noonanya.lucas

Tidak pernah ada Kita

Pernah satu kali Regina mendengar bahwa pada sepuluh menit pertama adalah menit yang paling krusial dalam membangun sebuah hubungan.

Sepuluh menit pertama adalah kesempatan waktu yang dapat kita manfaatkan untuk mengimpresi seseorang. Gestur tubuh, cara bicara serta bagaimana ia menatap lawan bicaranya—akan tergambar—pada sepuluh menit pertama itu. Dari situ juga katanya, kita dapat menyimpulkan bagaimana orang ini dapat menyelesaikan masalah cepat dengan logika dan tepat sasaran.

Ketika Regina menggunakan metode ini kepada Gabriel sesampainya mereka di mobil, yang Regina dapatkan seratus persen berbanding terbalik dari cara itu.

Gabriel hanya diam mematung. Ia tidak berkata apapun, bahkan meminta maaf karena telah kuat mencengkram tangan Regina pun tidak. Lelaki itu lebih fokus pada jalan raya. Padahal dulu saat semua masih baik-baik saja, Gabriel akan memanfaatkan momen ini untuk mengajaknya ngobrol. Sesederhana how's your day? akan keluar dari mulutnya.

Namun kali ini Gabriel tidak menanyakannya. Dia betul-betul hanya menyetir, tidak memvalidasi bagaimana hancurnya Regina setelah semua penyangkalan yang ia lakukan.

Regina sendiri merasa dirinya sudah terlalu banyak mengalah. Bom waktunya telah meledak sekarang, sehingga Regina hanya diam dan sama seperti Biel—hanya menatap hampa jalan raya. Mulutnya terlalu malas untuk berucap, untuk melawan ego Biel yang sekarang pasti sedang tinggi-tingginya.

Regina hanya terus acuh dan acuh hingga ponsel Biel yang diletakkan di sela-sela perseneling berdering cukup nyaring. Dan jelas Regina membaca ada nama 'Victor Nehemia Church' yang tiada henti menghubungi Gabriel.

Sambil Regina berpikir dalam kepala, penyangkalan apalagi yang akan Biel lakukan, setelah semua acuan terbukti jelas?

Ia sudah tak mau berekspektasi banyak lagi mengenai kekasihnya ini. Regina cuma menunggu waktu yang tepat sampai Biel mau menyingkap kejujurannya, walau Regina tidak yakin akan lelaki itu. Kalau selingkuh-nya saja izin, lalu bagaimana dengan yang lain? Pikir Regina dalam diamnya. Apa yang masih ia harapkan dari Gabriel yang sedang menjelma menjadi Petrus?

“Angkat teleponnya,” ucap Regina singkat, tanpa menoleh ke Biel. “Berisik banget.”

“Nanti,” balas Biel.

“Gak sekarang aja?” ujar Regina lagi dengan nada yang sedikit meninggi.

“Kan bisa nanti, nggak penting,” kilah Gabriel. Makin lelaki itu berkelit, Regina semakin meyakini jika nama kontak yang tertera pada ponsel Gabriel itu bukanlah Victor, melainkan perempuan yang selama ini juga mengisi hati Biel.

Regina berdecak sembari menyunggingkan senyum sinis. Ia tetap melipat tangannya di dada tanpa sedikitpun melirik Biel yang tengah mencoba berkata-kata.

“Kenapa kamu pergi sama dia?” cecar Biel.

“It's just a casual bicycling. Kayak kamu gak pernah aja,” jawab Regina tenang.

“Casual bicycling? How could you say that? Kamu ketawa-tawa sama dia, kamu makan bareng sama dia. Dari mananya itu sepedaan?”

Mendengar tudingan Biel, Regina langsung berdecih. “Terus? Aku sama Xavier kan temen aja. Emang ada larangan aku gak boleh ketawa?”

“Gak ada, tapi aku nggak suka–” Sanggahan Biel terhenti saat Regina dengan cepat mengambil ponselnya yang lagi berdering. Lelaki itu juga enggan mengalah, dengan gusar dan tanpa memedulikan pergelangan Regina yang masih merah akibat perbuatannya, ia merampas kasar ponselnya.

“Why do you pick up the phone when I'm not done talking with you?!” bentak Biel yang membuat Regina tak kalah terkejut.

“Kenapa nggak boleh?” balas Regina lebih menyalak. “Ada apa sama Victor? Kenapa kamu takut aku angkat telepon Victor?” sekaknya.

“Aku bukan takut kamu angkat telepon dia,” sahut Biel. “Aku nggak suka cara kamu yang kayak gini, Gin! Aku tau kamu marah, aku tau kamu kesel sama aku, tapi aku nggak pernah suka kamu melampiaskannya ke orang lain.”

“Oh,” desis Regina. “Jadi, emang bener ada orang lain? So we're not us two, but we are 'us' three?”

“What are you talking about?” jawab Biel. Regina hanya tertawa terbahak-bahak sampai ia mengeluarkan air mata, “gini aja deh, Biel.”

”...Kamu beli gelang itu dimana I never gave you that bracelet before, since I knew kamu nggak suka pake gelang atau perhiasan apapun.”

“Seriously? Kamu nyari-nyari kesalahan aku? It's just damn stupid bracelet! Bukan sesuatu yang harus kamu permasalahkan!”

“Did you still say wanna say that bracelet its damn and stupid, while the girl posted the same bracelet as yours?” ringis Regina tanpa nada tinggi, namun cukup menyentak Biel dalam-dalam hingga lelaki itu ngerem mendadak.

“Kamu mau ngelak lagi, Biel?” tanya Regina dengan suara dalam.

“Semua anak-anak gerejaku pakai itu untuk KKR natal nanti,” kata Biel. Lalu ia menunjukkan sebuah foto pada Regina. Memang benar, gelang itu secara serempak dipakai oleh teman-teman Biel, namun Regina juga tidak buta dan cukup jeli, karena ia menemukan ukiran nama pada gelang itu.

“Then if this bracelet wore by all of your friends, why did I find Caca's full name on your bracelet?”

“Ketuker.”

“Ketuker?” Regina membelalakkan matanya, nyaris tak percaya jika selama ini ia memacari laki-laki yang jahatnya selevel dengan Lucifer.

“Ketuker, Yang...” Tatapan Biel mulai meredup. Ia tiba-tiba saja mengacak rambutnya frutasi. Sepertinya tidak ada celah bagi Biel untuk berkelit dari Regina. Ia tak punya bisa lagi mencari alasan-alasan klise untuk menampik perbuatan dosanya.

“Udah selesai bohongnya, Biel?” sarkas Regina tertawa. Dia tertawa tapi Biel dapat melihat jelas bagaimana sudut mata perempuan itu menderai air mata. Surai tawanya pun mulai terasa hambar ketika Biel menemukan Regina mengganti tawanya menjadi tangisan pilu.

“Gina...” Biel melepas safety-belt-nya, kemudian segera menarik Regina dalam peluknya. Ia berharap ia masih diberi kesempatan untuk berbuat baik pada perempuan ini. Dan hal ini membuat Biel begitu sulit melepas Regina.

“Hey, look at me. Look me in the eyes.” Alih-alih mendengar tangis Regina kian menjadi-jadi. Ia sangat terluka dalam akibat perbuatan Biel hingga ia kehilangan cara untuk mengontrol tangisnya. Ego serta sisa rasa sayang yang terlalu lama bersarang dalam hati perempuan itu, membuatnya lepas kendali. Membuatnya menangisi lagi suatu hal yang ia tahu tak akan kembali padanya.

“Kenapa kamu macarin aku, Biel...?”

“Aku nyaman sama kamu.”

“Nyaman? I don't think that's your honest answer. Bukan kamu yang nyaman sama aku, tapi aku yang kamu dibuat nyaman sama kamu. Dan kamu...” Regina bahkan tak mampu melanjutkan ucapannya seiring sesak dan muak menghampiri benaknya dan bersatu padu dengan riuhnya rasa kehilangan yang cukup dalam.

