saat membaca pesan dari ibu tiriku, Andini. Dia butuh tujuh juta dengan tempo waktu hanya dalam seminggu? Bagaimana cara aku dapat menyanggupinya? Bekerja saja belum terikat kontrak. Perlu banyak dokumen yang kupersiapkan. Lalu dia, perempuan perusak kebahagiaan hidup Papa, tiba-tiba saja menjajah harta kami.

Menyebut namanya saja, amarah di dadaku memuncak. Sebenarnya aku amat enggan memanggilnya ibu, sifatnya yang selalu mendewakan uang membuka mataku jika wanita itu memang sengaja melakukannya.

Terbukti kan? Semenjak Papa nggak ada, aku dihantui terus olehnya. Sedikit-dikit minta uang, buat hidupnya, buat anaknya yang sebenarnya anak dia dengan suami pertamanya.

Bukannya aku enggak mau membantu ekonomi keluarga, tapi mulut pedasnya itu sungguh-sungguh menggoyahkan titik pertahananku. Kalau nggak dibantu, wanita itu pasti akan berkata yang tidak-tidak tentangku. Persis seperti mulut tetangga yang selalu heboh kalau melihat anak perempuan pulang malam.

Kata-katanya seperti ini. “Sadar dong, kamu memang anak ayahmu tapi sejak kamu ndak kuliah, ayahmu jadi bertambah bebannya.”

Bayangin. Dia yang datang pada ayahku dengan pesona medusanya, lalu dia memutar balik fakta jika akulah yang berbuat ulah. Aku sempat marah pada almarhum ayahku, karena sejak Beliau menikah dengan wanita ini, perhatian Beliau benar-benar teralihkan meski nggak sepenuhnya aku ditelantarkan.

Tapi keuangan Papa merosot jauh karena semua kartu serta gaji Beliau dipegang oleh perempuan tua itu.

Sekarang, dia kelakaban sendiri melunasi utang-utangnya. Sebagian memang utang papaku untuk pengobatan, tapi sebagian besarnya lagi... Ya hasil foya-foya perempuan itu yang belum sempat dilunasi Papa.

“Ri, gimana? Belum juga uangnya ada?”

Pagi itu mimpi burukku datang kembali. Setelah kemarin malam calon bosku alias sutradara rempong yang mengoceh tiada henti seraya menuduhku terkena penyakit mental, kini satu orang lagi mengganggu tidur nyenyakku.

Dia meneleponku sebelum fajar menyingsih. Kicauan burungpun tak terdengar, malah teriakan dompet yang terkuras karena ulahnya. Aku terpaksa mengorbankan waktu istirahatku untuk menerima teleponnya.

“Nanti, Mah. Riri harus kerja dulu,” kataku berusaha sabar.

“Lha wong kamu tuh pembantu, ndak bisa apa dapet kerjaan yang lebih oke?” Geram bukan main, aku menonjok bantalku sendiri.

“Pembantu yang Riri maksud, bukan pembantu yang kayak di sinetron, Mah.”

“Terus, yang seperti apa?”

“Kuli, kali.”

“Gimana maksudnya?”

“Ya nenteng-nenteng barang gitu di lokasi.”

“Lokasi apa???” Dia terdengar shock.

“Lokasi syuting.”

“Kamu jadi artis?”

“Enggak.”

“Itu syuting! Uangnya gede dong?”

“Riri figuran, Mah.”

“Figuran yang lewat-lewat itu?”

“Hmm.”

“Kamu padahal cakep, Ri. Nggak mau jadi artis aja?”

Dalam hati aku tertawa nyinyir dan menambahkan artian ucapannya, biar gue cepet kaya karena uang lo. Gitu kan maksudnya?

“Nggak. Riri nggak suka disorot kamera.”

“Lah, jadi figuran kan berarti keliatan mukanya. Itu mau.”

“Bos Riri cuma mau pake punggung Riri aja, Mah.”

“Punggung?”

“Ya, gitu deh. Mah, udah dulu ya, bos Riri telepon. Nanti kalo udah ada uangnya, Riri transferin. Salam buat Bella.”

“Oke. Tur suwun nggih, Nduk.”

Aku bahkan malas membalas ucapan terima kasihnya yang terasa begitu palsu.

Hari Mingguku weekend ini memang tak seindah akhir pekan biasanya.

“Namanya juga anak TV.”

Renjana duduk berjongkok di depan Tari seraya menyeruput kopinya dalam-dalam. Sedangkan gadis di hadapannya tertawa pahit usai dibuat kaget oleh perlakuan bos mereka yang ternyata serupa dengan macan di alam liar. Alias buas sekali!

Selama hampir hidup selama dua puluh delapan tahun, Mentari tidak pernah menemukan ada lelaki macam Jordy.

Mungkin penyebabnya karena dia hanya bergaul dengan anak baik-baik.
Mantannya saja modelan Renjana yang lempeng seperti jalan tol Gatot Subroto.

Diperkenalkan di dunia seperti ini tentu menambah kecemasan Tari. Lihat saja bagaimana pucatnya wajah perempuan itu sekarang. Dia bahkan tak berani membalas chat atasannya.

“Jujur, gue gak nyangka dia sejenis Jenan. Kelamaan ngeduda kali ya?” gumam Tari keheranan.

Renjana meresponsnya dengan kekehan. “Jordy, Jenan dan Teza tuh sempet dijulukin Tri Mas Getir, sama anak-anak sini, Ri. Perkara emang mereka doyan main cewek. Apalagi Teza sama Jenan. Teza barusan bercerai sama mantan istrinya, kalau Jenan, udah nikah dua kali, terus cerai juga sama istri sirinya.”

Mentari bergidik ngeri mendengar penuturan Renjana tentang perilaku tiga bosnya tersebut, persis seperti kawanan ibu-ibu komplek jika melihatnya pulang larut malam, gadis itu memasang tampang antusias, tak sabar mendengar gosip selanjutnya. “Anjir, gue kira Mas Teza single.”

Renjana tertawa, “Lo kira? Teza tuh udah beristri tapi dulu. Mereka cerai, perkara si Teza belum kapok main cewek.”

“Oh ya? Padahal gue kira dia paling bener.”

“No, lo salah. Dari mereka bertiga, yang udah tobat tuh sutradara rempong itu, Jordy.”

Mentari berdecih saat mendengar nama itu keluar lagi dari mulut Renjana, tak sudi rasanya.

“Yaelah, buta mata lo? Apa minus lo nambah? Dia ngelecehin gue!!” Mentari menyanggah berapi-api.

“Kalau soal yang satu itu gue cukup surprise sih, Ri. Mengingat dia sangat setia sama mendiang mantan istrinya.”

“Meninggalnya kenapa sih?” tanya Mentari.

“Sakit, kanker pankreas.” Seketika Mentari membungkam. Penyakit itu juga yang merengut ayah Mentari beberapa tahun lalu.

Sedihnya masih membekas hingga sekarang. Bagaimana tubuh segar bugar sang ayah mengurus bagai kerangka, kulitnya kuning dan wajahnya begitu pucat. Sangat memilukan.

“Sori...” Renjana berucap pelan saat sadar jika penyakit itu juga meninggalkan trauma besar dalam hidup Mentari.

“Sorry.” Ia berkata sekali lagi penuh sesal, tatapan ikhlas pun terlayang pada Renjana sesaat Mentari menatapnya.

“Mending bokap hepi lah, daripada hidup tapi tersiksa. Kalo gue gak relain, kasian ntar di akhirat.”

“Widihhh,” Renjana bertepuk tangan. “Seandainya sutradara rempong itu bisa kayak lo. Udah nikah lagi kali dia.”

“Ha?”

“Mentari.” Satu suara tiba-tiba saja menghentikan percakapan mereka. Renjana tampak waspada, menengok ke belakang dengan rupa panik nan ketakutan. Sedangkan Mentari masih sibuk mencerna tatapan Renjana yang tiba-tiba saja kalut.

“Apa sih, Ren?” Dua alis Mentari bertaut kebingungan.

“Mentari Gaudina!” Satu bentakan sukses mengangkat kedua bahu Mentari. Ia langsung menoleh ke belakang dan ternyata...

“Layanin saya.”

“BAPAK JANGAN MACEM MACEM YA!” Mentari menatap sang pemilik suara itu dengan pandangan berkilat-kilat. Murkanya hempas ke udara saat lelaki itu dengan bebas melipat tangan di depan dada, seolah berkata dialah yang punya kuasa atas tubuh ranum Mentari.

“Bangsat!” Mentari tak peduli apalagi yang akan dilakukan Jordy setelah menyaksikan dia meludah ke arahnya.

“Layanin saya! Bikinkan saya kopi!”

“SAYA BUKAN PEREMPUAN SEMBARANGAN, PAK!”

