noonanya.lucas

“Saya Renjana,” Ketakutan yang tadi sempat melingkupi diriku hilang dalam sekejap. Lelaki dengan rambut cepak ala tentara datang di saat yang tepat saat Terry hendak menyuntikkan dosis baru dari obat-obatan yang kuminum.

Renjana sukses menghentikkan aksi Terry, memasukkan cairan itu dalam tubuhku. Ia datang dan segera berdiri dibsebelah ranjangku dengan raut wajah tegas nan dingin.

“Gue Terry, psikiaternya Riri.” Terry menjabat tangan Renjana dengan seulas senyum. “Nah, Ri. Sekarang ada pacar kamu kan, jadi kamu bisa lebih rileks. Saya mulai ya—”

“Mentari nggak sakit jiwa, Mas,” halau Renjana. Aku terdiam dan cukup tercengang mendapati Renjana menampilkan aura yang berbeda. Sifat tengilnya hilang dalam sekejap, berganti menjadi Renjana sang heroik yang dicintai oleh perempuan-perempuan yang menginginkan lelaki sempurna sepertinya.

“Tenang dulu, Mas Renjana,” sahut Terry, sok berusaha menjelaskan. Tetapi aku tahu bahwa Renjana tidak mungkin bermain-main dengan ucapannya. Dia pasti bisa mengeluarkanku dari sini.

“Biar saya jelaskan melalui hasil terapi yang sudah saya lakukan selama tiga minggu dengan Mentari,” kata Terry mengeluarkan setumpuk kertas dari mapnya.

“Nggak, nggak. Ayo, Ri. Kita keluar dari sini.” Renjana membuka kedua tali yang mengikat tanganku hanya dengan satu tangan, sedangkan tangan satunya lagi ia gunakan untuk membawa tasku. “Ayo, Ri.” Renjana menarik lenganku.

Namun disaat aku nyaris berhasil pergi dari rumah sakit penuh malapetaka itu, orang yang saat ini paling tidak mau kulihat justru berdiri di ambang pintu, mengacaukan segala upaya Renjana menyelamatkanku.

“Mau kemana?” Tubuh tinggi besar nan menjulangnya menutupi daun pintu. Ia melangkah mendekati Renjana dengan wajah datar dan menyebalkan. Tapi Renjana, aku tahu dia tidak akan mengecewakanku.

“Pak Jordy, maaf saya mau bawa Riri pulang. Biar saya yang ngerawat dia aja,” kata Renjana tak gentar. Aku tersenyum puas mendapati Jordy sedikit terkejut melihat anak buahnya melakukan perlawanan.

“Memangnya kamu yang nandatanganin surat pendamping pasien?” Jordy balas bertanya dengan senyum remeh. Bangkeeeee!

“Saya nggak sakit, Pak!” Aku bersuara. “Bapak dan Terry aja yang mengada-ada!” kataku yakin.

“Kalau kamu sehat, kamu nggak akan berperilaku aneh, Mentari,” jawab Jordy tenang. Kali ini ia menggeser posisinya menghalangi Renjana.

“Minggir.” Ia berkata pada Jordy. “Mentari urusan saya. Yang membayar perawatan dia, adalah saya dan bukan kamu, Renjana.”

WHAT THE FUCKKKK? Aku makin tercengang mendengar arogansi Jordy yang meninggi. Ibarat sedang minum whiskey, dia pasti sedang tipsy-tipsy-nya.

“Nggak bisa.” Yes! Renjana, you did a good job. “Bapak nggak mengenal Riri seperti saya mengenal dia.”

Jordy tersenyum miring, aku tau senyum seringainya itu cuma kamuflase karena takut kalah berargumen dari Renjana.

“Renjana, gini. Biar gue jelasin, gue tau lo pacarnya Riri—”

“Kita berdua nggak pacaran!” Aku dan Renjana serempak menepis kabar burung tersebut. Terry tercengang, sementara Jordy tetap tenang, tapi mengapa wajahnya terlihat getir ya?

“Lho, bukannya kalian pacaran?” tanya Terry hilang fokus. Ia menepuk jidatnya sesaat sadar jika tidak semestinya ia bertanya hal-hal tak penting seperti ini. Kulihat ia berdiri di sisi Jordy. “Ri, saya akan melakukan apapun buat kesembuhan kamu. Jordy kan juga udah janji untuk menanggung semua biayanya. Jadi kalau biaya menjadi beban kamu, gak usah khawatir. ATM berjalannya ada di samping saya.”

Demi Tuhan, Terry masih bisa bercanda di situasi menyebalkan seperti ini?

“Kalau Riri gila, atau apapun yang Mas jelaskan kepada saya, coba jabarin satu alasan TERLOGIS kepada saya, kenapa Riri bisa didiagnosa DID.”

Kalau bisa kulantunkan lagu Tiktok terviral di tahun 2019—Entah Apa Yang Merasukimu sekencang-kencangnya di telinga Jordy, aku akan melakukannya tanpa berpikir. Sebab, baru kali ini mantan tersayangku, bestie terbaikku—benar-benar menghapus skeptisku akan anggapan berteman sama mantan adalah haram. Renjana sama sekali tak takut melihat Jordy menatapnya tajam, memasang senyum remeh, menganggap Renjana bocah ingusan yang mungkin seumur dengan Aidan.

“Baik,” kali ini sumber suara itu berasal dari Terry. “Biar saya jelasin,” katanya sambil membetulkan letak kacamatanya.

“Dari hypnoteraphy yang telah Riri jalankan, berkali-kali dia bersikap impulsif. Ada trauma masa lalu yang membelenggu dari kepergian papanya.”

Shit, kenapa harus buka-bukaan disini?

“Mentari juga nggak punya sosok ibu yang menyayangi dia.” Sadis, tapi apa yang Terry katakan benar. Aku tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu seutuhnya.

“Dia bermasalah dengan ibu tirinya,” lanjut Terry, pandangannya tertuju padaku. “She blamed her for everything. The loss, hancurnya keluarga dia.”