“Dan kamu..” Dengan terbata-bata Regina berupaya meneruskan kalimatnya, “kamu nyaman di tempat yang lain. Kamu nggak pernah ngerasa nyaman sama aku. Kamu...” Regina menunjuk-nunjuk dada Biel, “Kamu cuma butuh pelampiasan karena ego kamu terlalu tinggi.”

“Kamu...jangan kayak gini lagi, Biel. Kamu harus mikir kalau suatu saat kamu punya anak perempuan dan dia mengalami apa yang aku alami, kamu pasti bakalan sakit hati.”

“Aku nggak ada keinginan jadiin kamu pelampiasan...” bela Biel.

“Aku lebih dulu kenal kamu dibanding Caca. I'm really sorry for what I have done, Gin. Aku tau aku salah banget sama kamu...aku nyakitin kamu sampe sebegininya, tapi aku bener-bener enggak ada niatan jadiin kamu pelampiasan.”

Usai bicara demikian, Biel terdiam sebentar lalu menghela nafas.

“Let's take a break,” ujar Biel dengan suara rendah dan nyaris tak terdengar. Regina yang mendengar ajakan Biel makin merasa sakit hati dan tentunya tak dapat menampik bahwa ia betul-betul kecewa karena Biel malah menempuh jalan penyelesaian seperti ini.

“Aku nggak bisa maksain kamu untuk cepat maafin aku. Toh, kamu juga bilang butuh waktu sejenak buat kebaikan kita.”

“Kebaikan kalian, bukan kebaikan aku.”

“Gin, please? Let me finish my words first, okay?” sela Biel dengan wajahnya yang terpasang lelah.

“Aku mau kamu kembali ke aku dengan perasaan utuh, sepenuhnya buat aku. Nggak ada dia, atau orang lain lagi,” ujar Biel dengan tatap teduh. Ia bahkan sempat mengelus pipi Regina sebanyak dua kali, namun dengan cepat Regina mengangkat tangan Biel dari wajahnya. Pandangan Regina kepada Gabriel siang itu terasa berbeda.

Tidak lagi ada binar lembut yang Biel temukan pada manik mata perempuannya. Yang justru ia lihat adalah tatapan dingin dan sorot mata redup kepadanya.

“Aku nggak tau mau gimana nanggepin permintaan kamu, Biel. Dulu kamu buat aku tergila-gila, sekarang aku mati rasa.”

Hanya sepatah kalimat itu yang terucap dari Regina. Lantas perempuan itu turun dari mobil Biel tanpa menoleh padanya atau bahkan memberinya celah untuk mencegatnya pergi.

Selepas kepergian Regina dari mobilnya, Biel merasa sangat kacau. Ia memukul setirnya keras dan melajukan mobilnya secepat kilat dengan perasaan yang bergemuruh.

Menginginkan semuanya kembali seperti dulu.

Let Your Heart Chooses

Padahal tinggal sedikit lagi Xavier menghabiskan kuah mie ayam yang ada di mangkuknya. Tetapi tahu-tahu, seorang lelaki yang sangat ia kenal bahkan secara brutal berpotensi menaikkan tensi darahnya, tiba-tiba saja menyanbangi meja Xavier.

Tidak peduli banyak mata yang melihat, lelaki itu dengan pandangan menyalak lurus-lurus menatapnya. Dia tidak berpikir panjang bahwa perbuatannya bisa saja menjadi bumerang bagi dirinya sendiri di masa depan.

“Pulang!” teriak lelaki itu gusar. Ditariknya lengan perempuan yang tadi tengah menyeruput teh panasnya. Perempuan itu sama sekali tidak tercengang, justru sepertinya dia sudah tahu duluan.

“Kamu mau ngapain sih, Biel?” Rongga dada perempuan itu terasa sesak ketika matanya melirik sesuatu yang melingkar di pergelangan lelaki bernama Biel tersebut.

Sesuatu itu berupa gelang berwarna hitam, yang tentunya tidak pernah ia miliki.

“Ngapain?” balas Biel dengan alis bertaut. “Bawa kamu pulang. Bawa kamu pergi dari orang yang ngasih bad influence ke kamu,” sergah lelaki itu kemudian.

“No, just let me go.” Sekuat tenaga perempuan itu menghempas tangan Biel yang sedang mencengkramya kuat.

“Are you crazy?” ujar Biel, lalu ia melirik Xavier dengan tatapan dingin, “See? He doesn't do anything. Dia diam aja dan nggak nyoba merebut kamu. I told you, right? He's here just to drag you down. Kamu mau rusak gara-gara dia?”

“Maksudnya?” Kali ini yang bersuara bukan Regina, melainkan oknum yang sejak tadi menjadi bulan-bulanan Biel.

“Can you just let me go?” tanya Regina sekali lagi. Ia melirik Xavier yang rahangnya mulai mengeras, pertanda bahwa emosi lelaki itu sebentar lagi akan menguar.

“Nggak, Gin. Aku nggak bisa lepasin kamu,” jawab Biel enggan mengalah.

“Pulang sekarang.” Biel tetap mendesak.

“Aku enggak mau. Aku mau di sini,” kata Regina berkeras hati.

“Nggak malu kamu ya?” sinis Biel kesal. Tetapi sebelum lelaki itu berhasil memaksa Regina untuk kedua kalinya, Xavier lebih dulu membereskan barang-barang Regina. Kemudian ia berjalan dan berhenti di samping Biel dengan memegang bahunya.

“Gue nggak mau ikut campur, tapi cara lo main kasar ke dia...” Xavier meletakkan salah satu barang Regina di meja, lalu menarik tangan Biel yang masih menggenggam kuat pergelangan tangan Regina.

Setelahnya, gantian laki-laki itu yang menekan kuat telapak tangan Biel hingga sepertinya Biel melemah karena Xavier menekannya cukup dalam.

“Buat gue gak suka. Kalau mau main kasar, sama gue. Jangan sama cewek.” Lelaki itu berucap diiringi sorot tajam di matanya. Tidak ada nada tinggi yang terdengar dari perkataan Xavier, namun jelas penekanan begitu kentara dari tutur lelaki bertubuh tinggi itu.

Usai puas mencengkram telapak tangan Biel, Xavier pergi tanpa menoleh kembali ke arah Regina. Dan hal ini cukup membuat Regina bergidik ngeri. Selama ini di matanya, Xavier sangat ramah pada siapapun.

Tetapi tidak pagi ini. Pandangan serta raut wajahnya tampak mengerikan ketika Biel dengan berani menggeret namanya dalam masalah mereka.

Hari ini juga adalah kali pertama Regina melihat Xavier marah. Entah pada siapa, tetapi emosi Xavier itu justru membuatnya jauh lebih patah hati ketimbang tahu Biel berpaling darinya.

A proper date as it should be.

“Stop! Stop! Stop!” Regina tiba-tiba melipir ke sebuah tepi jalan, sedikit membungkuk, lalu mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Peluh di dahi perempuan itu bercucuran deras, anak rambutnya yang sebelumnya terkuncir cukup rapih mencuat keluar. Membuat seorang lelaki yang tengah mengayuh sepedanya dengan kekuatan penuh, mendadak tak dapat berkonsentrasi karena terpaku pada paras elok yang Regina miliki.

Belakangan ini lelaki itu kian sulit mengatur perasaannya sendiri tiap kali berdekatan dengan Regina. Ada keinginan menggebu di hatinya yang cukup kuat untuk terus mendampingi perempuan itu.

Makanya, pagi ini lelaki itu datang bukan tanpa alasan. Ia hanya ingin sedikit melihat sang sang puan sebelum memulai aktivitasnya.

“Kenapa?” Alis lelaki itu terangkat satu, dan ia juga ikut berhenti mengayuh sepedanya. Ia turun lalu berdiri di samping Regina.

“Capek anjir,” keluh Regina. “Lo ngayuh sepeda dah kayak lagi dikejar flash,” kata perempuan itu seraya mengelap peluhnya.