“Siapa juga yang mau ngapa-ngapain kamu?”

Renjana yang terhimpit dalam situasi ini pada akhirnya melangkah mundur. Dia takut pekerjaannya hilang dalam sekejap kalau-kalau melawan si harimau benggala di depannya itu. Dan tak sampai beberapa detik Renjana berhasil tak terjangkau oleh iris mata Mentari.

'Anjing emang Renjana! Malah gue ditinggal!' Mentari meracau kesal dalam hati.

“Cepet,” kata Jordy dengan nada perintah.

“Nggak mau.”

“Keluarnya cepet.”

“WTF??”

“Keluar dari sini, cepet! Kopi saya, kertas skrip saya. Bawakan semuanya.”

“Saya bukan pembantu, Pak.”

“Kamu itu,” telunjuk Jordy mengarah pada Mentari. Dengan muka meringis kesal dan helaan nafas frustasi, Jordy berkata pelan,” kamu itu PEMBANTU UMUM. Wajar kalau saya minta ini itu sama kamu. Bukan seperti apa yang kamu pikirkan.”

Mentari terdiam. Sorot matanya yang tadi menyalak, seketika meredup tatkala Jordy menjelaskan maksud 'layani saya'-nya itu. Otak kecil Mentari memang selalu demikian. Ada saja tingkahnya. Kalau tak terpakai untuk overthinking sehari saja, sepertinya tidak bisa.

“Ngerti?” ulang Jordy.

“Iya, Pak. Ngerti.” Mentari menjawab lesu, lalu ia berjalan pelan meninggalkan Jordy.

“Tunggu.”

“Apalagi ya, Pak?”

“Senin besok CV kamu drop di HRD.”

Mentari makin dibuat pongah oleh ucapan Jordy barusan. “Maksudnya, Pak?”

“Sudah lakukan saja. Saya butuh tim ekspedisi dan resepsionis.”

“Pak...” Lamat-lamat senyumpun merekah di wajah Mentari. “Bapak nyuruh saya kerja di Bapak, gitu?”

“Mau apa enggak? Kalau enggak silakan pergi dari sini.”

Mentari yang tak sadar saking girangnya langsung menyalami tangan Jordy. Berkali-kali ia menempelkan punggung tangan Jordy di dahinya, hingga lelaki itu menarik tangannya dengan gusar.

“Sadar sama posisi kamu? Kamu bawahan saya. Jangan ngelunjak.” Lelaki itu berujar angkuh.

“Maaf, Pak! Saya cuma terlalu excited. Makasih banyak, Pak. Bapak mau saya ngelayanin Bapak apalagi, Pak?”

Mendengar cerocosan panjang lebar Mentari lelaki itu tampak tak nyaman dengan ucapannya. Konotasi 'layanin' terdengar amat mengganggu hingga ia memutuskan untuk meralatnya. “Jangan. Jangan bilang layanin deh.”

“Baik, Pak. Mau kopi? Gorengan? Nasi Goreng? Apa, Pak? Biar saya pesankan.” Mentari terlihat begitu bersemangat.

“Ikutin aja semua yang ada di list breakdown syuting.”

“Baik, Pak Jordy.”

Mendengar namanya tak lagi disebut 'Ody', Jordy bernafas lega. “Panggil saya seperti itu. Pak Jordy. Ngerti?”

Mentari menganggukkan kepala. “Siap, Pak Jordy.”

“Oke sana kerja.”

“Baik, Pak. Terima kasih.”

“Napa lo?” tanya Teza pada Jordy ketika mereka sedang break syuting. Keduanya duduk di gazebo yang menjadi basecamp crew, dengan rokok ditangan serta kopi hitam di depan keduanya, Jordy secara bergantian menghisap rokok serta menyeruput kopinya dalam-dalam.

Kalau sudah seperti ini, artinya Jordy sedang dilanda stres berat. Teza paling hafal dengan sobat SMA-nya itu. Wajahnya lesu, penampilannya berantakan, kumisnya tak tercukur rapi. Tak jauh beda dengan penampilannya saat tiga tahun lalu Kirana pergi.

“Lo masih kepikiran yang tadi?” tanya Teza dengan wajah sungguh-sungguh. Kening Jordy mengerut dalam. “Sedikit.”

“Ya elah,” decak Teza heran. “Salah kali, keserimpet lidahnya.”

“But that still weird for me. Dia nggak pernah kenal gue,” keluh Jordy dengan tampang bertanya-tanya.

“Mau kenalan kali, cakep bego. Masukin di kantor aja, Jor. Biar gue sama Jenan ada hiburan.”

“Please, gue lagi serius,” tentang Jordy. Tawa Teza yang sempat mengudara seketika terhenti. Air mukanya larut dalam serius, sama seperti Jordy yang terkenal jarang bercanda.

“Iya, iya, ah elah,” sungut Teza. Dia begitu memaklumkan Jordy yang sepertinya dibuat shock oleh perempuan bernama Mentari itu. Di hari pertamanya bekerja sama dengan Jordy, Teza melihat anak itu cukup tangguh. Ia tak gentar oleh omongan sinis yang diucapkan Jordy. Malah semakin Jordy marah padanya, Mentari justru menunjukkan taringnya, seperti yang beberapa menit lalu terjadi.

“Saya nggak suka dengan apa yang kamu katakan tadi,” tegur Jordy.

“Saya juga nggak suka Bapak tidak menghargai saya walau peran saya kecil.” Kalau saja perkataan tadi hanyalah sebuah akting, pasti Teza dan Jenan akan menjadi orang pertama yang bertepuk tangan sangat meriah.

Mereka sangat bangga ada orang yang berani menentang Jordy, dalam artian sifat buruknya yang terlalu serius. Suasana syuting terkadang jadi sangat membosankan karena Jordy selalu spaneng.

“Hahahaha.” Jordy langsung menatap heran Teza yang tawanya melebur. Terdengar mengejek, tetapi Jordy lebih memilih menendam protesnya. Dia menanggapi ejekan Teza dengan pandangan datar.

“Keren banget tuh cewek. Gue ke set dulu ya, buruan lo paksu.”

“Bacot,” rajuk Jordy, menyesap rokoknya dalam-dalam. Sekali lagi ia bermonolog dalam hati, she's weird. But why I can't let my eyes of her?

“Papi tutup pintunya, Idan belajar yang bener. Papi udah selipin uang di pot, biar Idan bisa makan. Jangan jajan yang aneh-aneh ya, Dan. Papi balik kantor dulu.”

Begitu rentetan perintah Jordy pada Idan anaknya. Sepulang sekolah tadi, tanpa berlama-lama, Jordy meminta Idan masuk ke kamar, merenungi perbuatan serta sikap brutalnya. Anak itu tak langsung menurut seperti biasa. Tangisnya pecah, tantrumnya keluar, membuat kepala Jordy juga ikut terguncang karenanya.

“Papi bilang apa?” tanya Jordy sesaat Idan masih menangis sesenggukan.

“Laki-laki gak boleh nangis. Cengeng,” jawab Idan terbata-bata.

“Itu kamu tau. Udah, stop nangisnya. Pesen makan dan belajar. Kalau sudah selesai belajar, baru boleh main PS.”

Seketika wajah Idan berubah ceria. Ia tersenyum penuh harap, “main ps-nya sama Papi?”

Jordy menggeleng. “Gak bisa Idan, Papi harus ke kantor.”

“Papiii! Kan udah janji mau ajak Idan ke kantor.”

“Nanti, Papi pulang malem hari ini. Idan di rumah aja.”

“Mau ikuuuut!” kekekuh anak itu. Tak hilang akal, Idan berlari ke kamar dan membawa keluar buku-buku pelajarannya. Ia masukkan ke dalam tas, lalu menggandeng tangan Jordy.

“Idan bisa gak sekali aja dengerin Papi?”

Idan tertunduk. Lagi-lagi, dia kalah berargumen dengan ayahnya. Padahal Idan ingin tahu seperti apa pembuatan film-film yang selalu ia dengar dari mulut Jordy. Idan paham jika Jordy adalah seorang pembuat film. Setiap kali Idan menyelinap ke ruang kerja ayahnya, ia sering mendengar Jordy membahas artis-artis papan atas. Menurut Idan, pekerjaan ayahnya sangat keren. Dan ketika besar nanti, Idan ingin menjadi seperti Jordy.

“Idan mau ketemu artis,” ia beralasan. “Nggak, Idan. Papi bilang enggak, ya enggak.”

“Idan mau jadi artis kayak Mami!” kata Idan spontan, berharap sang ayah meloloskan keinginannya.

Tapi ternyata dugaannya salah. Makin Idan mengatakan keinginannya, Jordy menentangnya keras dengan wajahnya yang terpasang sendu.