Untuk poin yang satu ini kulihat rahang Renjana mulai terkatup, binar matanya sedikit meredup. Oh tidak, jangan bilang Renjana nggak bisa menyelamatkanku.

“Tapi... Riri sangat menyayangi papanya. Ketika Riri kehilangan ayahnya, itu berarti kasih sayang dia hilang. Dia gak punya shelter untuk berlindung dari culasnya ibu tiri dia. And, ya probabilitas itulah yang nyebabin Riri mulai punya sikap impulsif, kadang jadi gak sadar diri menjadi orang lain.”

“Waktu saya terapi, beberapa kali Mentari bilang ada perempuan cantik yang datengin dia. Perawakannya persis dengan mendiang istri Jordy, Kirana. Dari background Kirana yang semasa hidupnya selalu penuh cinta ke Aidan, anak Jordy, dan tulus ke Jordy... itu juga yang bisa nyebabin Mentari ngeluarin personality yang sama seperti Kirana. Well, untuk kasus kayak begini sebenarnya rare ya. Makanya saya nggak main-main untuk membantu mengurangi maniknya Mentari.”

Mendengar semua keakuratan ucapan Terry, baik aku dan Renjana sama-sama bungkam.

Sebab apa yang Terry katakan barusan itu seratus persen benar dan ini berarti...usaha Renjana untuk melepaskanku dari otoriter Jordy telah gagal total.

“Jadi gimana, Renjana?” tanya Jordy terdengar menantang. “Kamu mau menggantikan saya menjadi pendamping pasien?” tanyanya lebih lanjut

Renjana diam. Kulihat wajahnya mulai khawatir. Yang tadinya kupikir dia bisa menang, sekarang nasibnya berujung malang.

“Maaf, Pak.” Renjana...benar-benar seolah sedang melucuti diriku di depan bos besar ini. Kupikir aku tak akan harus menjalani terapi dan meminum obat yang diberi Terry, nyatanya...ada kemungkinan obat-obatan itu akan kuminum seumur hidup.

“Idan gak mau sekolah!”

Belum ada sedetik Jordy memasukkan bekal untuk Aidan ke dalam tas sekolahnya, anak lelaki itu turun dengan bibir mengerucut. Dasi merah yang biasa ia kenakan terpasang miring. Netra Jordy tak terlepas dari pintu kamar Aidan. Biasanya, ada Kirana yang akan merapihkan dasi anaknya, menyiapkan bekal untuknya dan juga Jordy. Tapi kini semua itu hanya tinggal secerca kenangan. Kirana telah pergi ke alamnya, dan mungkin melihat mereka dari atas.

Namun sekian tahun menyendiri, Jordy sejujurnya tidak pernah mengikhlaskan kepergian mendiang istrinya. Bayangnya, aroma tubuh rempah milik perempuan itu masih saja melintas dalam kepala Jordy di setiap detik di hidup laki-laki itu. Kirana adalah segalanya untuk Jordy dan Aidan.

Jadi wajar bila terkadang putra semata wayang mereka sering bersikap seperti ini. Jordy menganggap hal ini terjadi karena Aidan merindukan mendiang ibunya.

“Kenapa lagi sih, Dan?” sahut Jordy dari balik meja makan. “Cepetan, Papi harus ke kantor.”

“Idan nggak punya surga, Pi…” Idan menyahut lesu. Hati Jordy mencelos tatkala mendengar jawaban sang putra.

“Idan, dengerin, Papi.” Jordy menghela nafas pelan, lalu mendekati Aidan perlahan-lahan, kakinya berhenti tepat di depan sang putra. “Surga Aidan ada di langit...” Ia menunjuk ke atap rumah,“dan sekarang sudah jadi bintang. Mami memang nggak bisa kita liat, tapi Mami selalu jagain Idan dari atas. Percaya sama Papi.”

Aidan mengangguk dalam raut wajah kecewa. Kerinduannya terhadap sang Ibu kadang sulit terbendung, hingga acap kali ia menggiggau dan memanggil ibunya saat ia terlelap. “Pi, boleh Idan liat Mami jadi bintang?”

“Boleh. Asal Idan mau sekolah, bikin Mami seneng dari atas. Nanti Papi ajak Aidan ke Planetarium. Di sana Idan bisa liat Mami, karena Mami udah jadi bintang paling bersinar di langit. Oke?”

Aidan perlahan mengangguk, sepertinya bujukan Jordy kali ini berhasil. Aidan akhirnya mau menurut. Ia datang pada Jordy dengan tas punggung dan topi sekolah berwarna merah, kemudian lekas menyusul sang ayah yang telah masuk ke mobil lebih dulu.

. . .

Aku terbangun di sebuah kamar dengan remang cahaya yang sangat benderang. Sinarnya menembus iris mataku, dan hawanya betul-betul menusuk tulang. Butuh beberapa detik bagiku untuk tersadar jika saat ini aku tidak berada di rumah, melainkan rumah sakit jiwa rujukan Terry, tempat ia praktek sebagai seorang psikiater.

Sial. Jordy dan Terry pasti bersekongkol untuk membawaku ke sini. Tempat yang paling menyisakan trauma mendalam dalam hidupku. Tempat yang aromanya sangat menghancurkan diriku. Kenanganku tentang kepergian Papa terbias dalam kepala, tangisku pecah seketika. Aku benci suasana seperti ini, karena Papa selalu berpesan kalau suatu saat ia pergi, aku tidak boleh menangisinya. Tapi apa boleh buat, kehilangan cinta pertama di hidupku adalah hal yang paling menyakitkan. Dukanya merajam bertahun-tahun, dan sekarang aku dipaksa untuk mengingat kenangan itu lagi?

“Mentari.” Satu suara berhasil menghentikan senggukan tangisku. Aku menoleh ke sumber suara itu dan mendapati Terry berdiri dengan stetoskop di lehernya.

“Aku mau pulang, Ter. Lepasin.” Bodo amat Terry akan menyuntikku. Aku tidak terima bangun dengan kedua tangan yang terikat di sisi ranjang.