Lelaki itu tertawa kecil. Lihatlah wajah merengut yang manis pada wajah sang puan. Sangat menggemaskan bagi lelaki itu. Ia hanya diam tanpa berkata apapun dan hanya mendengarkan segala keluhan Regina. “Itu juga udah gue pelanin,” kata lelaki itu setelah cukup lama mendengarkan segala ocehan Regina.

“Gila, pelan tapi ngelaju sampe puteran situ. Itu namanya cepet,” balas Regina tak mau dibantah.

“Ya udah oke, istirahat dulu,” ucap lelaki itu mengalah. Alasan lainnya karena ia ingin memberi nafas pada Regina.

Tidak perlu Regina jelaskan panjang lebar padanya, hanya dengan melirik kacamata besar yang bertengger pada hidung mancung perempuan itu, sang Adam sudah dapat menerka jika kali ini keadaan Regina tidak baik-baik saja. Mulut lelaki itu masih terkunci rapat walau ia sangat ingin bertanya bagaimana kabar Regina hari ini, karena ia tahu semakin Regina bercerita kepadanya, di satu sisi lelaki itu tidak dapat memungkiri bahwa ada perasaan marah dan tak rela yang menjalari benaknya.

Pertama, marah pada lelaki lain yang tiada henti membuat sang puan terus dalam keadaan seperti ini; dan kedua; ia tidak rela jika harus menyaksikan Regina terus disakiti oleh lelaki yang enggan ia sebut namanya itu.

Posisi dirinya yang hanya sebagai teman membuat lelaki itu harus pandai menahan diri dan kembali memupuk kesabaran untuk menuntut lebih. Buatnya hal-hal kecil yang terjadi pagi ini saja sudah menjadi hadiah terindah untuknya.

Maka itu, lelaki ini lebih banyak diam sembari mendengarkan semua kata-kata Regina, menatap teduh mata Regina sepuas yang ia mau, sebelum nanti ia tidak dapat lagi melihatnya secara langsung.

Momen-momen seperti ini harus ia manfaatkan sebaik mungkin.

“Kalo gue lepas kacamatanya, jangan lo ketawain ya,” peringat Regina ketika lelaki itu sedang menenggak air putihnya.

“Enggak,” janji lelaki itu. Tepat setelah ia berucap demikian, perlahan Regina melepas kacamata itu, dan sesuai yang ada dalam isi kepala sang Adam, pasti Regina menangis lagi.

“Bengkak,” ujar lelaki itu singkat dan cukup dalam.

“I know.” Regina berkata dengan mata yang tak lagi terfokus pada lelaki itu. Netranya teralih pada kerikil-kerikil kecil yang sedang ia tendang.

“Capek gue, Xav.”

“Diapain lagi emang?”

“Nothing.”

Lalu sang puan sedikit menarik nafasnya dalam-dalam, “lebih ke capek ngadepin penyangkalan dia sih. Is he roleplaying Peter?”

Kemudian perempuan itu tertawa. Tetapi jelas dari suara tawa pelan yang ia gerai, lelaki itu dapat menilai betapa perihnya hati Regina saat ini. Betapa ia ingin mengakhiri semuanya karena mereka terlihat semu.

“Again, you've been too nice to him.”

“I know,” jawab Regina cepat.

“And, may I ask something?”

“Apa?”

“What you gonna do?”

Regina shrugs her shoulders, menandakan bahwa ia juga tak punya jawaban pasti akan hubungannya saat ini. Pada satu sisi yang tidak diketahui Regina, lelaki itu berpikir hal yang sama dengannya.

He also doesn't know what to do with his feelings towards her. Should he continue? Or just holding it on until he finds the right time. Atau jika perlu, mungkin biarlah perasaan ini dia simpan sendiri.

Rumah Singgah

Regina mengangkat ponsel yang sengaja ia letakkan di lemari kecil samping kasur. Bukan tanpa alasan, tetapi ia tahu siapa pengirim pesan yang tiada henti mengusiknya berdoa.

Gabriel.

Bahkan tanpa ia harus menebak siapa, Regina langsung tahu jika lelaki itu kembali kepadanya.

Bukan untuk memperbaiki segala kesalahannya, tapi untuk menghancurkan Regina lagi.

Tadinya Regina enggan membalas. Ia lebih memilih mengadu pada Tuhannya, memohon ampunan agar dia bisa lebih mendekatkan diri pada Yang Kuasa. Tetapi Regina tidak dapat menampik bahwa sakit hati dan amarah yang berkecamuk, mendorong dirinya untuk menanggapi pesan Biel.

Dan ya, akhirnya ia kalah. Telak.

Ia termakan kembali oleh godaan itu. Namun jelas Regina tidak lagi selemah dulu. Selalu memaafkan, selalu memberi kesempatan pada lelaki itu.

Regina sudah membuat keputusan. Dan ia rasa jika ia tetap mempertahankan, yang jauh lebih hancur bukanlah Biel dengan wanita itu, tetapi dirinya.

Bertahun-tahun lamanya Regina membiarkan dirinya dihadapan Biel terlihat seperti seonggok sampah. Yang bisa ia buang kapan saja. Dan Regina rasa semua itu sudah cukup. Ia tidak mau lagi merasakannya, membiarkan hatinya terus terluka.

Sebab apa yang Biel lakukan bukan sekedar melukai Regina, namun lebih parah dari itu.

Ia pikir Regina adalah rumah singgah terbaiknya. Tempatnya mengadukan segala kerisauan yang ia hadapi. Jika Biel tengah berperangai dengan perempuan lain, Biel akan datang kepadanya.

Ia datang dengan senyum semanis mungkin, membawakan sejuta kata-kata yang menerbangkan Regina ke awan sampai Regina berani meletakkan hatinya pada pria itu.

Namun setelah beberapa lama, Biel pergi. Pergi ke rumah-nya yang entah sejak kapan menjadi pusara untuk laki-laki itu.

Bagi Regina semua itu sudah cukup jelas. Dan ia rasa dirinyalah yang harus menghentikan semuanya. Kalau Regina biarkan, ia takut jika ia semakin menginginkan Gabriel yang jelas-jelas bukan untuknya.

———

“Kenapa lama banget angkat teleponnya, Gin?” tanya Biel dengan sergahan nafas tak sabar.

“Aku lagi rosario,” jawab Regina enggan betele-tele.

“Kangen, Gin.” Alis Regina terangkat satu, serta wajahnya menarik garis senyum sarkas.

“Sama yang mana?” Regina langsung mengutarakan pertanyaan yang membuat Biel agak lama menjawab.

Ia lalu cuma menghela nafas. “Kamu sekarang curigaan banget.”

“Curiga?” balas Regina balik bertanya.

“Iya kan? Aku bener. Dikit-dikit nuduh aku sembarangan.”

Regina tertawa kelu. Lelaki ini sangat pandai dalam membual, tetapi tidak pintar dalam berbohong.

“Aku gak nuduh sih, Biel. Aku lebih pengen kamu sadar sama perbuatan kamu. Dan tau, kalau perbuatan kamu itu salah. You're not going to get what you want if you do this to us.”

Pada kalimat akhirnya, Regina terang-terangan menyindir Biel.

“Kamu nih ngomong apa sih, Gin? Ngaco beneran. Listen, I know that you're mad at me, but that doesn't mean you can accuse me without proofs.”

“You really want me to show you the proof? If I do, then her carrier would be done at once, Biel.

Tanpa nada tinggi, Regina rasa perkataanya cukup menampar Biel. Lelaki itu di seberang sana terlihat sangat frustasi. Makanya dia lebih banyak diam dan mendengarkan. Selain daripada itu, ketakutan-ketakutan dalam diri Biel mulai menggerayangi pikirannya.

“Let me ask you one thing,” kata Regina.

“Apa?”

Setelah satu helaan nafas yang membuat Regina yakin untuk bertanya, ia pun memberanikan diri, “Do you love me?”

“Of course, Gina. I do. I do love you. I love you sooo much.”

“No, you're not, Biel.” Regina menjawab pelan, namun Biel dapat merasa perempuan itu tengah meredam emosinya sendiri.