Sebab profesi itulah yang akhirnya merengut hidup Kirana. Perempuan itu terlalu memforsir dirinya sampai-sampai tak sadar bila penyakit mematikan sedang menggerogoti tubuhnya.

“Papi, Idan mau jadi artis,” ulang Aidan penuh keyakinan.

“Nggak, Idan. Papi ngelarang keras kamu jadi artis. Jadi dokter lebih baik, kamu bisa menyelamatkan nyawa banyak orang.”

“Kalo Idan jadi dokter, Mami bisa bangun lagi enggak, Pi?”

Jordy tak memberi jawaban atas pertanyaan kritis putranya itu. Dia hanya menganggapnya sebagai angin lalu, karena duka dalam hati Jordy seketika terkuak lebar. “Mami...Mami bobonya udah nyenyak. Jangan diganggu.”

“Oh gitu, kalo gitu percuma Idan jadi dokter, Mami tidur terus,” sahut Idan dengan muka merengut.

“Lo yakin, Jor?” Satu pertanyaan itu terlontar dari bibir tiga sekawan Jordy yang paling tampan, Jenan, mengingat menjadi sutradara adalah kenangan terburuk bagi seorang Jordy. Maka jangan heran, ia memastikan betul kesiapan Jordy dalam mengarahkan pemain.

“Yakin.” Jordy menjawab mantap, dengan tatapan datar. Kala itu, mereka telah berada dalam ruang meeting. Beberapa talent belum sepenuhnya hadir, meski pemain utama sudah di sana.

“Dy, jangan kayak dulu ya, inget.” Teza, yang duduknya persis di sebelah Jordy menepuk pelan bahu pria itu.

“Tenang aja, gue bisa.” Jordy kembali meyakinkan. Tangannya bergerak, merogoh kantung celana sebab ponselnya tiada henti berbunyi.

Putranya, Idan, menelepon.

“Dan, Papi lagi kerja,” bisik Jordy setengah meringis, menahan kesal.

“Pak Jordy, ini saya, Pak Sapto, wali kelas Aidan.”

Sontak Jordy berdiri saking kagetnya. “Ada apa dengan Idan, Pak?”

“Idan bertengkar, dia mukul temannya. Bisa bertemu dengan saya di sekolah?”

Suara ricuh terdengar begitu jelas dari kelas 2B.

Jeritan anak-anak yang semula penuh canda dan tawa, seketika berubah menjadi lautan tangis.

Dari beberapa murid yang berdiri di depan kelas, terlihat Idan, si anak lelaki yang memiliki kulit berbeda dari teman-temannya, berdiri di tengah dengan telunjuk yang mengacung pada mereka.

“Idan bukan anak pungut!” teriak Idan sekuat tenaga membela diri. Tapi alih-alih didengarkan, teman-teman Idan justru makin menertawai ucapannya.

“Masa sih, Dan? Papi kamu ganteng, mami kamu cantik, kok kamunya begini? Papi kamu yang tinggi-tinggi itu kan?” Salah satu teman sekelas Idan malah semakin memperkeruh suasana.

“Nanti ambil rapor yang dateng siapa? Embak kamu? Papi atau Mami kamu?” tambah teman Idan yang lain. Idan yang mendengar pertanyaan itu lantas menjawab lantang, “Yang dateng Papi!”

“Papi kamu enggak malu punya anak bodoh kayak kamu? Masa dapet nilai sepuluh. Satu, Kosong. Hahahahahaha!”

Dada Idan membuncah seketika itu.

Cemoohan teman-temannya membuat Idan tersadar jika saat ini dia tengah menjadi bahan rundungan.

Sebagai anak laki-laki yang dilarang keras menangis oleh ayahnya, Idan sekuat tenaga menahan air mata. Namun ia tak bisa melawan emosi yang tiada henti menghujam dadanya, hingga tanpa berpikir panjang, Idan melayangkan pukulan ke wajah temannya itu dan membuat bibir dan hidungnya berdarah.

“PAK SAPTO!!!! IDAN MUKUL YOSUAAAAA! IDAN NAKAL!!!! IDAN JAHAAT PAAKK!”

Idan yang masih terkungkung emosi, terus memukuli temannya sampai dia merasa puas. Ditariknya kerah anak itu sambil dikecam, “Idan enggak bodoh! Kamu yang bodoh! Kamu yang tolol! Nilai kamu seratus tapi kamu buka buku!”

Setelahnya, Idan mendorong anak itu hingga dia jatuh tersungkur ke tanah.

“Papi bilang apa sama Idan?” tanya Jordy saat ia telah berada di mobil, berdua dengan sang putra.

“Nggak boleh nakal,” jawab Idan lemah. “Tapi dia duluan Pi, yang nakal! Dia bilang Idan bodoh!” sahut anak itu.

“Apapun itu, Idan,” sela Jordy. “Kamu memukul temanmu. Kamu kira itu bagus? Sama aja. Sama aja kamu bodoh kayak mereka.”

Idan terdiam kala menatap muka ayahnya yang terpasang dingin. Ayahnya melengos, menatap jalan raya dengan tatapan datar. Dan Idan sangat ketakutan setiap kali sang ayah memasang wajah seperti itu. Karena itu berarti Jordy sedang betul-betul marah padanya.

“Play station, Papi sita. Idan harus belajar,” gumam Jordy saat mobilnya berbelok menuju komplek rumahnya.

“Tapi...Idan bosen belajar terus, Pi...” rengek Idan memohon belas kasihan ayahnya.

“Kamu harus belajar, Idan!” Jordy meninggikan suara. “Kamu udah dapet nilai jelek, nggak mau belajar. Mau jadi apa kamu? Mau gak naik kelas?” bentak Jordy.

Lagi-lagi Idan hanya bisa terdiam mendengar omelan ayahnya. Dia sadar betul jika ia memang tak belajar pada saat itu, karena materinya yang sulit. Sementara, setiap kali Idan ingin belajar dengan sang ayah, lelaki itu selalu menjawab

“Idan, Papi ini bukan Mami yang bisa ngajarin kamu. Belajar sendiri, kan Idan udah gede.”

Selalu seperti itu, maka jangan heran untuk beberapa mata pelajaran, nilai Idan selalu merah.

“Dan satu lagi, besok Idan harus minta maaf sama Yosua. Denger?”

“Nggak!” balas Idan sambil melipat tangan. “Idan kesel sama Yosua, dia bilang Idan anak pungut! Bukan anak Papi-Mami!”

“Idan...” Jordy menarik nafas dalam-dalam, mencari segala jalan agar putranya tak tumbuh menjadi pemberontak. “Idan, kamu yang salah. Kamu mukul temanmu.”

“Tapi dia ngehina Idan! Idan nggak suka!” sahut Idan keras kepala.

Jordy memijat kepalanya yang mulai terasa pening. Sepertinya, ia memang tak akan bisa mengurus Idan sendirian. Dia butuh Kirana. Bukan dia, tapi mereka berdua butuh Kirana.

Karin butuh beberapa hari untuk keluar dari sarangnya sejak satu minggu lalu.

Ia telah mengurung diri di kamar, menjalani proses healing yang ia harap dapat berlangsung dengan baik. Tapi kenyataannya tak pernah selaras dengan keinginan seorang Karin. Dia masih belum bisa menghapus nama Xavier dari pikirannya. Lelaki itu masih menjadi pemegang tahta tertinggi di dalam hati seorang Karin, meski ia tahu, hati laki-laki itu berlabuh pada perempuan lain.

Seharusnya Karin tak memilih resiko itu. Beberapa temannya sudah memperingatkannya, jika sebaiknya Karin tidak berhubungan dengan laki-laki yang belum kelar dengan masa lalunya. Tapi pada saat itu, Karin pikir dia bisa menaklukan hati Xavier. Tapi lagi-lagi dia salah.

Tanpa harus menjelaskannya pada Karin, binar sendu sekaligus teduh milik Xavier terasa hampa setiap kali mereka bertukar pandang. Kadang, Xavier sulit fokus ketika diajak ngobrol oleh Karin. Tetapi Karin tak mau menyerah, dia tetap teguh pada keyakinannya bahwa suatu saat Karin dapat menyelami hati Xavier.

Namun dua tahun belakangan hubungan Karin dan Xavier runyam kembali dan tidak semesra awal pacaran. Mungkin keyakinan Karin sempat terjabah oleh Xavier, hanya saja tidak berlangsung lama. Cinta Xavier pada perempuan difabel itu jauh lebih besar daripada untuknya. Dan Karin cuma bisa menerima kekalahan. Posisinya akan jauh lebih berat apabila dia mempertahankan hubungan ini hanya untuk egonya sendiri.

Karin menghabiskan waktu senggangnya dengan membaca poems book dari Lang Leav yang isinya semua tentang patah hati. Dia berharap akan cepat melupakam Xavier. Meski tidak selalu berhasil, setidaknya Karin jauh lebih stabil dibanding yang sebelumnya.