“Ri, sebentar. Jangan kemana-mana dulu, kita periksa dulu ya?” tahan Terry. Tapi kala itu tekadku sudah bulat. Aku harus menyudahi permainan tak masuk akal dua lelaki menyebalkan itu.

“Enggak!” Aku berkeras, mengoyakkan dua kain itu dengan sekuat tenaga, namun lagi-lagi gagal saat dua perawat Terry datang dan semuanya menjadi gelap. . . .

“Gue udah di jalan, Ri. Sabar sebentar ya? Gue jemput pake mobil.” Suara Renjana sungguh membuatku amat tenang. Melalui telepon, aku mengabarinya bahwa aku ditahan Terry. Aku benar-benar tak sanggup dengan segala diagnosa yang ia katakan padaku.

Yang personaliti keduaku menguatlah, aku yang semula dibilang sehat walafiat, tiba-tiba positif terdiagnosa DID, atau kepribadian ganda beneran. Ketakutanku menguar, dadaku membuncah tak tertahankan kala mendengar semua itu.

Dan satu-satunya yang dapat kuhubungi saat ini adalah Renjana. The only one person yang paling kupercaya.

“Ren, gue beneran DID, Ren… Gue takut. Gue nggak sakit, Ren. Gue takut,” isakku pada Renjana yang saat itu masih dalam perjalanan. Aku memang meminta Renjana untuk tidak mematikan teleponnya agar aku merasa tenang.

“Apa?! Enggak, enggak. Tenang aja, kalo Jordy ngotot suruh lo terapi, gue bakal lebih ngotot ngelepasin lo dari rumah sakit itu. Wait ya, Ri. Gue udah tinggal belok.”

“Jangan dimatiin pokoknya,” pintaku.

“Iya, Ri. Enggak,” sahutnya. Dari saluran telepon, aku mendengar Renjana membunyikan sen mobilnya, yang berarti dia sebentar lagi akan tiba di rumah sakit ini dan aku dapat terbebas dari orang-orang sok logis yang mengacak kehidupanku

“Bangun!” Jordy mengoyakkan tubuh Mentari beberapa kali agar perempuan yang sedang bersembunyi dibalik selimut tebal miliknya terbangun. Namun hingga beberapa detik, Mentari masih saja memejam mata sampai Jordy kesal sendiri. Sudah ia goyangkan tubuhnya, ia tarik selimutnya, Mentari malah terlihat makin pulas.

“Mulai hari ini kamu saya pec—”

“Anjing! Sialan, sialan! Takut banget tolongin, Renjana, gue takut banget. Apaan tuh barusan kenapa pada pake jubah putih! Takut!” Mentari memekik dengan setengah berlutut seraya memeluk Jordy erat-erat. Kepala Mentari menelusup di bahu Jordy, dan ia sama sekali tak mau mengangkat kepalanya.

“Heh, heh, heh, sana!” Jordy mendorong pelan kepala Mentari. “Saya bukan pacar kamu si Renjana.”

“BAPAK?!!!!” Jordy membalas jeritan heboh karyawannya hanya dalam tatapan datar nan malas. Tangannya pun ia lipat di depan dada sebagai bentuk protes pada Mentari yang semena-mena tidur di ranjangnya.

“KOK SAYA BISA DI SINI, PAK?!” Mentari tampak sangat terkejut saat menjalari pandangannya ke seluruh ruangan kamar Jordy yang bernuansa coklat muda dan banyak sekali foto-foto Kirana di setiap sudutnya. Ada foto pernikahan Jordy dan Kirana, ada foto Kirana yang memakai dress putih sembari memegang bunga matahari, persis seperti yang Mentari lihat dalam mimpinya. Mentari terdiam sesaat, mencoba melawan segala perasaan sedih nan haru yang menggandrungi benaknya, namun ia gagal. Air matanya tiba-tiba saja berderai, dan netranya enggan terlepas dari bias wajah anggun Kirana.

Jordy di depan Mentari mengernyitkan dahi. Kepalanya penuh tanda tanya akan sikap Mentari yang kian labil setiap kali ia mengajaknya bicara.

“Saya...” Jordy terenyak seketika intonasi bicara Mentari berubah, persis seperti yang tadi malam ia dengar.

“Gini, gini, Mentari—”

“Nggak inget ya, Dy?”

Jordy mencelos saat Mentari lancang mengecup bibirnya tanpa permisi. Sekali ia lakukan, perempuan itu sempat menghentikan aksinya, ia memandang Jordy sesaat, tangannya mengusap pipi Jordy sebentar. Jordy sama sekali tidak diberi celah oleh Mentari untuk bergerak barang sejenak.

“Mentari!” Jordy berteriak, menepis wajah Mentari yang kian dekat padanya, sekaligus agar perempuan itu sadar, tapi percuma. Bukannya menjauh, kini Mentari malah menangis lagi. Ada helaan nafas frustasi yang keluar dari bibir perempuan itu, tatapannya yang sendu kembali terarah pada Jordy.

“Kangen, Dy. Kangen saat saya masih bisa melihat kamu seperti ini..”

“Kamu siapa sebenernya?! Nama kamu siapa!” Jordy sontak menjauhkan diri sebelum Mentari mengulang aksinya.

“Kamu nggak mengenali saya, Dy?” Perempuan itu mendekat, semakin Jordy melangkah mundur, Mentari berjalan mengikuti gerakannya. Hingga Jordy tak memiliki jalan keluar karena kini Mentari sukses membuatnya terpojok di dekat pintu kamarnya.

“Mentari, saya udah manggil Terry ke sini—” Sesaat Jordy mencoba mendorong tubuh Mentari, Jordy terkesiap. Tubuh perempuan itu terasa sangat dingin, persis seperti yang ia rasakan saat Mentari tiba-tiba datang ke rumah sakit dan menjenguk Aidan.

“Ini...tangan kamu kenapa dingin kayak gini, Mentari? Demam lagi?” Jordy langsung mengambil selimutnya untuk menghangatkan tubuh Mentari. Tapi tunggu. Jordy mulai mencium kejanggalan di sini. Kalau demam, harusnya pipi Mentari merah, bukan? Sayangnya, Jordy tak menemukan tanda-tanda perempuan itu terkena gejala demam. Pipinya tidak merah, justru bibirnya memucat dan nyaris membiru. Karena takut terjadi apa-apa, Jordy segera membuka tarikan nakas kecilnya dan mengambil termometer digital.