“Kamu nih gimana, deh? Aku jawab jujur salah, kalau aku gak jawab kamu marah, ngira aku main-main sama kamu.”

“And, yes. You're toying me, Gabriel.”

Tut! Setelah berkata demikian, Regina segera memutus sambungan teleponnya.

Dan lagi, ia menghabiskan air matanya untuk laki-laki yang menganggapnya rumah singgah.

Salah? Tentu saja. Tetapi Regina tak dapat menampik jika perih segera mengerubungi benaknya. Sisa rasa sayang yang terdapat dalam lubuk hati Regina masih ada untuk laki-laki itu. Dan ia hanya ingin menyalurkan semua rasa sakit dan kesedihannya untuk terakhir kali.

Mudah-mudahan, harap Regina. Mudah-mudahan yang terakhir kali.

Desember dulu selalu menjadi bulan yang paling saya benci. Menjadi bulan yang paling saya hindari, sebab saya tidak pernah suka riung riuh yang bergaduh di rumah.

Aneh ya? Kalau orang-orang selalu suka dengan hingar bingar saat menyambut tahun baru, tidak demikian dengan saya.

Saya selalu takut akan hari baru. Akan tahun-tahun yang menyambut saya dengan gempita. Saya lebih suka menyambutnya dalam sunyi karena dalam sepi itu saya merasa tentram.

Saya hanya memejam mata, berharap saya masih bisa bertahan hidup dengan rasa sakit yang akan menghujam saya di sepanjang waktu. Saya tidak pernah tahu seperti apa rasanya sembuh dari luka. Saya juga tidak pernah mengerti seperti apa rasanya hidup normal dan tidak dibayangi rasa takut.

Menjelang akhir tahun saya akan selalu pergi menjauh dari keluarga saya. Lebih sering menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku tentang hypnotherapy yang dapat menenangkan pikiran saya.

Saya akan bilang ke Papa, Jay dan Jian bahwa saya ada keperluan bisnis di luar kota.

Padahal sebenarnya saya hanya bersembunyi dibalik luka, menyembunyikan amarah saya yang bertumpuk di dalam raga, berkelakar dan akhirnya membunuh saya pelan-pelan.

Saya tidak mau mereka terkena kemarahan saya. Saya lebih baik menyimpannya sendiri, daripada kejadian ibu saya terulang pada mereka.

Terkadang saya benci pada diri saya sendiri karena saya terlalu banyak menyimpan sedih dan peluh yang membuat saya tak bisa lagi merasakan apa-apa.

Sedih? Bahagia? Saya tidak pernah tahu bagaimana rasanya. Yang saya ketahui hanyalah saya hidup di dunia karena peruntungan dari Papa.

Saya hanya dikasihani karena saya tidak diinginkan. Dan saya tidak mau dikasihani. Saya membencinya.

Saya hanya ingin diperlakukan normal selayaknya anak Papa yang lain.

Sampai pada Desember berikutnya saya diperkenalkan dengan seorang perempuan yang hadirnya untuk saya seperti malaikat.

Namanyapun sama. Angel

Saya sengaja memanggilnya Angel karena untuk saya dia seperti sosok malaikat yang diturunkan ke bumi untuk saya.

Terdengar cringe sekali. Tetapi memang seperti itu yang saya rasa.

Membuat saya nyaris tidak percaya jika hidup saya bisa berakhir indah, layaknya bunga yang merekah cantik.

Kehadiran Angel bagi saya adalah anugerah terindah. Surai tawanya, suara lembutnya seperti nyanyian merdu yang selama ini tidak pernah saya dengar.

Setiap tahunnya sejak ia merayakan ulang tahun saya waktu itu, terbersit dalam benak saya—begitu kuat—jika saya menginginkan ia dalam hidup saya. Saya ingin dia merekah setiap harinya hanya dengan saya sampai kami menua bersama.

Desember ini menjadi bulan paling bahagia dalam hidup kami.

Karena di tahun ini kami akan kedatangan satu lagi malaikat kecil di bulan penuh kasih nanti.

Selamat tahun baru Bunga-ku yang paling cantik,

Angelica

Jevandra

Xavier dari bangku pengemudinya tiba-tiba mengerem mendadak, kala ia menyaksikan air mata mengalir dan membasahi pipi perempuan yang ia sayangi. Mendapati Regina terdiam dan mengusap wajahnya gusar, ia mengambil suatu keputusan untuk melipirkan mobilnya di tepi jalan.

Sepi dan Sunyi

Agar perempuan itu dapat mengusap semua kesedihannya, melarungkannya ke langit. Xavier diam, bukan berarti ia tak mengerti apa yang dialami oleh Regina.

“Kok lo berhenti, Xav?” Ditengah tangisnya, rupanya sang puan menyadari apabila Xavier menghentikan mobilnya. “Jalan aja.” Perempuan itu kembali bersuara dengan suara parau. Tetapi Xavier tidak memedulikannya. Ia ingin perempuan itu betul-betul menuangkan kesedihannya, meluapkan semua luka hatinya sampai ia puas.

“Serius, jalan aja, Xav. I'm fine.” Mendengar betapa lirihnya suara perempuan itu, makin menguatkan tekad Xavier untuk menetapkan mobilnya di situ.

“Jalan aja...” Suara perempuan itu kian lama terdengar sesak. Bisa Xavier bayangkan betapa hancurnya hati perempuan itu saat ini. Sedari tadi, meski mereka tak banyak mengumbar kata, ia tahu perempuan itu sedang mempertaruhkan laki-laki bajingan yang tengah menyimpan rahasia busuknya.

Xavier sebenarnya juga sama. Ia mempertaruhkan dirinya untuk tutup mulut. Ia tidak ingin makin memperkeruh suasana apalagi ikut campur dengan urusan mereka, meski ia tahu akibatnya akan seperti ini. Oleh karenanya, Xavier hanya berucap dengan suara tenang.

“Selesein aja dulu. Biar lo lega. It's okay to cry.”

Perempuan itu langsung mendesah, raut wajah sendu yang tadi ia sembunyikan mulai terlihat. Dan isakan-isakan yang menyesakkan dada mulai terdengar. Sama seperti perempuan itu, Xavier pun sama. Bedanya ia sesak karena harus menahan emosi yang berkepanjangan. Tangannya gatal untuk memukul laki-laki bajingan itu, akan tetapi ia tak ingin bertindak gegabah.

“Gue udah lama tau...” isak Regina pelan.

”...Gue udah lama tau, Xav. Biel...selingkuh.”

Dang! Dia pikir Regina adalah perempuan bodoh nan lugu dan mudah ditipu. Nyatanya Regina benar-benar menyimpannya sendirian. Entah mengapa Regina malah membiarkan laki-laki bernama malaikat itu menginjak dirinya sampai sesakit ini.

“Terus, kenapa lo diem aja?” tanya lelaki itu.

“Gue takut kehilangan Biel. Gue sayang sama dia, Xav. I thought he would change. But I was wrong.”

“Cara lo salah, Gin.” Tidak ada maksud menghakimi Regina dari kalimat Xavier yang terasa kelu itu. Ia hanya ingin memberitahu Regina jika sebaiknya ia menghentikan hubungan yang sudah rusak itu. Tidak ada gunanya untuk ia perbaiki.

“Gue kira masih bisa gue perbaikin. Tapi ternyata makin parah. Dan sakit.”

Regina kembali berkata, namun kali ini tangisnya sudah berhenti walau sakit itu masih mengerubungi benaknya. Ia sampai kehilangan arah, pasrah dan lebih gilanya lagi Regina memilih benang kusut itu dibandingkan benang lurus.

“Gue salah,” ucapnya putus asa.

“Lo nggak salah, Gin.” Xavier menyanggah. “Yang salah cowok lo. He cheats on you.”

“Bukan itu maksud gue,” sela Regina.

“Yang salah gue. Gue terlalu banyak menuntut lebih. Gue terlalu sering ngebebanin dia, gue manja, gue terlalu bergantung sama dia. Gue salah...”