“Permisi Mbak Rin,” ujar Asisten Rumah Tangganya yang bernama Omas. Wanita paruh baya yang telah mengurusnya sejak ia berusia lima tahun itu, mengetuk pintu kamar Karin dengan sopan.

“Ya Bi Mas, masuk aja,” ucap Karin mempersilakan. Karin melangkah, menyeret kakinya demi menuju daun pintu. Seketika ia bertukar tatap dengan Omas, wanita yang telah Karin anggap seperti ibu keduanya itu langsung menghela napas saking terkejutnya melihat kondisi Karin yang lebih mirip tengkorak hidup.

Karin sejak dulu memang sudah kurus. Bobot tubuhnya tidak pernah bertambah juga berkurang, hanya saja wajahnya yang pucat pasi itu meredupkan aura kecantikan Karin yang dulu ceria.

“Non, mau nambah Camomile tea-nya nggak?” Omas menawarkan minuman kesukaan Karin. Dan tentu saja tanpa berpikir, Karin menolak. Dia enggan makan apapun karena sakit hatinya terlalu dalam.

Dia kehilangan nafsu makan, bahkan untuk bekerja saja, Karin sangat ogah-ogahan.

“Non, Non belum makan udah dua hari tiga puluh jam,” kata Omas dengan penuh keyakinan. “Makan ya, Non? Saya dikasih uang sama Bapak untuk mesenin semua makanan kesukaan Non. Sushi mau nggak Non? Yang ada gerinjel-gerinjel merahnya itu? Kesukaan, Non. Tobika,” kata Omas asal.

“Tobiko, Bi...” Karin meralat.

“Ya, apalah itu, Non. Yang penting Non harus makan. Ya? Apa perlu nih saya telepon Mas Xavi suruh suapin Non?” Ia memberi opsi lain yang jelas-jelas langsung ditentang Karin.

“Lho, kenapa toh, Non? Kan calon suami. Sebentar lagi juga akan pindah kesini sama Non. Mas Xavi orangnya baik loh, Non. Mana ganteng banget lagi. Hidungnya itu loh, pengin tak ambil buat ditempelin ke hidung Bibi, biar ngerasain gitu gimana punya hidung mancung kayak Mas Xavi...”

“Nggak Bi. Jangan panggil kesini si Xavier.”

“Berantem ya, Non? Kalau orang mau menikah, emang banyak banget tantangannya. Yang sabar ya, Non. Saya yakin Mas Xavi nggak seperti itu orangnya...”

“Bi, Xavier sama aku sekarang sahabatan aja. Berteman.”

Omas terlihat kaget dengan pengakuan Karin. Mata wanita itu melebar tatkala bibir bawah Karin bergetar, serta air matanya bercucuran.

“Non, kok malah nangis? Aduh, maaf ya, Non. Saya nggak tau...” Karin menyeka air matanya sebelum ia merespon permintaan maaf Omas, “nggak apa-apa, Bi.” Ia mengibaskan tangan, “Kan Karin masih ada Papa dan Bibi. I would be okay. Kalau gitu, boleh deh, Bi. Mau sushi!”

“Siap Non. Sebentar ya, saya pesenin dulu.” Omas mengambil ponsel dari kantong bajunya dan segera membuka aplikasi online.

“Dah beres, Non. Nanti kalau udah sampe, saya bawa ke kamar ya.”

“Thanks, Bi.”


Entah sudah berapa kertas terbuang percuma di lantai marmer mewah yang dimiliki oleh pria dengan setelan jas biru donker dan kemeja putih di dalamnya.

Hari itu mungkin bukan hari keberuntungannya untuk bekerja sebab sejak pagi lelaki itu bertikai dengan pikirannya sendiri, ia mencoba menggali inspirasi, namun tak tahu mengapa, otaknya enggan bekerja sama seharian. Lihat saja bagaimana lelaki itu menghela napas dalam-dalam, membuang lagi kertas yang setengahnya baru ia garis. Ia mengusap wajahnya dengan gusar, menyambar ponselnya sambil sebelah jarinya mengetuk meja.

Pria itu masih setia duduk di kursi kebesarannya dengan tampang lesu dan tak bersemangat. Jemarinya meragu untuk menekan salah satu aplikasi yang paling haram dia buka. Yang mungkin nyaris ia hapus, tapi karena dulu terlalu banyak tugas yang harus ia kerjakan, pria itu belum sempat menghapusnya.

Dan...pada akhirnya aplikasi ini justru menuntunnya melangkah. Memberi pria itu jawaban yang benar-benar membuatnya tak percaya bahwa enam tahun ternyata tidak pernah cukup buat pria ini untuk mengerti apa arti dari kata lupa.

Dia menghela nafas lagi. Kopi yang sedari tadi telah sesuai dengan suhu ruangan bahkan tidak ia minum sedikitpun. Ia terus termangu, memandangi aplikasi itu. Sejumput rasa bersalah sempat mampir, namun setelahnya rasa itu pergi dan berganti menjadi perasaan yang sulit ia artikan.

“Pak Joseph.” Sebuah suara dari luar ruangannya membuyarkan lamunan pria itu.

“Masuk aja,” sahutnya mempersilakan. Seorang lelaki yang usianya tak begitu jauh dari pria ini langsung duduk di kursi kosong yang tersedia. Senyum kecil melambung di wajah lelaki itu.

“Ah kampret, gue kira siape,” gumam si pria saat mendapati siapa yang barusan masuk ke ruangannya. Lelaki itu bernama Surya, salah satu teman kuliah sekaligus asistennya di kantor ini. Sebenarnya masih ada satu lagi, Charles, namun Charles sedang berhalangan hadir karena harus meninjau lokasi pembangunan di daerah Lembang.

“Pake manggil gue Joseph!” Sekali lagi lelaki itu mendengus lalu tertawa lepas.

Surya ikut tertawa mendengar protes kecil sahabatnya, “kenapa? Nginget yang mana emang?”

“Ngomong sekali lagi, gue lempar nih asbak,” ancam sang lelaki sambil melotot.

“Tumben banget hari ini lo nggak keluar ruangan, sampe berantakan begini lagi.” Surya berdecak kala mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kerja laki-laki itu.

“Lagi buntu gue, ngerokok dulu yuk,” ajak lelaki itu seraya bangkit dari kursinya.

“Gue udah janji sama cewek gue nggak mau ngerokok lagi,” kata Surya. Langkah lelaki itupun seketika terhenti. Dia seperti kembali pada masa-masa mudanya dulu, saat pertama kali dia melakukan hal bodoh ketika mabuk.

“Hadeeeh, bucin,” cibir lelaki itu menertawakan Surya sekaligus menertawakan dirinya sendiri.

“Ngaca lo!” balas Surya ikut mengekeh. “Tapi ya udah nggak pa-pa, gue temenin dah. Di bawah, kan?”

Pria itu mengangguk dan segera keluar dari ruang kerjanya.


“Pak Xavier, ini ada titipan dari Mbak Karin.”

Sesampainya di lobby lelaki itu dikejutkan dengan kiriman buket bunga berukuran besar dari Karin, mantan kekasihnya. Ia yang seharusnya langsung menuju coffee shop favoritnya, lagi-lagi harus mengurungkan niat demi menerima buket bunga itu.

Seingat lelaki itu, dia telah mengirimkan sejumlah uang untuk mengganti kerugian pembatalan pertunangan mereka. Begitu juga uang florist yang sempat dipegang oleh Karin. Ia mengirimkan semuanya tanpa cuma-cuma, bahkan kalau bisa ia bilang sengaja ia lebihkan agar Karin bisa membeli semua makanan kesukaannya.

Maka dengan cepat, lelaki itu menghubungi Karin, mantannya. Sembari memegang buket bunga itu, ia menekan nomor telepon Karin.

“Rin, kan aku udah kirimin uangnya. Ini bunganya kan juga udah dibatalin? Kenapa nggak balikin ke florist-nya aja?” tanya lelaki itu tanpa memberi celah pada Karin untuk bicara.

“Xav, bunganya buat kamu aja. Florist-nya ngasih ke aku sih emang, tapi kurasa, bunganya lebih tepat buat kamu.”

“Lho? Kamu yang bener aja dong, Rin... Masa aku dikasih bunga? Emang aku meninggal sampe dikirimin bunga kayak begini?”

“Duh, udah deh, Xav. Terima aja kenapa sih?” balas Karin tak mau mendebat. “Udah dulu ya, aku lagi sibuk ngunyah sushi. Dahhh.”

Dengan perasaan terpaksa, lelaki itupun mau tidak mau menerima bunga dari mantan kekasihnya. Ia memegangnya ogah-ogahan dan meletakkannya sembarangan di meja resepsionis.