Jordy terdiam dengan kerutan dahi yang semakin dalam sebab tiba-tiba saja termometer itu tidak dapat berfungsi padahal baterainya baru ia ganti kemarin. Saat Aidan demam waktu itu, termometernya masih bisa digunakan.

“Mentari, sebentar. Saya izin gendong ke kasur. Kamu harus dikompres.” Dengan gerakan cepat, Jordy memopong tubuh Mentari dan membaringkannya di kasur, lalu usai memastikan Mentari sudah berada dalam selimutnya, ia mengisi air hangat dalam baskom besar.

Sekembalinya dari kamar mandi, Jordy lekas meletakkan kompresan itu pada dahi Mentari.

“Saya nggak butuh dikompres, Ody...” Tangan perempuan itu menggenggam tangan Jordy perlahan. “Saya cuma butuh memeluk kamu kayak gini dan menengok Aidan, anak kita..”

Mata Jordy membulat, terkejut dengan ucapan Mentari yang intonasinya persis sekali dengan Kirana saat mereka sedang mengobrol. Bulu-bulu halus disekitar lengan Jordy merinding seketika saat perempuan itu mengusap dahi dan wajahnya.

Sebab walau sudah dikompres air hangat, tangan Mentari masih saja sedingin tadi.

“Dari hasil pemeriksaan yang kita lakuin secara berkala, enggak ada apa-apa sih sama kamu. Kondisi kamu stabil, secara emosional.”

Aku langsung bernafas lega ketika Mas Terry membacakan hasil pemeriksaan yang baru saja ia lakukan padaku. Sebuah wawancara singkat yang memakan waktu sekitar sepuluh menit untuk mengetahui seberapa seimbangnya emosiku sehari-hari. Dan...voila! Hasilnya normal, nggak seperti yang Jordy asumsikan selama ini.

Mas Terry di depanku terlihat sibuk dengan guratan wajah serius, mencatat semua yang ia terima dari hasil pemeriksaan tersebut. Setelah lima detik, Mas Terry kembali mengedarkan tatapannya padaku.

“Tapi ini baru pemeriksaan awal. Kemaren-kemaren saya cuma cek kondisi kamu setelah menjalani dua kali sesi terapi sama saya, Mentari.” Terry melanjutkan omongannya yang tentu akan menjadi satu poin kemenangan bagi Jordy.

“Jadi saya gila apa enggak sih, Mas Terry?”

“Enggak, Mentari. Saya gak ada mengdiagnosa kamu kaya gitu, cuma memang saya perlu beberapa kali untuk tahu penyebabnya. Apalagi kamu bilang... kamu sering sakit kepala, saya mau rujuk kamu ke dokter spesialis syaraf. Dan, untuk yang kamu bilang soal sering gak sadar ngelakuin apa yang bukan kehendak kamu, bikin saya bertanya-tanya, apakah ada sesuatu yang trigger kamu saat masih kecil.”

Aku mengangguk paham. Tapi perasaan saat kecil, aku bahagia-bahagia aja, tuh, meski semenjak kedatangan si ular, semuanya berubah.

Ayah menjadi lebih fokus terhadap anak sambungnya yang sekarang otomatis menjadi adik tiriku, juga keperluan si ular, yang sering meminta uang jatah untuk dia belanja, memenuhi kehedonannya.

Selebihnya, tidak ada yang menyakitiku kecuali Reno, mantan kekasihku yang...ah sudahlah, mengingat namanya saja, luka dalam hatiku langsung ternganga lebar.

Mas Terry menatapku dengan raut wajah serius, “akhir-akhir ini frekuensi sakit kepalamu itu sering?” Disiapkannya kertas dan bolpoin untuk mencatat gejala-gejalaku.

“Nggak sering, Mas...” Aku memelankan suara, sebab berbarengan dengan aku menjawab pertanyaan Mas Terry, suara pintu terbuka, terdengar di belakang. Siapa lagi yang datang kalau bukan si Otoriter Jordy.

“Berapa kali dalam seminggu?” tanyanya lebih rinci.

“Hmm...Mungkin tiga kali dalam seminggu–” “Bahaya, dong!” Mas Terry tiba-tiba menukas dengan suara yang cukup keras, hingga Jordy sontak melongokkan kepalanya dari balik tirai.

Jordy mengedarkan tatapannya langsung kepadaku dengan muka kaget, “Sakit kepala?”

“Lo sih, Jor. Anak orang saban hari disuruh muter keliling pake motor!” Mas Terry mengajukan protes, aku terbahak mendengarnya. Kadang-kadang jika aku tak bisa mengungkapkan isi kepalaku tentang Jordy, akan ada orang lain yang membantu menyampaikannya. Salah satunya, ya Mas Terry.

Kulirik Jordy memasang muka malas, “Emang job desc dia gitu, Ter.” Lalu setelah berkata demikian Jordy menarik kursi dan duduk di sebelahku. Wah, kalau gini...gimana caranya aku cerita ke Mas Terry kalau kepalaku sering sakit kalau Jordy berada di sekitarku...Persis saat ini. Kepalaku bermain lagi.

“Kenapa, Mentari?” Mas Terry bertanya panik. “Keluar lo, Jor. Mau gue cek dulu,” usirnya pada Jordy.

“Lah, gimana? Kata lo gue pendampingnya Mentari, masa nggak boleh gue tau kondisi dia?” sahut Jordy gak mau kalah.

“Bukan gitu, Jor. Masalahnya gue harus hypno dia dulu, lo mau gue hypno sekalian?” Diusir halus oleh Mas Terry, om-om sinting itu bungkam seketika. Langkahnya pelan, meninggalkan ruangan Mas Terry.

“Dah, Mentari. Jadi sekarang, kamu bisa bebas cerita apa aja sama saya,” kata Mas Terry usai memastikan Jordy benar-benar pergi. Akupun merasa sedikit rileks dan perlahan, pusing yang menggandrungi kepalaku mulai hilang.