“Gin, lo pernah bilang sama gue, kalo gue boleh minum, tapi jangan sampe mabok, kan?” ujar Xavier. Perempuan itu menoleh tak paham.

“It's same. You can love him as much as you want. But once he hurts you, you should stop. He has gone too far.”

Regina terdiam. Untuk saat ini ucapan Xavier itu benar namun pada waktu yang bersamaan cukup memberi tamparan keras bagi Regina. Ia sadar dan tahu jika perbuatannya salah. Ia menyembunyikan kebusukan Gabriel pun salah. Dan ia membiarkan lelaki itu menyakitinya juga salah. Tapi entah mengapa setiap kali Regina ingin mengambil jalan tengah, ia selalu takut.

Takut salah melangkah, takut Biel pergi. Takut Biel tidak kembali padanya.

Dan kenyataannya benar.

Lelaki bernama Gabriel itu tidak kembali kepadanya melainkan ke peluk perempuan lain yang mungkin saja jauh lebih hangat dari peluknya.

“Xav, sori ya lo jadi ngeliat hal-hal yang gak semestinya lo liat. I'm really sorry kalau waktu itu Biel ngegeber lo. You don't deserve that.”

Xavier menganggukkan kepala, dan dalam hati ia menambahkan. “You don't deserve him too, Gin.”


Good and Bad

Xavier bukanlah tipe laki-laki yang gampang marah, walau wajahnya terkesan dingin dan kaku karena rahang tegas yang ia miliki. Silakan saja tanyakan pada keempat teman rumpi-nya itu. Mereka pasti akan mengatakan hal yang sama.

Xavier adalah lelaki penyabar dan tidak gampang emosi.

Sampai hari ini datang. Hari ketika ia menyaksikan sebuah dusta yang besar. Dusta yang akan membuat seorang perempuan terluka dalam. Xavier tidak akan pernah memaafkan siapapun orang yang melukai perempuannya. Tangan Xavier mengepal hebat. Sudah empat kaleng bir ia remukkan secara bergantian, sampai keempat temannya mengedik ngeri. Hazel terutama. Ia tahu betul sifat sobat kecilnya yang jika sedikit saja diuji kesabarannya akan meledak seperti bom waktu.

Pandangan Xavier sejak tadi tak terlepas dari seorang laki-laki yang sedang menggandeng mesra seorang perempuan muda. Lelaki itu terlihat nyaman ketika sang perempuan menyelipkan tangannya di balik lengan sang Adam. Tatap teduhnya berakhir pada perempuan muda tersebut. Belum lagi surai tawa yang terdengar begitu manis hingga membuat si puan di sebelah sang lelaki tersipu-sipu, seakan dunia ini hanya milik mereka berdua.

“Xav...Xav, ini gue masih ada satu kaleng bir lagi. Mau gue abisin dulu atau lo yang ngabisin? Biar abis itu lo ngeremukinnya enak,” ujar Edrigo berbisik-bisik takut kepada Xavier.

“Nggak perlu,” sahut Xavier tegas. “Lo abisin aja tuh bir lo,” sambungnya kemudian. Satu puntung rokok yang sisa sedikit, Xavier lempar kasar ke tanah. Ia memijak si puntung rokok penuh penekanan, seolah sedang menginjak sesuatu yang perlu ia hancurkan.

“Gila...” Rafael di sebelah Fabian berdecak heran memandangi sosok lelaki yang sedari tadi tengah diperhatikan Xavier.

“Ini yang dinamain casing roh kudus, bungkusnya roh alus.” Rafael menyesap rokoknya dalam-dalam, lalu sehabis itu ia menenggak sisa vodka di hadapannya.

“Tai banget emang manusia,” tambah Fabian tertawa kelu, sambil sesekali ia tengok Xavier yang berusaha meredam emosinya.

“Xav,” panggil Fabian.

“Hmm?”

“Tuh orang kayaknya sadar deh dari tadi lo perhatiin. Ketar-ketir dia keliatannya, gak berani nengok kesini lagi,” beritahu Fabian.

“Biarin aja,” kata Xavier pelan. Ia berusaha mengacuhkan sosok yang kini balik memandang matanya. Meski tidak menantang, namun apa yang diberitahu Fabian benar. Lelaki itu terlihat cemas usai Xavier memergokinya bermesraan dengan wanita lain.

“Eh, anjing!” Kali ini seruan panik itu berasal dari mulut Hazel. Dilihatnya sosok yang sejak tadi sengit menatap Xavier berjalan ke arah mereka.

“Gue mau pulang sumpah,” kata Hazel lebay. Padahal dia yang dari tadi sibuk memancing emosi Xavier.

“Lebay lo, Zel. Biarin aja! Diselesaikan sama Xavier pake otot. Secara jantan. Mata ganti mata, gigi ganti motor!” gurau Edrigo tertawa-tawa.


“Oh, lo disini ternyata?” Suara sengit nan sengau itu terkesan menyalak di telinga Xavier. Xavier pura-pura tidak terkejut saat sosok itu menyambanginya.

“Waduh, ada apa nih?” kata Xavier seraya berdiri sambil tersenyum. “Biasa aja dong,” tambahnya.

“Gue biasa aja, Bro,” desis lelaki yang wajahnya mirip dengan Afgan itu.

“Ya baguslah kalau gitu. Ditunggu tuh di belakang. Gue sama temen-temen gue cuma nongkrong aja kok disini,” ucap Xavier masih dengan nada yang sama.

“Pulang jam berapa kalian tadi?” Mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut lelaki itu, Xavier sontak geleng kepala. Begitupun teman-temannya.

“Hahaha. Sore.”

“Bagus deh kalo lo ngaku,” sengit lelaki berkacamata itu.

“Gue mah ngaku, ngaku aja. Lo? Ngaku juga nggak?” Xavier membalas ucapan lelaki itu. Lebih tepatnya sih menyekak habis celaan sang Adam sampai membuat wajahnya merah padam.

“Ditungguin tuh, Biel. Mukanya keliatan khawatir banget. Samperin sana,” ujar Xavier tenang.

“Bukan urusan lo,” balasnya dengan sorot mata penuh dendam hingga membuat Xavier tersenyum miring.

“Denger.” Lelaki itu menepuk pundak Xavier. “Gina nggak suka cowok perokok. He won't like you, anyway.”

“I know.” Xavier menyahut, membuang kasar puntung rokoknya. “Dia nggak suka perokok, but at least gue nggak akan boongin dia.”

Mendengar ucapan Xavier yang terang-terangan menantangnya, lelaki bernama Gabriel itu mendengus kesal. Ia berbalik badan dengan wajah getir bercampur cemas seolah takut suatu saat hari ini akan menjadi boomerang dalam hidupnya.

Ia tak lagi menengok ke belakang. Dengan tangan yang mengepal hebat, Gabriel berjalan ke mejanya, menemukan sang perempuan tengah memandangnya tak kalah khawatir.

“Biel Sayang, kamu kenapa? Mereka siapa?” tanya sang perempuan. “Mereka mau mukul kamu?” Sang puan membelai wajahnya lembut, menenangkan emosi Biel yang masih mengepung dirinya.

“Nggak. Biasalah, mungkin iri karena aku Worship Leader.” Biel menjawab setenang mungkin, meski wajahnya masih sama dan menjadi bahan cemoohan orang di belakangnya.


“BIEEEEL—”

Sejenak ucapan Regina terhenti saat ia menatap sesuatu di halaman rumahnya. Scoopy merah muda kesayangannya ternyata telah terparkir manis di sana.

“Gin?” Suara Biel yang selalu menjadi obat penawar rindunya bahkan Regina hardik, saking ia tak percaya dengan apa yang ia lihat di hadapannya.

“Kenapa, Gin? You okay? Halo?” tanya Biel sekali lagi.

“Eh! Iya, Biel. Maaf...”

“Kamu mikirin apa sih? Jadi gak fokus begini.”

“Ng... anu, tadi scoopy pink aku ketinggalan di kafe...” ujar Regina pelan, seperti seseorang yang tengah berbuat kesalahan.