“Nanti tolong dikasih air aja, Nit. Kalo udah, taro aja di meja resepsionis atas. Saya paling males sama bunga,” titah lelaki itu pada sang karyawan.

“Siap, Pak.” Tanpa menyahuti ucapan karyawannya, lelaki itu meninggalkan lobby kantor untuk sekedar mendapat udara segar di luar ruangan.

“Pak Xav!” Lelaki itu menggeram pelan karena sudah seharian ini semua rencananya selalu terhalang. Ia pun terpaksa menoleh pada sumber suara dengan tampang kesal.

“Bisa taro di atas aja, kan?” katanya sambil menahan emosi.

“Maaf Pak, tapi tadi kertasnya jatuh. Ini, Pak.” Karyawan itu buru-buru memberikan kertas kecil pada lelaki tersebut.

“Yah elah, cuma kertas doang,” acuh lelaki itu tanpa membaca tulisannya sedikitpun.


Usai menghisap rokoknya dalam-dalam, barulah lelaki itu dapat bernapas lega. Setidaknya, pikiran lelaki itu mulai bisa diajak bekerja sama. Ia sudah siap untuk kembali ke atas dan melanjutkan pekerjaannya. Di sebelah lelaki itu, Surya sahabatnya, masih setia menemani dirinya merokok. Namun kali ini Surya tak lagi menyelipkan rokok di tangan, dia menggantinya dengan kopi pahit yang ia pesan di kedai kopi favorit mereka.

“Dalam rangka apa Karin ngirimin bunga ke elo?” tanyanya memulai pembicaraan.

“Nggak paham juga gue. Mungkin minta gue kali yang ngirim balik ke florist-nya,” sahut lelaki itu mengangkat bahu.

Surya manggut-manggut paham, lalu ia kembali berkomentar, “lagian lo sama Karin tuh udah sama-sama cocok. Tinggal selangkah lagi kalian nikah, apa sih yang ada di pikiran lo sampe Karin akhirnya mutusin?”

Pertanyaan Surya barusan sukses membuat kerongkongan lelaki itu meronta-ronta. Mendadak kering seperti Gurun Sahara, asap rokoknya menolak masuk ke tubuh tegap nan atletis miliknya.

“iMess gue.”

“Hah? iMess lo kenapa?” Surya makin tak paham dengan jawaban tak sinkron yang keluar dari mulut sahabatnya.

Sementara lelaki yang sedang menjadi narasumber Surya sore itu mengusap wajahnya beberapa kali, lalu dengan suara parau lelaki itu menjawab, “Regina.”

“What? Xav, otak lo dimana goblok?” Surya langsung memaki sahabatnya tanpa ampun. Bodo amat lelaki itu akan marah, tapi Surya dapat mengerti alasan Karin mengakhiri hubungannya dengan sobat baiknya itu.

“Udah enam tahun Xav... Lo juga nggak tahu kan dia dimana. Heran gue sama lo, cewek sebaik Karin lo buang gitu aja. Dongo.” Cacian demi cacian ia hantarkan demi menyadarkan sobatnya, tetapi jawaban pasti yang terlantur dari bibir tipis lelaki itu lebih membuat Surya meringis tak percaya.

“Gue kira dengan Karin gue bisa ngelupain dia, tapi enggak. Sama sekali nggak bisa.”

”...Gue nggak ada maksud untuk menjadikan Karin pelarian. Makanya selama dua tahun ini gue dan Karin bareng, gue nggak mau buka iMess itu. Dan emang gue sengaja non-aktifkan, karena mau fokus kuliah plus kerja, sesuai permintaan Regina. She sets me free. Dia pengen gue nemuin orang yang lebih baik...”

Lelaki itu mengusap rambut belakangnya sendiri. “...Tapi nggak bisa. Sama sekali, dan Karin tahu itu. Waktu kuliah gue udah jelasin ke Karin, kalo gue emang ke Semarang buat kuliah, ngelarin pendidikan gue. Tapi... ya lo tahu Karin gimana kan, Sur?”

Surya mengangguk setuju. Perempuan bernama Karin, yang juga salah satu teman kampusnya itu memang tidak akan pernah kapok kalau belum kejadian. Mungkin melalui iMess sahabatnya itu, Karin akhirnya mengerti jika rumah kekasihnya itu bukanlah dia, melainkan perempuan yang terdahulu.

“But did you say sorry to her?”

“Iyalah. Gila aja lo, masa enggak?” Lelaki itu kembali menyalakan bara api pada ujung rokoknya. Ini sudah batang kelima yang ia habiskan.

“Jujur aja gue sebenarnya marah banget karena lo nggak bisa mikir jernih. Tapi ya gimana ya, Xav...cinta kan pake hati, nggak pakai logika.”

“Thanks banget lho, Sur. Gue kira lo lagi nyanyi lagunya AgnezMo.” Lelaki itu malah menanggapi ucapan serius Surya dengan candaan.

“Kampret!” Surya terbahak sesaat. “Btw, kertas lo jatuh lagi tuh.” Ia menunjuk pada satu kertas tipis kecil yang terbang ke tanah.

“Ah, ini.” Lelaki itu membungkuk, kemudian memungut kertas tersebut. Dahi lelaki itu tampak mengerut, wajahnya terpasang serius saat membaca kata per kata yang tertulis di kertas tersebut.

“Kertas apa sih? Tagihan ya?” Surya sedikit memiringkan badannya guna mengintip tulisan yang tengah dibaca oleh sobatnya.

“Widih, segala pake bahasa latin. Biarawati kali nih yang bikin!” celetuk Surya, kemudian dia terbahak sendiri. Namun guyonan Surya tampaknya tidak masuk sampai ke otak sobatnya. Lelaki itu masih betah memasang wajah serius hingga beberapa saat kemudian, ia tampak tergesa-gesa menyudahi agenda ngerokoknya bersama Surya.

“Sur, gue cabut dulu ya!” ujarnya tanpa menoleh lagi ke arah Surya. Dia bahkan tak sadar telah menguji iman Surya dengan meninggalkan boks rokok beserta koreknya di lantai.

“Hadeh, Xavier. Meus In Aeternum, Iterum Amare, gitu-gitu aje ucapannya nggak berubah,” kata Surya bergumam sendiri sembari mengambil bungkusan rokok yang ditinggalkan oleh sobatnya.


“Gin, kalo kita LDR, kamu nggak papa?”

Netra Regina yang tadi berbinar senang, lamat-lamat meredup tatkala Xavier melontarkan sebuah pertanyaan yang mengguncang seisi kepalanya.

LDR? Regina kira Xavier cuma membual, mengajaknya bergurau seperti biasa. Tetapi saat iris mata Regina menangkap raut serius dari wajah sang kekasih, dia akhirnya tahu kalau Xavier benar-benar akan jauh darinya.

Kedua sejoli itu sama-sama resah. Mereka saling melempar pandang ke arah berbeda, menyusun kepingan-kepingan perasaan tak menentu yang saat ini berceceran kemana-mana. Tak punya tujuan pulang.

Nuansa canggung seketika menyerbu kedua insan ini. Kaitan tangan Xavier yang biasa berada di sekat jari Regina, terlepas begitu saja, membuat perempuan itu merangkai simpulan buruk nan fana, yang cuma ada dalam kepala.

Daksa Xavier mengering, pertanda jika lelaki itu amat sangat pening kala ia berhasil mengutarakan tujuannya hari ini. Mengenai impian terbesarnya sejak dia masih kecil, merancang gedung tinggi, membangun rumah dengan desain apapun yang ia suka, sampai memiliki firma arsitek sendiri.

”...LDR?” Bibir kelu Regina bahkan hanya mampu mengatakan sepatah kata itu. Dia tertawa, namun bukan surai bahagia yang ia perlihatkan, melainkan muram dan sendu.

“Iya.” Xavier mengiyakan, menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. “Babe...” Kepala lelaki itu tertunduk.

Kepala Regina kini dihujani pertanyaan yang berselimut keraguan. Sebab belum lama ini, masalah kepercayaannya dipatahkan hingga ia sempat menutup pintu hati. Bahkan berada di kota yang sama saja, tali dapat terputus, lantas bagaimana dengan jarak yang membentang? Mampukah mereka bertahan?

“Well, Sayang,” lelaki itu berujar lembut, berusaha menekan kalut yang menyusuri benak Regina. “Nggak sekarang. Agustus akhir, atau awal September. So, we still have times to meet each other,” ucapnya kemudian, tangan Xavier meraih lagi lengan sang kekasih, dibawanya ke dekat dada, lalu dikecupnya punggung tangan Regina.

Ia mengedarkan pandangannya kepada sang puan, menanti tanggapan atas perkataannya barusan.