“Hmm...belakangan kalau ada Pak Jordy, kepala saya selalu pusing, Mas,” ujarku. Mas Terry menaikkan sebelah alisnya, heran.

“Kalo ada Jordy gimana maksudnya?”

“Ya kalau ada Pak Jordy, kepala saya kayak sakit banget, tapi kalo dia nggak di ruangan, kepala saya baik-baik aja.”

Mas Terry tertawa renyah. Entah apa maksudnya, namun dari senyum miring yang ia perlihatkan padaku, sepertinya agak nggak percaya dengan ucapanku barusan. “Kamu suka ya sama Jordy?”

Ini lagi! Gimana ceritanya aku naksir sama orang mengerikan macam Jordy? Sikap ngatur-ngatur dan otoriternya saja membuatku geram, apalagi suka! Hih, mending balikan sama Renjana.

“Ya enggaklah!” tukasku penuh keyakinan. Mas Terry merapihkan posisi duduknya. “Oke, soalnya case kamu ini agak gimana ya, Mentari... Membingungkan. Pertama, kamu bilang kalau Kirana sering datang ke mimpi kamu..Kedua, kamu mengaku kalau kamu pernah melihat badan kamu diranjang tapi kamunya melayang. Sebenernya hal-hal kayak gitu lebih cenderung ke ilmu metafisika, ya. Tapi saya rasa ada sebagian impulsif kamu yang menguasai diri kamu disini.”

Sambil terus berbicara, kulihat Mas Terry berjalan mematikan lampu ruangan dan seketika aku hanyut dalam sebuah benda yang ia pegang...kemudian aku tak ingat apa-apa lagi.

“Masih lama gak makan mie-nya?”

Percaya deh, nafsu makanku kontan melanglang buana ketika suara menyebalkan milik Jordy Hanandian, sutradara rempong sejagat-raya menyapa gendang telingaku. Ugh! Langsung hambar rasa mie ayam yamin yang sedang kumakan. Aku terpaksa menoleh ke belakang karena tahu jika dalam waktu lima detik aku nggak menoleh, taruhannya yah...pekerjaanku.

“Enggak, enggak, Pak!” Aku buru-buru beranjak dari kursi bakso yang sedang kududuki.

“Kenapa nggak dari tadi makannya? Kan bisa,” dumel Jordy dengan muka kesal. Tunggu, bukankah ucapan itu harusnya menjadi punch line-ku?

Kenapa situ nggak dateng lebih awal ya, Om? Udah nunggu dua jam setengah, belum makan. Ini tahun 2022 woy! Bukan tahun 1945!

Aku balas memaki Jordy dalam hati. Sialan, tampang boleh flamboyan, gaya boleh om-om Plaza Indonesia, tapi percuma, sikapnya mengerikan! Tukang playing victim, manipulatif!

“Saya laper, Pak.” Aku menjawab dengan bibirku yang mengerucut. Dia menoleh tetap dengan ekspresi dingin di wajahnya.

“Lagian, Bapak ke mana sih? Kenapa lama banget?” Entah setan dari mana nih yang datang-datang merajalela di tubuhku. Bisa-bisanya aku melayangkan protes semudah itu pada Jordy.

“Bukan urusan kamu. Ayo cepet, Terry udah whatsapp saya. Dan, setelah ini kamu juga harus balik kantor.”

Aku nyaris tersedak mendengar titah Sang Tuan. Sebenarnya sikap otoriter Jordy ini bukan hal baru di hidupku, karena perempuan yang menghancurkan ayahku, sifatnya sebelas dua belas dengan Jordy. Hanya saja...aku kurang sreg kalau Jordy mulai memaksakan kehendaknya seperti ini.

“Nanti setiap hasil pemeriksaannya kasih ke saya. Jangan ada yang di skip. Saya mau tahu progres kamu sampe dimana. Jangan sampai kamu melukai karyawan lain.”

MELUKAI katanya? Aku merasa waras-waras aja kok! Malah kalau aku boleh ngomong depan mukanya, aku merasa tertekan sejak mengenal om-om sinting ini.

“Ngapain ngeliat saya kaya gitu?” cicitnya ketika kami berdua sampai di ruangan depan ruangan Mas Terry. Saking kesalnya, aku sampai gak sadar memandang Jordy dengan muka menyebalkan, nggak mau kalah darinya.

“Maap, Pak. Saya duluan ya,” ucapku sebagai langkah penyelamatan diri dari Jordy si sutradara orde baru itu.

Jordy nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat sesampainya ia di rumah sakit. Perempuan aneh yang ia pekerjakan di kantornya, lancang mendatangi Aidan, putra tunggal Jordy. Dengan derai air mata penuh kesedihan, perempuan yang memiliki arti nama matahari itu menggenggam tangan Aidan.

“Aidan, Sayang...” Jordy tak kuasa menyembunyikan rasa kagetnya kala mendapati Mentari mengelus dahi Aidan, matanya kontan membelalak, lalu segera menepis tangan Mentari.

“Kamu ngapain?!” seru Jordy dengan nada tinggi. Sementara perempuan yang ia marahi justru memandangnya balik dengan pandangan menyedihkan, ia bahkan berlagak menghiraukan teguran Jordy dengan mengangkat tangan Aidan ke arahnya, lalu ditempelkannya ke pipi.

“MENTARI!” Kali ini Jordy benar-benar mengeraskan suaranya. Ia tak peduli pandangan sinis orang-orang yang terarah padanya. Kalau seandainya mereka tau alasannya, Jordy yakin orang-orang yang mencibirnya akan berbalik mendukung sikap Jordy barusan.

Jordy mendorong jauh tubuh Mentari hingga perempuan itu tersungkur ke lantai hingga menuai tatapan kontra padanya. “Jangan pernah, kamu sentuh anak saya,” peringat Jordy dengan air muka dinginnya.