“Scoopy yang waktu itu aku temenin kamu beli? Kok bisa? Emangnya kamu dari mana?” balas Biel memastikan.

Rentetan pertanyaan yang memborbardir Regina barusan membuatnya makin bungkam. Keberaniannya untuk cerita bahwa ia habis diantar pulang oleh Xavier, seketika lenyap.

Dia paham resiko besar yang terjadi, jika ia mengungkapkan yang sebenarnya. Biel pasti akan marah, maka akan lebih baik, jika Regina berkilah.

“Abis dari gereja, meeting kayak biasa itu loh, OMK. T-terus aku pulang jalan kaki ke rumah, soalnya deket rumah kan.”

“Nggak, nggak. Tunggu dulu,” kata Biel menyanggah. “Nih aneh. Masa kamu bisa lupa? Nggak mungkin, Gin.”

Regina mendesah kalut. Ia memang tak pandai berkelit dari Biel. Mungkin karena Biel adalah anak yang selalu dipakai Tuhan, jadi instinct Biel kuat dan tak gampang dibohongi.

“Ng...”

“Apa?” desak Biel penuh penekanan.

“Tadi aku...”

“Xavier lagi kan?” tembak Biel tepat sasaran.

“Denger dulu, Biel..” Regina mencoba membela diri.

“Kita bicara nanti deh, Gin. Soal kamu dan temen kesayangan kamu itu,” potong Biel menahan emosi.

“Biel... aku kan udah jelasin ke kamu, aku sama Xavier gak ada apa-apa. Terus aku kontak dia juga sebatas karena kita sama-sama pelayanan...”

“Ya...Ya...Ya... kamu boleh ngebela diri. Apapun yang kamu bilang, aku coba percaya.”

“Coba percaya gimana maksudnya? Ini jadi kamu nggak percaya sama aku?” Regina balik bertanya.

Dari jawaban Biel, Regina menangkap kalau lelaki itu merasa kecewa terhadapnya.

Rasa percaya yang selalu ada untuk Regina perlahan mulai goyah bahkan luntur.

Regina sadar, pada satu sisi ia kesalahan itu terletak di dirinya, tetapi ucapan Biel entah mengapa agak menyudutkannya.

“Aku bilang, aku bukan gak percaya sama kamu.. tapi aku coba percaya aja. Karena liat deh. Udah berapa kali kamu kayak begini?” balas Biel sengit.

“Sumpah deh Biel, aku nggak ada perasaan apa-apa sama Xavier,” kukuh Regina.

“Ya, semoga aja kamu nggak ada rasa sama dia. Anyway, aku sekalian mau minta izin sama kamu, Gin.”

“Minta izin apa...?”

“Baca chat aku deh. Aku lagi diluar soalnya.”

“Oh, okay deh.”

Setelah Regina mengiyakan, Biel langsung memutus sambungan teleponnya. Dan hal itu meninggalkan perasaan janggal dalam benak Regina.

Hari itu...adalah hari yang paling terang bagi seorang Tara Aditya. Tiga tahun lamanya ia hidup dibalik jeruji, berteman dengan gelapnya arus dunia. Berteman dengan kelamnya kehidupan akibat keegoisannya sendiri.

Tara amat menyesal telah menyakiti satu-satunya perempuan yang pernah menjadi rancangan dalam masa depannya. Ia rusak hingga perempuan itu terluka dan pada akhirnya... perempuan itu pergi, berkelana dan berhasil menemukan kebahagiaannya.

Ini bukan tentang perlombaan. Siapa yang lebih cepat bahagia dia pemenangnya. Bukan.

Melainkan perempuan itu memang sudah sepantasnya berbahagia. Sudah sepantasnya ia berlabuh pada peluk hangat seorang yang juga begitu menginginkannya.

Tara sadar jika dirinyalah yang salah. Ia pantas ditinggalkan oleh perempuan yang kasihnya begitu tulus terhadapnya. Juga sang putri, yang seharusnya menerima kasih sayang utuh darinya.

Ia pantas menerima ini semua.

Maka tanpa mengeluarkan sepatah kata, lelaki itu berjalan meninggalkan lapas yang telah lama menjadi tempat persembunyiannya dari segala kesalahan. Ia menegakkan kepala, siap menyambut hidup barunya. Tanpa hadirnya seorang wanita tulus, dan tanpa peluk cium dari putri kesayangannya, Eleanor.

“Daddaaaaaa!”

Ini pasti mimpi. Lelaki itu mengembuskan nafasnya, ia tertawa miris kala mendengar suatu suara dari depan. Ini pasti mimpi, Tara kembali meyakinkan diri. Tidak mungkin anaknya bersedia menerima kepulangannya kembali.

Tara terus melangkah, kepalanya tertunduk malu.

“Dadddaaaaaaaaa!” Suara ceria itu semakin terdengar nyata.

Tara yang mengira dirinya sedang berhalusinasi, sampai menghentikan langkahnya. Membeku di persimpangan jalan. Mengangkat kepalanya.

Tepat di hadapannya kini tampak seorang gadis kecil yang berjalan ke arahnya.

Gadis itu tidak sendiri. Ia datang bersama perempuan yang dulu menjadi bahagianya Tara, dan juga seorang pria.

Tara tertegun. Sekian detik setelahnya, dirinya seperti terjerembab dalam penyesalan yang sungguh dalam. Membuat kaki Tara terasa berat melangkah, namun ia tidak memiliki pilihan lain, selain mengikhlaskan perempuannya jatuh ke pelukan lelaki yang lebih baik.

“Daddaaaaaaaa!” Gadis kecil nan lugu itu menghambur peluk pada tubuh Tara. Sementara Tara hanya bisa menggantungkan tangannya, merasa tidak pantas menerima peluk hangat dari putrinya.

Butiran kristalpun tak pelak mengalir di pipinya. Dengan suara gemetar, Tara berkata,

“Halo...Nora...Kamu udah gede banget, Sayang. Maafkan Dadda ya, Nora. Maafkan Dadda...”

Hanya itu yang sanggup Tara katakan ketika kedua netranya bertukar pandang dengan sang gadis kecil.

“Iya, Dadda. Dadda selalu yang terbaik, Dadda. How are you? Dadda kurusaaaan!” kata anak itu yang makin menghancurkan hati Tara.

“I—” Bahkan untuk menjelaskan pada putrinya pun, bibir Tara amatlah kelu. Terlalu berat baginya untuk menjelaskan duduk perkara masalah yang menimpanya.

“Ra.” Selain suara ceria yang mengalun bak melodi indah dari putrinya, ada satu suara lagi yang membuat Tara seketika menengok ke sumber suara.

“Nya...” Belum sempat Tara kembali mengucapkan sepatah kata, lagi-lagi Tara goyah. Ia menangis penuh penyesalan.

“Maafin aku, Nya...Aku minta maaf sekali...” Tara sampai bersimpuh di bawah kaki wanita itu.

“Udah terjadi, Ra...” ujar sang wanita singkat. “Nggak usah minta maaf sama aku. Yang penting kamu baik-baik aja sekarang.”

“A-aku baik-baik aja, Nya.” Tara tersenyum kecil, kemudian melirik lelaki bertubuh atletis di sebelah Anya yang tangannya terlingkar pada pinggul Anya.

Dulu Tara-lah yang memeluknya seperti itu, dulu, Taralah yang menjadi tempat wanita itu berkeluh kesah, sebelum perangai mereka terjadi. Sadar jika waktu tak dapat ia putar kembali, Tara memilih melempar pandangannya ke arah lain, ke putri kecilnya, Eleanor.

“Dadda, Dadda. Nora punya adikk. Namanya Elaine!” Gadis ceria itu menunjukkan foto seorang bayi yang dibaringkan di pangkuannya. “Isn't she cute?”

“Very cute. Just like you. Jagain adik Elaine ya Nora. Nurut sama Papa dan Mama,” kata Tara seraya menebar senyum tulus. Nora mengangguk penuh antusias. “Pinternya anak Dadda,” puji Tara, memeluk singkat sang putri.