“Maaf ya, Xav. Gara-gara ini kamu pasti kepikiran banget ya?”

Diluar dugaan seorang Xavier tanggapan Regina justru meninggalkan rasa bersalah bertubi-tubi di benaknya. Matanya belum terlepas dari kedua manik mata indah milik perempuan itu, “I'm not trying to deceive you. I just lost, or maybe I'm too afraid.”

Helaan nafas yang berhembus dari bibir Xavier terdengar amat berat. Tampaknya lelaki itu berpikir ribuan kali untuk memberitahu Regina. Dan ya, Regina tak menampik jika dia juga belum mau berpisah. Namun, seperti yang selalu Regina tanamkan dalam pikirannya, jika Xavier berhak terbang bebas, mewujudkan mimpi-mimpi dan asa yang selalu dia dambakan. Akan jauh lebih egois jika Regina melarang lelakinya itu pergi.

Dan bukankah dia pernah berkata demikian pada Xavier sebelumnya?

“Aku nggak akan kenapa-napa, Xav. Just go. Reach your dream. Bikin bangga Tante Lingling, Ci Anna, dan Koko.”

Nada tegar terdengar jelas dari tutur bicara Regina, dia tersenyum tulus pada Xavier.

“Serius?” tanyanya keheranan. Karena yang ada dalam bayangan Xavier justru tak terwujud. Dia takut Regina akan menangis, melarangnya pergi. Tapi lihat, betapa perempuan itu tampak bangga dengan prestasi Xavier. Ia mungkin tahu jika mendapat beasiswa pasti tak mudah.

“Iya, nggak apa-apa, Jojo. Kamu pinter, kamu ganteng. Sayang kalau kamu gak jadi 'orang.' Jangan kayak aku yang payah.”

“Noooo.” Xavier menempelkan ibu jarinya pada bibir lembab gadisnya. “Aku udah bilang sama kamu, Babe. Jangan biarin kondisi kamu ini ngalangin semua yang kamu impikan. Kita berjuang sama-sama, ya?”

Regina menebar senyum pada sang kekasih, menahan tangis sekuat tenaga sambil berkata lirih dalam hati, I'm so sorry, Jojo. I'm sorry if I choose another way.

“Joooooo!” Regina berseru dengan suara gemetar. “Kamu liat? Aku bisa ketik gak pake salah kayak dulu!” Perempuan itu melonjak senang, menari-nari di atas kasurnya.

Malam itu melalui video-call, Xavier melampiaskan rindunya pada Regina. Begitu dia mendengar bahwa Regina bisa sedikit demi sedikit dapat meluruskan jemarinya, hatinya sangat bahagia. Rasanya satu masalah hidupnya terangkat.

Well, Xavier tidak pernah menganggap kekurangan Regina sebagai beban hidupnya.

Tidak.

Dia mencintai gadis itu sepenuh jiwanya. Tetapi satu yang paling ia takutkan, kala suatu saat mereka akan terpisah jarak, yakni kekecewaan Regina. Walau Xavier berharap Regina tidak akan sedih, tetapi perasaan itu kan manusiawi. Siapa yang nggak sedih kalau akan berpisah lama dengan sang pemilik hati?

Siapapun pasti akan menjawab hal yang sama.

“Selamat ya, Babe. I know, you're super strong!” Xavier memberi ucapan selamat sambil bertepuk tangan kecil. Regina tersenyum lebar, penuh rasa bangga.

“Sumpah, Jo. Aku nggak nyangka. Tiga minggu lalu jari aku gak bisa aku gerakin sama sekali. Eh, tapi tau-tau tadi, aku coba pelan, ternyata bisa, Jo!” Perempuan itu terlihat membolak-balikkan tangannya. Kadang ia luruskan, kadang jarinya ditekuk.

“Iya, Sayang. Aku tau itu. Aku seneng banget liatnya.”

“Makasih Jo, makasih udah mau nemenin aku, doain aku. Dukung aku. Coba bayangin kalo nanti kamu jauh dari aku...”

“Gin, aku udah mau sampe ke cafenya Fabian nin. Kita sambung nanti ya? Love you,” sela Xavier bergegas menarik perseneling mobilnya.

“Oke, Sayangku. Have fun sama anak-anak ya. Love you so much!”

Xavier tersenyum dan melambai tangan ke kamera ponselnya sebelum ia menekan layar ponsel, untuk mematikan sambungan video call itu.

“Waduh, ada apa gerangan nih Bapak Joseph melinting rokok di tangan?” Fabian menepuk pundak Xavier kala lelaki itu bersiap memantik api dari koreknya.

Fabian memiringkan kepalanya, melirik Xavier yang berkali-kali menghempas nafas. Kalau sudah begini, pasti sobatnya ini tengah memikirkan sesuatu. Gelagat Xavier yang amat kentara, membuat Fabian dengan mudah menerka.

“Belum ngomong sama Regina?”

Xavier terheran kala tebakan Fabian tepat sasaran. Dia mengangguk.

“Mau ngomongnya kapan?” tembak Fabian.

“Nggak tau.” Xavier menyahut putus asa. “Dia lagi happy banget karena mengalami kemajuan.”

Mata Fabian melebar antusias. “Serius? Udah bisa jalan?”

“Kalau yang itu belum, Fab. Tapi jarinya udah mulai bisa dilurusin. Dia bisa ngetik, kalo biasanya kan kayak panjang dan hurufnya kecil besar gitu. Sekarang udah mulai normal lagi...” Kemudian Xavier menyesap rokoknya sebentar. “Gue mana tega...” desahnya.

Fabian mengangguk paham. Posisinya memang sulit sekali. Dia mengerti maksud Xavier yang terhimpit situasi. “Tapi lo nggak mungkin gak ngomong. Menjadi arsitek kan impian lo dari lama, Xav.”

“I know.” Dia menghela nafas lagi untuk kesekian kali.

Xavier terdiam kala mengingat perdebatan kecil mereka, mengenai ketakutan Regina yang akan menghancurkan impian Xavier. Tapi untuk Xavier dia sama sekali tidak mengganggunya. Hanya, entah mengapa disaat-saat Regina menunjukkan progres yang baik...Xavier merasa ia sangat berat menyampaikan rencana kuliahnya.

“Ngomong dah, serius kalo kata gue.” Fabian mematikan puntung rokoknya. “Karena kalo lo lama nyimpennya nanti dia tambah kepikiran.”

“Iya, Fab. Gue harus liat mood Gina dulu.”

“Pastinya. Tapi semoga dia baik-baik aja.” Fabian tersenyum. “Gue mau kok gantiin lo jagain Regina.”

“Lo mau gue pukul bagian mana dulu nih? Tangan apa kaki?” gurau Xavier mengangkat topi. Fabian tergelak sejadi-jadinya.

“Daripada Hazel, bisa-bisa pacar lo berubah haluan bener.”

“Hahahaha, tai.”

“Tapi jujur. Gue salut sama lo Xav.” Fabian meminum sedikit tequillanya. “Gue kalo jadi lo mikir-mikir lagi sih mau melanjutkan hubungan atau engga.”

“Yang nggak bisa gerak cuma kaki dan tangannya doang, Fab. Orangnya tetep sama. Regina. Gue gak mikir dia mau kayak gimana, yang jelas dari dulu...Regina emang beda aja.”

“Bucin, bucin.” Fabian terkekeh tapi memaklumkan. Sejak dulu, dari awal Regina bertugas di OMK, hanya dia dan keempat temannya yang sadar jika Xavier memang menaruh rasa pada Regina. Dan hal itu tak terbantahkan.

Kalau kekerasan itu legal, gue nggak akan segan-segan untuk ngabisin Gabriel dengan tangan gue sendiri.

Pecundang sialan itu berani-beraninya menghancurkan Regina dengan semua tipu muslihatnya. Dia bersekutu dengan iblis kali, ya? Dia membuat Regina hampir nyerah sama hidupnya.

Well, technically kata Tante Feli she had no intention untuk doing hal-hal bodoh kayak gitu. Regina tergelincir saat dia berusaha mengangkat pecahan kaca dari bingkai fotonya sama si bajingan itu. Tante Feli bilang, sebelum membuang semua foto-fotonya sama Biel, dia teriak histeris dan ngebanting apapun yang ada di depannya. Nggak sampai disitu, Regina juga menganggap dirinya sangat jahat. Dia merasa bersalah dengan kondisinya saat ini.

Dan gobloknya, gue gak baca situasi itu. Gue biarin ego gue yang jalan. Gue biarin emosi gue yang bergerak dan menekan Regina disaat dia nyaris kehilangan nyawanya.

Gue udah nggak tahu lagi. Tangan gue mengepal hebat, dan gue berkeringat dingin selama nyetir. Karena satu yang ada di pikiran gue.