“Saya mau peluk Aidan...” Alih-alih menuruti permintaan Jordy, perempuan itu malah makin berbuat ulah. Dia tak menyerah, biar Jordy melarangnya, tangan Mentari terus-terusan berusaha meraih jemari mungil Aidan yang telah dipasangkan infus.

“Kamu ini kenapa sih, Mentari? Jangan bilang kamu bolos terap—” Jordy menghentikan ucapannya. Sesaat ia mengingat anjuran Terry yang mengharuskannya bertanya pada Mentari, siapa nama personality Mentari yang bisa muncul di waktu tak terduga seperti sekarang. Maka ditengah-tengah ia harus menemani Aidan, Jordy bertanya pelan. “Kamu siapa?”

“Saya.. siapa?” Mentari justru mendekati Jordy. Ia maju selangkah, kemudian mengulur tangan untuk meraih tangan Jordy.

“Siapa? Jangan pegang saya!” tepis Jordy cepat.

“Saya...nggak akan memberitahu siapa saya, Ody.”

Jordy reflek melangkah mundur kala nama itu tersebut kembali oleh Mentari. Seketika Jordy merasa sekujur bulu-bulu halus di sekitaran tangannya naik semua, membuat Jordy tak habis pikir dengan semua kelakuan Mentari yang diluar nalar.

Pandangan pedih yang terpancar dari kedua netranya, entah mengapa membuat Jordy teringat akan seseorang yang sangat dekat dengannya.

Mendiang Kirana.

Dulu saat Kirana masih hidup, pandangan lekat nan sendu yang terlayang dari netra coklat susunya, selalu membayangi Jordy. Ada raut penyesalan mendalam yang Kirana perlihatkan sesaat sebelum ia menarik nafas terakhirnya. Jordy masih ingat betul sampai detik ini.

“Kasih tahu saya, siapa nama kamu.” Jordy memaksa.

“Percuma, Ody,” lirih Mentari pelan, kemudian mengarahkan tatapannya pada Aidan yang terbujur lemas di ranjang. Tanpa memedulikan tangan Jordy yang menahan lengannya, perempuan itu berjalan mendekati ranjang Aidan.

Dalam hitungan detik, tangan Mentari mulai mengelus dahi Aidan, lalu dengan lirih Mentari menyenandungkan sebuah lagu.

You are my sunshine... My only sunshine.... You make happy when skies are grey... You'll never know dear, how much I love you... Please don't take my sunshine away...

Jordy terdiam saat Mentari menyanyikan lagu itu sambil terus menitihkan air mata. Butiran kristal yang mengalir di wajahnya terkena tepat di punggung tangan Aidan, dan bertepatan dengan hal itu, ajaibnya tangan Aidan tergerak, lalu ia menggigau pelan.

“Mami...” “Idan, Sayang... Mami di sini, Nak. Mami sama kamu...”

Mendengar penggalan kalimat yang meluncur dari bibir Mentari, degup jantung lelaki itu berdetak tak beraturan. Keringat dingin pun sampai membasahi dahinya. Ia memandang Mentari dengan kerutan dalam, bertanya-tanya dari mana Mentari tahu lullaby yang selalu Kirana nyanyikan sebelum Aidan tertidur.

“D-dari mana kamu tau lagu itu, Mentari?” tanya Jordy terbata-bata, sementara yang ditanya tak menanggapi pertanyaan Jordy. Ia sibuk menggenggam jemari Aidan.

“Ma...mi...kenapa...tangan Mami dingin...” Aidan membuka matanya perlahan, lalu menoleh pada Mentari yang masih terus menggenggam tangannya. Mendengar racauan Aidan, Jordy ikut penasaran dan demi membuktikan ucapan Aidan barusan, ia memegang tangan Mentari.

Benar, tangan Mentari terasa sangat dingin, bahkan jauh lebih dingin daripada lemari es di rumah Jordy.

Sepulangnya dari terapi dengan Mas Terry, perasaanku sudah mulai membaik, walau gelisah itu masih berkelana dalam benakku. Rasa ketakutan yang sedari tadi membuntuti mulai berkurang setelah aku mengonsumsi obat penenang yang diresepkan Mas Terry untukku. Ia menyarankan untuk meminumnya dua kali sehari. Pagi dan malam. Kalau sudah, Mas Terry juga memintaku untuk menulis buku harian, mengungkapkan berbagai gundah gulana yang kerap membuatku sulit menutup mata setiap malam.

Aku melakukannya meski tidak terlalu rutin. Pekerjaanku di kantor walau hanya sebagai ekspedisi mengharuskanku bangun sebelum fajar menyingsih. Tepat pukul setengah lima pagi usai shalat subuh, biasanya aku akan bersiap menuju kantor. Perjalanannya cukup panjang karena kantorku terletak di pusat kota, sementara aku tinggal di daerah Jakarta Barat. Bisa kebayang, kan, betapa jauhnya jarak yang mesti kutempuh setiap harinya?

Untung Mas Terry sangat mengerti kondisiku. Dia memakluminya asal aku menyempatkan diri menulis.

“Mulai besok aja, Mentari. Nggak usah malam ini, kamu keliatannya capek banget. Nggak disiksa Jordy kan?” kekeh Mas Terry dengan sejuta senyum manisnya. Gurauan sarkas Mas Terry ketika memaparkan sifat sahabatnya terkadang membuatku tergelak. Dia saja mengiyakan kalau Jordy adalah pria membosankan, lalu bagaimana denganku yang setiap hari harus berhadapan dengan ocehan serta omelannya? Pasti harus lebih tabah bukan?

“Oke, Mas. Kalau gitu saya permisi dulu,” kataku pamit.

“Silakan, Ri. Pulang naik apa tapi?”

“Grab, Mas. Santai aja.”

“Oke, hati-hati yah, Ri.”

“Iya, Mas.” Setelah berucap demikian, aku segera meninggalkan ruangan, yang lagi-lagi entah mengapa dengan pikiran kacau.

Ada sesuatu yang seakan memintaku untuk ke sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta Pusat, padahal saat sudah jam sembilan malam. Namun perasaanku terus tertuju ke rumah sakit itu. Dan akhirnya, ketika memesan taksi online, aku menekan tujuan ke rumah sakit tersebut.