“Sh...aka, ya?” Kali ini Tara menggeser tubuhnya dan berdiri berharapan dengan Shaka, lelaki yang pernah ia kata-katai, yang pernah ia larang keras dekat dengan putrinya. Namun ternyata Tara salah. Lelaki itu berubah menjadi malaikat pelindung sang wanita beserta putrinya.

“Iya. Shaka,” balas pria di depan Tara itu.

“Thanks, Ka,” ucap Tara kikuk. “No worries. Yang penting sekarang semua udah baik-baik aja.”

“Kalau ga ada lo, mungkin semuanya masih kayak dulu, Ka. Maaf ya waktu itu gue...”

“No. Don't say sorry. Semua udah terjadi, Ra. I hope the best for you.” Pria bernama El Shaka itu tersenyum. Hangat dan terasa tulus.

“Thank you, Ka. Gue titip Nora sama Anya, ya..” ujar Tara.

“Siap, siap. Ah, kayak mau kemana aja lo. Nora sama Anya juga bakalan sering ketemu lo kok.”

“Hah?” Tara terlihat amat kaget mendengar ucapan Shaka. Dari sekian banyaknya penilaian Tara yang jatuh pada El Shaka, ada satu hal yang membuat Tara mengagumi Shaka.

Lelaki itu begitu berbeda dari Tara. Dia sangat berjiwa besar. Pengertian. Pantas sajalah jika wanitanya jatuh hati kepada laki-laki itu. Padahal saat ini Shaka punya hak yang jauh lebih besar daripada dirinya, tapi Shaka masih memperbolehkan Tara bertemu dengan mantan istri serta anaknya.

“Biar gimanapun...lo ayah biologisnya Nora. Gue gak punya hak untuk memutuskan hubungan kalian. Dan, gue udah diskusi lama sama Anya jauh sebelum kita nikah. Gue nggak mau Nora punya pemikiran buruk tentang lo. You know, everybody made mistakes, Ra. Lo punya banyak kesempatan untuk memperbaiki diri. Perbaikin hubungan lo dengan Nora juga.”

Astaga, demi Tuhan Tara ingin menangis lagi saat itu. Mantan istrinya betul-betul jatuh pada peluk yang semestinya.

Merangkul bukan menjauh.

Tara merasa sangat malu pada mantan istrinya terlebih pada sang putri. Usia Tara dan Shaka boleh terbilang jauh, tetapi kedewasaan jauh lebih dikuasai Shaka ketimbang dirinya.

“Thanks a lot, El Shaka. Thanks a lot.” Tara berucap sungguh-sungguh, kemudian pandangannya beralih pada mantan wanitanya. Tatapan Tara terhadapnya kini tak seperti dulu, selalu dingin dan penuh dengan kemarahan, melainkan sangat tulus dan lekat.

“Nya, makasih banyak juga ya. Makasih banyak sudah memberi dukungan moril ke aku dan jagain Nora selama aku di lapas.” Tara berujar, kemudian ia menarik nafas pelan.

“Happy mothers day, Nya. Maaf aku ngucapinnya dengan baju kayak begini. Terima kasih sudah pernah menjadi bagian dari hidupku, dan menjadi ibu dari anak aku. I hope the best for you. Be happy as always. Semoga selalu langgeng sama Shaka...”*

Perempuan itu tak dapat menyembunyikan keterkejutannya kala Tara dengan berani memberinya ucapan selamat hari ibu.

“Thanks, Tara,” jawab wanita itu tersenyum kecil.

“Sama-sama. Aku pulang dulu ya. Nora..” Tara berjongkok, mensejajarkan posisinya dengan sang putri.

“Makasih udah jemput Dadda hari ini. Makasih sudah menjadi anak yang cantik, kuat dan pemberani. Jaga Mama dan Elaine ya, Nora. Dadda mau ketemu Nenek dulu. Besok kita jalan-jalan ya, Princessnya Dadda.”

Sang putri tersenyum dan menganggukkan kepala. “Iya Dadda, besok jangan lupa jemput Nora yaaa!”

“Iya, Nak.” Tara menjawab dengan pandangan haru, lalu ia membalik tubuhnya, meninggalkan anak serta mantan wanitanya untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih utuh.

I am Fool

Regina menghentikan motor scoopy merah mudanya di depan sebuah kafe kecil di dekat tempat sablonan. Entah apa yang mendorong perempuan berbaju sleeves biru muda itu untuk ke sana. Pikirannya kacau balau, perasaannya juga tak menentu. Ia hanya ingin menenangkan diri. Pertama karena Biel, kedua karena Della, dan yang terakhir...

Xavier.

Regina tidak pernah menyangka dari ketiga orang yang kini memenuhi kepalanya, yang paling membuatnya kesal sampai uring-uringan adalah yang terakhir. Padahal, Xavier orang baru di hidup Regina. Tetapi sekali saja lelaki itu berubah, Regina amat marah.

Marah bukan kepada Xavier, tapi ke dirinya sendiri. Ketika tadi Regina membaca pesan Xavier, silakan, pulang sendiri, seketika amarah Regina berapi-api dalam kepalanya. Panas tubuhnya seolah menyeruak hebat, hingga membuatnya tak berhenti mendumel.

“Gila ya tuh orang?” ocehnya kesal. “Wah! Gue kira dia baik sumpah, gak taunya kayak tai!”

Mungkin sudah lebih dari empat kata serapah yang keluar dari mulut Regina. Ia reflek membayangkan senyum penuh kemenangan yang tergurat di wajah Xavier. Dia pasti sangat puas saat ini, karena berhasil merusak pertemanannya dengan Della. Namun di lubuk hati Regina yang terdalam, ada sesuatu yang membuatnya ragu akan sikap Xavier. Bisa jadi ia bersikap demikian karena permintaan Regina beberapa menit lalu.

Regina meminta Xavier menjauhinya, tapi mengapa saat lelaki itu mengabulkan keinginannya, batin Regina bergejolak hebat. Dia membencinya. Dia kesal namun tak punya tempat untuk mengadu. Itulah mengapa kini ia lampiaskan pada dua kopi yang ia pesan.

Sengaja, Regina memesan Americano yang terkenal paling pahit, sepahit kenyataan hidupnya hari ini. Perempuan itu meraih ponselnya dengan harap emosinya segera teredam. Namun alih-alih membaik, Regina makin kesal saat membuka snapgram whatsapp. Della menyindirnya di sana. Padahal tadi perempuan itu bilang, ia telah memaafkan Regina.

Permainan apaan sih ini? gerutunya sembari mengerutkan dahi. Ingin rasanya Regina meminta penjelasan dari Della, tetapi ponselnya tiba-tiba menjerit kencang. Tertera nama Xavier disana.

“Apa?” balas Regina ketus.

“Keluar.” Tanpa nada lembut, Xavier memerintah Regina seolah dia adalah kacungnya.

“Gue bukan kacung lo, anjing. Ngomongnya bisa baik-baik nggak?” balas Regina nyolot.

“Keluar atau gue tinggal.” Lelaki itu membalas dua kali lebih menyebalkan dari yang Regina duga. Mau tidak mau, daripada jadi tontonan publik, Reginapun keluar. Menggeret malas kedua kakinya menuju pintu.

Xavier dengan mobil Rubicon-nya bertengger manis di halaman parkir. Regina mematung. Entah mengapa kejadian itu membuatnya teringat pada sang kekasih, Biel. Setiap mereka bertengkar hebat, Biel tidak pernah menjemputnya. Cowok itu pergi tanpa mengucap kata. Cowok itu mengacuhkan Regina yang menangis karenanya. Luluh lantah dengan hati pilu dan terluka.

He's so different from Gabriel. Sebuah bisikan berkata dalam hati Regina. Xavier yang notabene-nya bukan siapa-siapa dalam hidup Regina. Asing. Datang tanpa permisi kepadanya. Bahkan disaat keduanya terlibat pertengkaran kecil seperti tadi, lelaki itu berada di sisinya. Menunggunya tanpa mengeluh.