Gue takut kehilangan Regina.

Detik saat gue mendengar jelas suara handphone jatuh, disitu perasaan gue langsung gak menentu. Firasat gue mengatakan kalau ada sesuatu yang terjadi pada Regina. Tapi kala itu, amarah gue lagi pada puncaknya sehingga gue membabi buta. Romo Doni marahin gue habis-habisan karena panitia kelabakan, rundown acara nggak jelas, karena semua rundown dipegang sama Regina.

Pada satu sisi jelas gue sangat marah dan kecewa sama Regina. Tapi setelah gue tahu alasannya jauh lebih berat daripada situasi yang gue hadapi, gue benar-benar ngerasa gue adalah laki-laki tertolol di dunia.

Hazel sampai bilang ke gue, “Xav, kenapa nggak lo aja sih yang macarin Regina dari dulu? Kalo dari dulu kan, dia nggak mungkin hampir sekarat kayak sekarang.”

Seandainya gue dikasih anugerah vision seperti di film-film, gue akan langsung bisa menjawab pernyataan sahabat gue. Nyatanya, gue ini manusia biasa yang bisa bikin dosa. Salah satunya ya ini. Marahin orang seenaknya di waktu yang tidak tepat.

Gue sangat-sangat menyesal untuk hal yang satu itu, terlebih ketika gue sampai di rumah Regina, Tante Feli bahkan udah pucat, she was lost, sama seperti putrinya yang runtuh di hari natal yang berbahagia ini.

Bajunya penuh darah, tangannya terluka karena mencoba mencabut beling yang tertancap di telapak kaki Regina. Mending cuma satu, tapi ini banyak dan kecil-kecil seperti kerikil.

Gue langsung lari ke kamar Regina saat itu, dan mengangkat dia dari lantai untuk dibawa ke mobil.

At the first glance, muka Regina sudah menunjukkan aura yang berbeda dari hari sebelumnya. Sangat redup dan kosong. Gue bisa lihat semangat hidupnya mungkin hanya tinggal seujung kuku setelah tahu apa yang si bajingan itu lakukan ke dia.

Gue bisa melihat betapa Regina sangat tersiksa dan kesakitan, tapi karena dia dehidrasi dan kehilangan banyak cairan di tubuhnya, Regina tidak sadarkan diri.

Dan hal ini yang membuat kita semua cemas. Dokter bilang ke Tante Felicia, kalau saja bantuan nggak datang, kemungkinan Regina bisa meninggal hari itu juga.

Bisa kebayang gimana sinting dan sakit jiwanya si bajingan itu? Ketika dia pestapora, merayakan hari pertunangannya, dia hampir aja membunuh seorang perempuan yang gak bersalah.

Kalau dia sempat bilang gue adalah pengaruh buruk buat Regina, lalu dia apa? Dia hampir bikin anak orang meninggal. Membuat seorang ibu nyaris kehilangan putri kesayangannya yang tragisnya, terjadi di hari Natal.

Gue dan Hazel sampai speechless dan rasanya ingin membalas dendam Regina ke Gabriel. Tetapi Tante Feli menahan gue dan Hazel.

“Xavier, Hazel. Jangan ya? Biarin aja. Tante tahu kalian marah dan dendam sekali sama Gabriel, tapi tante yakin Regina nggak butuh dibalaskan dendamnya. Dia cuma butuh untuk ditemenin. Dijagain. Jangan, ya?”

Bayangin, selembut dan setulus apa hati Tante Felicia? Yang anaknya dihancurkan, yang hatinya diremukkan, tapi lebih milih memupuk egonya demi kesehatan mental putrinya.

Kalau hal ini terjadi ke Cici gue, si Ci Anna. Jangan harap laki-laki kayak Biel lepas dari tangan gue dan Ko Darius.

Regina hapal betul dengan wangi kesukaan Gabriel. Aroma vanilla oud, musky, dan sedikit warm spicy selalu menjadi ciri khas laki-laki itu. Dua tahun bersama, membuat Regina juga tahu persis merk parfum kesayangan Gabriel.

Pertama Tom Ford Neroli Portofino dan yang kedua Jo Malone Myrrh and Tonka. Belum lama sebelum tengarai itu terjadi, Gabriel sempat membelinya ketika ia bepergian ke Singapura untuk urusan bisnis.

Gabriel tidak pernah menyukai aroma manis permen dan buah-buahan. Kata Gabriel, wangi itu membuatnya mual dan tidak begitu cocok dengan kepribadiannya yang maskulin dan sulit terbantahkan. Untuk yang satu ini, Regina setuju. Apa yang dicecap Gabriel kala itu, betul adanya.

Akan tetapi setelah sekian lama keduanya memutuskan untuk rehat, Gabriel datang ke hadapan Regina dengan aroma baru. Aroma yang jelas-jelas ia tentang. Yang kata Gabriel membuat dirinya tak terlihat gagah. Manis buah dan lembutnya bunga bersatu padu, menguar dari tubuh Gabriel kala lelaki itu menarik Regina dalam dekapannya.

“Its not your favorite parfum,” ujar Regina singkat. Kemudian setelahnya, ia serahkan pada lagu yang melantun di radio untuk menemani hambarnya perjalanan mereka ke bioskop.

Jalan Tengah, lagu yang tengah berputar-putar dalam kepala Regina sejak dua minggu lalu, tanpa disangka mengudara secara live di radio. Sontak perempuan yang rambutnya terikat pony-tail itu ikut bersenandung kecil mengikuti nada lagu tersebut.

“Sedih banget lagunya,” komentar Gabriel singkat seraya menoleh ke Regina yang masih sibuk bernyanyi pelan. Tangan lelaki itu yang tadinya terletak pada perseneling, perlahan terangkat lalu pindah ke punggung tangan Regina.

“Konsen nyetir aja bisa? Gak perlu mesra-mesra kayak gini. Tabrakan baru rasa,” desis Regina dingin, lalu tidak tanggung-tanggung Regina menghempas kasar tangan Gabriel.

“Gak perlu segusar itu dong, Gin,” protes Gabriel. Tetapi tampaknya Regina tak memedulikan ucapan Gabriel. Ia langsung mendengus pelan ketika Gabriel mencoba membujuknya.

“Habis nonton aku mau pulang, nggak mau kemana-mana,” tutup Regina tanpa basa-basi. Sengaja pula Regina memasang headphone di telinganya agar Gabriel tidak mengajaknya bicara.

Pukul delapan belas lebih lima puluh menit, keduanya tiba di depan antrean bioskop. Kala itu lautan manusia terpampang nyata di hadapan Regina. Mereka tak sabar menyaksikan aksi Tom Holland dan tingkah lincahnya dalam film tersebut. Berbanding terbalik dengan Regina yang pada movie date-nya kali ini hanya terus memasang wajah datar dan mencoba memberi Biel kesempatan. Juga untuk mengetes dirinya sendiri, apakah getaran itu masih ada dalam hatinya? Apakah rasa sayang yang tersisa itu dapat muncul kembali? Ataukah rasa sayang itu hanya sekedar perasaan semu yang tertinggal karena Regina sudah kehilangan kepercayaan pada Biel?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggerus pikiran Regina sejak tadi. Makanya, dia sama sekali tak menggubris apapun yang Gabriel katakan. Permintaan maafnya, tutur kata lembutnya serta pada sentuhan kecil yang Biel berikan padanya, entah mengapa firasat Regina mengatakan bahwa Biel juga cuma sekedar menghiburnya.

Biel melakukan ini karena dia masih merasa bersalah terhadap Regina.

Bukan lagi berlandaskan rasa cinta maupun sayang.

Regina mencoba kembali untuk mematahkan firasat itu. Bisa saja dia terlalu berpikiran buruk karena terlanjur kecewa pada sifat Biel. Akan tetapi saat Regina sudah memantapkan hati untuk menepis rasa kecewanya, lagi-lagi ia mengurungkan niat tersebut. Sebagian hati Regina telah lumpuh akibat perbuatan Gabriel. Dia tidak bisa membedakan mana sayang yang sesungguhnya, dan mana yang menjadi penawar rasa sakit hatinya. Semua masih sama, Regina mati rasa.

Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam, sebelum ia berani melangkah masuk ke pintu teater. Ia mengamati orang-orang di sekelilingnya yang menoleh ke arah Biel. Mereka seperti berbisik-bisik, seolah sedang membicarakan antara Biel dengannya.

Kemungkinannya cuma dua. Mereka membicarakan Biel karena ia tampak begitu formil, mengajak nonton perempuan dalam balutan kemeja batik, atau; orang-orang itu mencibir Regina karena gaya pakaiannya yang terlalu casual untuk bersanding dengan lelaki segagah Biel.

“Nggak mau beli popcorn dulu?” tawar Biel seraya menunjuk ke bagian snacks.