👻👻👻

Gara-gara Renjana memaksaku untuk ikut dia terapi spiritual di seorang ahli agama, aku mau tidak mau membatalkan janji terapi dengan Mas Terry. Renjana melarangku untuk bilang ke Jordy alasannya. Jadi aku terpaksa bohong kali ini. Aku beralasan bahwa ibu tiri dan adikku datang ke Jakarta. Padahal pagi itu, Renjana dengan motor kesayangannya menjemputku.

“Nih, Ri. Pake.” Ia menyodorkan helm padaku. Pagi itu waktu menunjukkan pukul sembilan lebih tiga puluh menit, dan si pemilik rambut cepak di depanku ini mengetukkan jarinya di arloji.

“Ri, ayo. Lo jangan mundur gitu dong,” decak Renjana. Aku menatapnya gelisah. Ini kali pertamaku berjibaku dengan hal-hal berbau mistis, siapa coba yang tidak takut?

“Ren, gue ke RS aja deh,” putusku tiba-tiba.

“Ri, lo denger kan gue bilang apa kemaren? Ini lo tuh cuma dibacain doa doang. Kalo emang gak kenapa-napa, lo bakal baik-baik aja kok.” Renjana mencoba meyakinkan. Tapi aku benar-benar ketakutan kala itu.

“Duh, Ren. Seriusan. Gue tuh nggak indigo, gue indihome, kataku masih santai bergurau.

“Ah, lama lo!” kesal Renjana, mendudukkanku di atas motor besarnya. Biar badannya kecil, Renjana hobi banget mengendarai motor besar. Dia terlihat santai melajukan motornya, sementara aku yang digonceng, keringat dingin luar biasa.

“Ren, kalo ada apa apa lo yang tanggung nih ya,” peringatku.

“Iya, mau lo nanti kayak reog, mau lo kesurupan jin tomang, jin klender, lebak bulus, dan yang lain-lain—”

“REN! AWAS! ANAK KECIL ITU!!!!” Aku berteriak panik, sebab di depanku banyak anak kecil yang sedang bermain sepak takraw.

“Mana sih? Nggak ada apa-apa kok! Ngaco lo ya!”

Aku terdiam. Demi apapun, aku yakin pandanganku tidak salah. Barusan banyak anak kecil yang bermain bola di depanku, mereka berlarian, meski tidak bersuara dan wajah mereka...terlihat pucat pasi.

“Ri, anjing. Ban gue bocor!”

“Yah, gimana dong?” Aku juga ikutan panik. Masih kepikiran tentang apa yang kulihat barusan. Harusnya kan, kalau bermain bola itu ricuh ya? Kenapa anak-anak tadi begitu tenang dan sunyi. Mulut mereka tertutup rapat, air mukanya lesu bagai tak diberi makan oleh orang tuanya.

Maka untuk meyakinkan bahwa aku tidak salah melihat, aku menoleh ke belakang sekali lagi.

Anak-anak kecil yang kulihat nggak ada lagi. Tidak ada bola, tidak ada tali yang sempat mereka mainkan.

“Ri, lo jangan bengong!”

“Ren, sumpah. Tadi gue liat anak-anak kecil main bola di sini sebelum motor lo oleng.”

“Mana? Nggak ada juga. Adanya tuh toko kelontong. Ri, asli kalo ban gue udah gak bocor, gue gak mau tau lo harus ke pengobatan itu. Bahaya, Ri. Sekarang lo udah bisa ngeliat.”

“Ren, apaan sih? Ngeliat apaaa?” Aku hampir menangis karena sekujur tubuhku mulai merinding. Ini masih pagi...

“Ya liat yang gak bisa gue liat, lah! Apalagi?”

“Ren, gue mau pulang. Gue mau ke RS, anterin gue ke Mas Terry.” Sambil panik, aku merogoh tasku dan mengambil obat penenang, namun dengan cekatan tangan Renjana menepak obat-obatan itu.

“Renjana! Itu obat gue ya?!” Nadaku meninggi tanpa sadar.

“Ri, lo nggak butuh obat-obatan itu, Ri. Lo cuma butuh di rukiyah! Lo itu normal, lo nggak gila, atau kepribadian ganda!” Renjana balas berteriak, saking hebohnya kami sampai jadi tontonan warga sekitar. Nafasku tercekat kala tatapan Renjana terlihat begitu kesal. Ini kali pertama aku mendapati Renjana begitu marah padaku. Di satu sisi aku hanya ingin membuktikan jika aku baik-baik saja, tapi mengapa semakin kesini..aku malah dibuat bingung oleh diriku sendiri?

Aku merasa seperti ada orang lain yang memerintahkanku untuk tidak mengikuti perkataan Renjana. Dan fokusku lagi-lagi beralih pada Jordy. Bayang wajahnya, perasaan takut mengecewakan Jordy kerap kali menyulitkan diriku.

Semilir angin sejuk menyapa seketika netraku terpaku pada sebuah pigura besar yang menampilkan foto seorang perempuan yang rupanya sangat familiar bagiku. Perempuan itu kuyakini adalah Kirana, almarhumah istri Jordy yang beberapa hari lalu muncul dalam mimpiku. Rupa anggunnya, senyum lembutnya benar-benar persis yang kulihat di mimpi.

Aku menyapu lenganku sendiri untuk menghangatkan badan, karena tak kuasa menahan dinginnya ruangan Jordy.

Namun saat kulirik berapa temperaturnya, kenapa.. dua puluh enam derajat? Bukankah seharusnya temperatur segitu hangat, ya? Ini kenapa..aku malah merasa kedinginan? Atau memang aku yang kurang sehat?

Bosan menunggu kehadiran Jordy dari meetingnya, kuputuskan untuk mengalihkan fokusku pada beberapa titik di ruangan Jordy. Tapi semuanya penuh dengan foto Kirana dan seorang anak lelaki berwajah imut. Pasti dia Idan, anak laki-laki Jordy yang sempat ditanyakan Renjana padaku.