Dari situ, Regina menyadari bahwa she's such a fool for love. Dan ia berpikir jika suatu saat Della mendapat kesempatan yang sama dengannya, berada di posisinya sekarang, ia pasti akan sakit hati.

Egois ya?


“Jadi gak, Xav?” Satu suara terdengar dari seberang. Hazel. Teman baik Xavier, sekaligus wakilnya di kepengurusan OMK menghubunginya, karena ia telah berjanji untuk pergi bersama-sama menikmati masa muda di sebuah klub malam.

“Jadi, maleman ya. Kan gue bilang jam sepuluh,” kata Xavier. “Ck! Edrigo soalnya udah otw kesana, Xav.”

“Lah? Baca grup deh.”

“Lo emang dimana sih njir?” potong Hazel penasaran.

“Gue di kafe yang deket gereja.”

“Si anjing malah ngopi, orang tar malem mo minum,” decak Hazel.

“Nggak ngopi,” ralat Xavier.

“Lah terus lo ngapain? Jaipongan lo di dalem?” sarkas Hazel, meski tahu jika tujuan sahabatnya ke sana sudah pasti bukan untuk cuci mata ke perempuan lain. Soalnya... Xavier bukan dirinya yang genit dan suka curi pandang ke perempuan cantik. Yang ada, kalau Xavier jalan dengan dirinya dan ketiga temannya yang lain, justru ketiga temannya inilah yang bernasib naas. Pasalnya, semua mata seluruh gadis akan tertuju pada Xavier seorang.

“Gue jemput Regina,” kata lelaki itu enteng.

“Tetep yeeeeeee,” komentar Hazel pasrah.

“Disuruh gue sama nyokapnya. Sampe nangis anaknya nggak balik-balik,” papar Xavier memberi alasan.

“Waduh, gebetan lo diapain sama pacarnya sampe jadi en-empat-ce-ka-el?” gurau Hazel, tertawa puas.

“En-empat-ce-ka-el apaan?”

“Nachkal bedon!” perjelas Hazel tertawa. “Susah nih, kalau lagi bulol Pak Ketua mendadak blo'on.”

“Geblek lo ah,” kekeh Xavier seadanya, lalu sedetik kemudian saat Hazel bersiap meluncurkan lawakan berikutnya, tau-tau Xavier memutus sambungan telepon itu. Netra Xavier yang tadi masih terfokus pada layar ponsel, kini mengedar pada seorang perempuan yang berlari kecil menuju mobilnya. Ketika perempuan itu berdiri dengan tampang lesu, sang puan mengetuk kaca mobil Xavier sambil menekuk mukanya.

Xavier tidak berkata apa-apa, melainkan segera menekan tombol pembuka pintu di mobilnya, membiarkan si pembuat masalah masuk ke mobilnya dalam hening.

“Lho? Cowok lo mana, Gin? Tadi katanya pergi sama-sama?”

Ditanya seperti itu Regina enggan menjawab, muak rasanya dengan ledekan Xavier yang menaikkan tekanan darahnya. Jadi, ia putuskan untuk tidak terpengaruh dengan menutup mulutnya rapat-rapat, enggan menjawab sarkasan Xavier. Ia hanya langsung meletakkan tasnya di atas dasbor mobil laki-laki itu.

Beberapa detik setelah mobil Xavier melaju, Regina baru ngeh, jika tasnya ia letakkan di atas dasbor. Mengingat tadi Xavier sempat menegur Della, iapun tidak mau hal itu terjadi padanya. Malas sekali kalau sudah diledek kayak tadi, lalu masih diomeli oleh nyinyirannya. Alhasil, Regina mengambil kembali tasnya dan ia letakkan di bawah kaki.

“Kok dipindah?” tanya Xavier, menoleh ke Regina.

“Gue males dengerin lo ngomel,” sahut Regina datar.

“Oh,” gumam Xavier singkat, lalu kembali memfokuskan pandangannya pada jalan raya yang lumayan ramai. Tapi... Regina dapat melihat jelas jika laki-laki itu tak lagi meletakkan tangannya di atas perseneling.

“Misi.” Lelaki itu berkata singkat saat merogoh sesuatu di bawah kaki Regina. Rupanya Xavier mengambil tas Regina. Dan...

ia letakkan di atas dasbor mobilnya, hingga sepasang mata bulat milik Regina membulat sejadi-jadinya, menerka apa maksud dari perlakuan Xavier barusan.

:)


“Gina, ya Tuhan! Kamu kemana aja? Mama nelepon kamu, telepon pacar kamu itu si Gabriel, nggak ada yang angkat seorangpun.”

Sesampainya Regina di depan rumahnya, Felicia, ibu Regina menyambutnya dengan tampang khawatir. Mata wanita itu sampai terlihat bengkak. Ia menghambur peluk pada Regina erat-erat.

Yang menerima peluk hanya bisa membeku. Rasa bersalah yang tadi sempat tak terlintas, mulai menghantam benak Regina. Terlebih mendapati sang ibu yang ternyata menangis hebat karena Regina hilang kabar.

“Gina...hmmm....data internet Gina abis, Mah.” Hanya itu yang meluncur pelan dari bibir Regina. Ia terlalu lemah dan tak ingin membuat ibunya semakin hancur kalau tahu hari ini Regina melalui hari yang berat.

“Ya udah-udah, lain kali bilang sama Mama ya, kalau mau pulang terlambat. Untung ada Xavier yang bisa mama minta tolongin.” Felicia menatap Xavier yang berdiri di belakang Regina. “Ayo, bilang makasih sama Xavier udah dianterin,” suruh Felicia kemudian.

Regina terpaksa menghadap Xavier. Senyum yang ia tarik terkesan canggung. Bahkan, kedua netranya melirik ke arah lain, sengaja karena kepalang malu gara-gara kejadian tadi.

“Makasih,” ucap Regina singkat, lalu tanpa mengantar Xavier keluar, ia berlari masuk ke rumah.

“Aduh, Xavier. Maafin Gina ya. Dia tuh kalo malu suka ngacir. Eh, tapi dia nggak kayak gitu lho kalau lagi sama Biel. Malah biasa-biasa aja...”

Xavier bergeming. Entah mengapa saat ibu Regina menyebut nama kekasih Regina, sedikitnya ia merasa ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Bukan, bukan perkara cemburu. Tapi Xavier betul-betul curiga dengan gelagat pria itu, terutama setelah waktu itu ia digeber oleh Biel. Terlihat jelas jika Biel kurang menyukainya.

“Iya, Tante. Nggak apa-apa,” ucap Xavier sopan.

“Biasanya Regina kayak gitu kalau dia deg-degan. Atau jangan-jangan...” Felicia memutus kalimatnya. “Dia naksir kali sama kamu, Xav?”

Mata Xavier sontak melebar. Ia tidak mau membuat keputusan yang salah hanya karena dugaan ibu Regina. “Nggak, Tante. Kita cuma temen aja kok. Regina kan udah punya pacar.”

“Hati orang, Xav...siapa yang tahu. Hahaha,” gurau Felicia. “Eh, Xavier, ayo mampir yuk. Tante baru masak loh. Ayam goreng kayak yang di upin-ipin.”

“Hmm...maaf Tante. Saya ada janji sama temen-temen saya. Kapan-kapan saja ya, Tante. Saya pamit pulang dulu,” pamit Xavier.

“Oh begitu. Ya udah kapan-kapan ke sini sama Lingling, Anna dan Darius ya, Xav.”

“Iya, Tante. Nanti saya bilangin ke Mama dan cici-koko. Saya pamit dulu, Tan.”

Lantas setelah percakapan singkat itu, Xavier membalik tubuhnya kemudian berlalu meninggalkan rumah Regina. Sementara sang puan diam-diam mengintip dari balik jendela rumahnya. Senyum kecil pelan-pelan mulai terlukis di wajahnya.

Kenapa bukan Xavier ya orangnya? gumam Regina dalam hati kecilnya.