“Enggak,” jawab Regina, menyunggingkan senyum malas.

“How about drink? Milkshake strawberry, kesukaan kamu?”

Regina tetap memberi penolakan atas tawaran Biel. “Gin, kamu harus minum. Seenggaknya kalau kamu gak mood makan,” bujuk Biel seraya mengusak rambut belakang Regina. Akhirnya daripada Biel rewel dan ujungnya memaksa, Regina mengiyakan.

“Aku bayar sendiri. Nggak perlu kamu.” Sebelum lelaki itu mengulurkan kartu kreditnya, Regina dengan cepat menyerahkan kartunya.

“Gak apa-apa, asal kamunya seneng. Okay?” Lelaki itu bahkan sempat menghadiahkan kecupan kecil pada ujung pelipis Regina. Tapi perempuan itu tetap konsisten tidak menunjukkan reaksi apapun. Dia hanya menatap Biel datar, seolah tahu jika setiap tuntut mesra yang Biel tawarkan padanya hanya dusta. Lelaki itu tidak bersungguh-sungguh.

Kemudian, Regina dan Biel bertolak masuk ke gedung teater. Film kesukaan Gabriel, Spiderman, sebentar lagi akan mulai. Tangan lelaki itu terlihat sibuk membawakan minuman Regina, yang lagi-lagi ia paksa untuk dibawakan.

Seberapa besar usaha Biel untuk mengembalikan Regina seperti dulu akan sia-sia. Hati perempuan itu terlalu rapuh untuk ia persatukan lagi kepingannya. Dari dulu sudah hancur dan pecah, tak tersisa. Dan Regina disini hanya ingin memberi validasi atas perasaannya sendiri, atas segala kekukuhan hatinya yang telah mati sejak lelaki itu berpaling darinya.

Sia-sia. . . .

Tepat pukul sembilan lewat tiga puluh menit film selesai. Regina sengaja jalan lebih dulu dibandingkan Biel, karena tidak ingin terlalu larut malam sampai di rumah. Sebenarnya Mama Regina tidak pernah membatasi putrinya untuk keluar malam, Beliau cukup tahu kalau anaknya telah beranjak dewasa. Karena itu, ia memberikan keleluluasaan atas jam malam Regina.

“Did you enjoy our date?” Baru juga Regina daratkan dirinya pada bangku penumpang, lelaki itu sudah membuka suara. Dengan nada bicara tenang dan lembut.

“Ya, lumayan,” jawab Regina seraya memandang jalan raya.

“Kamu belum makan apa-apa lho, Gin. Kita mampir ke Mcd mau? Aku pesenin kesukaan kamu, ya?”

“Nggak perlu,” tolak Regina dingin. “Aku makan di rumah aja.”

“Gina...please? Kamu pucet banget. Dua minggu gak ketemu, kamu langsung kurusan gini,” ucap lelaki itu masih berupaya membujuk. Tangan Biel mengelus lembut rambut belakang Regina.

“Kamu diet?” tanyanya. Regina langsung menjawabnya dengan senyum pahit. Dia tahu gelagat Biel yang selalu pura-pura bodoh setiap kali mereka bertengkar hebat. Ujung-ujungnya karena sayang, Regina pun luluh kembali dan memilih memaafkan Biel.

Tapi sekarang, tidak lagi.

“Bisa nyetir aja? Aku ngantuk, mau tidur. Filmnya lama,” gerutu Regina, memejam mata.

Biel tertawa kecil, “Okay, Sayang. Gih, bobo. Nanti kalau udah sampe aku bangunin.”

“Wait. Sebelum itu,” gumam Regina. “Where were you going before our date? Kamu keliatannya rapih banget. Ada acara?”

Tanpa ragu lelaki itu menganggukkan kepala. “Iya, urusan kerjaan sama gereja.”

“Oh, okay. And what about your parfum?”

Biel menoleh, terlihat kaget sekaligus sedikit heran mendengar pertanyaan random yang jarang sekali meluncur dari bibirnya. “As long as I remember, kamu nggak pernah suka aroma manis seger gini. Kamu kan sukanya sama bau-bauan oud sama vanilla. Did you just change your favorite parfum? I mean the fragrance.”

Dari sudut mata Biel yang Regina perhatikan, lelaki itu terlihat bingung saat akan menjawab pertanyaan darinya. Seolah ada sesuatu yang Biel tutupi. Netranya getir dan terus melirik ke arah lain.

“Hmm?” tanya Regina setengah menuntut.

“Pengen cobain wangi parfum kesukaan kamu nggak ada salahnya kan?” jawab Biel setelah tiga detik ia melanglangbuana mencari jawaban yang tepat.

“Emang parfum kesukaan aku yang mana?”

“YSL Libre, kalo enggak yang Miss Dior. Kamu lebih favoritin yang Miss Dior. Right?” Ia tersenyum kemudian, memperlihatkan barisan gigi putihnya.

“Bener,” balas Regina ikut tersenyum. Yang mengherankan kali ini, perempuan itu lengkungan kecil pada bibirnya tampak begitu ramah, berbeda dari yang sebelum-sebelumnya—ia terus terlihat menahan marah.

“Tapi...” kata Regina lagi.

“Tapi apa, Yang?”

“Yang ada di baju kamu itu, bukan favorit aku dua-duanya,” ucap Regina tak terduga. Garis senyum yang tadi siap Biel berikan padanya pudar seketika.

“And I know, parfum yang ada di baju kamu itu parfum siapa,” ujar perempuan itu tak kunjung usai.

Biel menghentikan mobilnya saat Regina berucap demikian Ia tak lagi dapat berkutik dan mengakui bahwa kini ia seperti sedang berada di ujung jurang.

“Jangan gitu dong, Gin. Aku ganti parfum, kamu curiga. Aku pake ini itu, kamu nyala-”

“Stop,” sela Regina tanpa sedikitpun memberi nafas pada Biel. Mata lelaki itu tampak begitu ketakutan, ada kekhawatiran besar yang tergambar di wajahnya. “Gabriel, kamu kira aku bego? Kamu kira setolol itu?”

”...No. Denger dulu, Gin. Aku beneran ada acara—”

“Sssssst!” Regina menyekak Biel kembali. Meski air muka Regina terlihat tentram dan damai, namun Biel tahu jika perempuannya ini sedang menyimpan amarah yang bergemuruh sedari tadi.

” 'Parfum kesukaan aku itu...Rose Des Vents by Louis Vuitton. And lately, the guy who always on my mind, suka banget parfum ini. When he asking me to go out, he would always spray my favorite parfum to his clothes. Katanya, supaya dia selalu ingat sama wangiku. Isn't he sweet?'”

Mendengar perkataan Regina, Gabriel diam seribu bahasa. Sementara yang sengaja mengulang kalimat dari video vlog seorang penyanyi rohani muda itu hanya menyunggingkan senyum kecil.

“Tau nggak, waktu nonton vlog Caca, I got a dejavu, Gabriel. Kamu juga gitu kan? Malah kamu yang nyemprotin parfum kamu di baju aku, katanya supaya kalo kita putus nanti aku teringat sama kamu terus..”

”...Then should I do it to you?” tantang Regina yang membuat lelaki itu bergeming seperti orang bodoh. Lalu tanpa persetujuan dari lelaki berbaju batik biru itu, Regina menyemprotkan parfum kesayangannya di batik Biel.

“Semoga kamu menyesal ya, Biel. Once kamu akan tau, siapa yang pernah sangat mencintai kamu, yang lebih tulus sama kamu.”

“Gina...” lirih lelaki itu pasrah. Kemudian tangannya bergerak, menangkup wajah Regina yang kembali terpasang dingin. “Aku bakal jelasin semuanya ke kamu, ya? Aku sayang banget, Gin sama kamu.”

“Hahahaha. Sayang?” cibir Regina. “Dua taun kamu selingkuh dari aku, bisa-bisanya berani bilang sayang?”

“Please, aku kesini untuk make up semua kesalahan aku sama kamu, dan kamu malah bales kayak gini ke aku? Gina, seriously? You drive me crazy—”

“I am not driving you crazy, aku yang udah gila gara-gara kamu, anjing!” maki Regina meninggi sembari menunjuk-nunjuk dada Gabriel. Sorot mata penuh dendam dari perempuan itu melemahkan Gabriel. Dia tak lagi bisa membalas semua amarah Regina yang dilampiaskan kepadanya.

Usai puas meluruhkan segala emosinya pada sang buaya, Regina keluar dari mobil Biel. Ia memesan taksi online untuk mengantarnya pulang.

Hancur sudah tidak bisa menggambarkan betapa Regina sangat terluka hari ini. Air matanya bahkan telah mengering, ia tidak menangis sama sekali. Hanya saja pikirannya kacau balau sekarang.