Hahaha, Renjana aneh-aneh saja. Bertemu dengan Idan saja belum pernah, bagaimana bisa aku menyebut namanya? Aku baru tahu nama anak itu Idan dari mulut Renjana, jadi, sangat tak masuk akal jika Renjana bilang aku mengenal Idan.

Masih dalam posisi yang sama, berdiri bak orang dungu di depan meja Jordy, pandanganku kembali terarah pada foto Kirana. Dia cantik sekali. Terlihat jelas bahwa perempuan ini memiliki aura keibuan yang kuat. Mengingat anaknya laki-laki, kuharap Idan mewarisi sifat Kirana yang lembut, seperti yang tergambar dalam mimpiku.

Saking asyiknya meracau sendiri dalam hati, aku sampai-sampai tak sadar bahwa Jordy telah tiba di ruangannya. Nada datar yang mengalun dari bibirnya cukup membuatku terkejut. Jantungku berdendang di dalam.

“Saya tanda tangan. Mana? Jangan sampe ada yang ketinggalan. Kalau ketinggalan, kamu saya suruh balik lagi ke kantor.”

Tangannya terulur padaku, namun alih-alih menanggapi titahnya yang berisi ancaman, aku malah melakukan sesuatu diluar kendaliku.

Aku tak tahu mengapa sulit sekali untuk melawan pergerakan ini. Aku menyingkirkan kertas itu dan tiba-tiba saja tanganku bergerak menyentuh pundak Jordy.

Hentikan! Aku berteriak dalam hati, tapi semua itu percuma sebab sesuatu dalam diriku ini menjadi pengendali terbesar atas apa yang kulakukan. Tak sedikitpun aku diberi celah untuk melakukan apa yang seharusnya kuperbuat—mendapat surat jalan dari Jordy.

“Mentari!” Lelaki itu berteriak gusar, menepis tanganku yang nyaris mengusap wajahnya. Air muka Jordy menegang seolah menahan marah yang sangat dalam. Sementara aku...jangan ditanya bagaimana malunya aku saat tahy bahwa aku nyaris memeluk Jordy.

Selalu seperti ini, setiap kali aku bertemu Jordy, kejadian ini akan terulang. Entah menangis, atau selalu ingin menyentuh tubuhnya. Seperti ada kekuatan magis yang terus memintaku untuk melakukan hal-hal gila semacam itu.

“Kamu gila, ya?!” bentaknya dengan amukan hebat. Alih-alih langsung menyahutinya balik, aku malah menangis sesenggukan. Dan naasnya, semakin tangisku pecah, dadaku berdebar kencang. Ada sebuah rasa sesak yang menguasai benakku ketika Jordy meninggalkanku jauh-jauh.

This is weird. Kurasa benar apa yang Terry katakan, mentalku memang sedang tidak stabil.

“Ma...maaf, Pak. Maaf, s-saya...”

Lelaki itu makin menjaga jarak dariku. Nafasnya gusar dan tatapannya yang terarah lurus padaku sangatlah dingin, penuh amarah.

“Kamu nggak minum obat ya? Bahaya kalau di kantor kamu kayak gini. Minum obat sana!” katanya menghempas tanganku yang mencoba memohon maaf darinya.

Shit, ini semua membuatku ketakutan. Terlebih ketika diriku tak sengaja melirik foto Kirana yang terpampang di belakang Jordy.

Merinding.

Sudah dua hari aku tidak bisa tidur. Kantung mataku menjadi gelap, dan setiap kali aku bekerja paruh waktu, rekan kerjaku tiada henti bertanya mengenai kondisiku. Chanting, salah satu teman baikku di tempat kerja menghampiri, “Ri, sumpah lo nggak pernah tidur apa gimana sih? Mata lo gelap banget sumpah.” Terdengar nada khawatir dari bibir Chanting.

“Nggak tau, Ting. Belakangan, gue lagi capek aja mungkin,” kilahku sekalian enggan membuatnya khawatir.

Sebabnya belakangan ini, aku bermimpi aneh. Sesosok perempuan dengan surai panjang hitam kerap mendatangiku di mimpi, memanggil namaku berkali-kali.

“Mentari...Mentari...” Perempuan cantik itu memiliki wajah yang sangat anggun, lembut dan bercahaya. Namun raut wajahnya terasa begitu menyedihkan, seperti ada luka yang tersirat dari tatapnya.
Ketika aku hendak bertanya tentang dirinya, sosok itu tiba-tiba berkata, “terima kasih.”

Mendengar ucapannya, aku mengernyit bingung. Aku merasa tidak berbuat apa-apa untuknya.

Dan aku memutuskan untuk membalas ucapan terima kasihnya, namun sebelum aku sempat menjawab ucapan ia kembali berkata, “Mentari, saya pinjam...”

Perempuan itu tiba-tiba hilang bagai ditelan bumi sebelum ia menyelesaikan ucapannya. Tinggalah aku di sana sendirian, bingung mencari sosoknya. Wujudnya tak muncul lagi di depanku.

Setelahnya, aku terbangun dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhku.

Kakiku membeku, badanku tak dapat bergerak sama sekali. Di sekelilingku, suara-suara mengerikan mulai terdengar.

Ada yang tertawa, merintih, menjeritkan namaku. Aku benar-benar seperti berada di alam lain. Tapi kupastikan kakiku masih menginjak tanah, dan tubuhku yang terbujur kaku ini...

Astaga! Aku bisa melihat tubuhku terbaring di ranjang???? Padahal kakiku menginjak lantai. Aku menangis ketakutan, aku berteriak-teriak minta tolong tapi tak satupun orang di kosanku mendengar jeritan ini.

Nafasku mulai tersengal-sengal, bibirku memucat dan lagi-lagi aku seperti dipukul sesuatu yang keras. Bunyi benda terjatuh di dekat lemari mengguncang jantungku, tapi sayang aku belum bisa bergerak.

“T-tolong...” rintihku dengan sisa tenaga yang kupunya, namun tak satupun mendengar teriakanku. Setelah lima detik berlalu, angin besar menerpa dan aku..kembali pada tubuhku yang terbaring di ranjang itu.