noonanya.lucas

“HEHEHEHE, Mamah, haloooo!” Idan melambai tangan padaku sambil cengar-cengir. Tapi yang jadi sasaran utamaku di pagi hari itu adalah laki-laki yang sedang sibuk merapihkan baju kaus putihnya. Siapa lagi kalau bukan Jordy Otoriter Hanandian.

“Dan, Idan bobo ya. Mamah mau jawil Papi dulu,” kataku pada Idan yang sibuk menggambar di iPad-nya di jok belakang. Sedang Jordy yang terang-terangan tahu kesalahannya hanya diam sambil menahan tawa penuh kemenangannya.

“Ga lucu!” Aku cemberut. Si pembuat masalah itu terbahak seketika, tangannya menjalar ke puncak kepalaku, mengusaknya pelan.

“Aku mau catokan hari ini, awas kalo kamu ngacak rambutku!” Aku memukul telapak tangannya sekeras mungkin, tapi dia dengan cepat menangkap tanganku, menyatukan jariku dan jarinya di antara celah jemari kami.

“Mas...”

“Welcome back, Mamahnya Idan,” ujarnya sembari membawa tanganku ke dadanya, ujung jemarikupun tak luput dari kecupan bibirnya.

“Nyebelinnnnn!” Aku mencibir pada Jordy, dia tertawa lagi.

“Kalo nggak ditungguin gini, sampe kapan tau kamu bakal netep di Yogya,” celetuknya sambil tersenyum.

Aku tak menampik sangkaan Jordy, karena sejak aku kembali ke sini, aku berencana melupakan Jordy seutuhnya. Aku bahkan sampai bersumpah-sumpah untuk tidak akan mengangkat telepon dari Aidan. Namun kegigihan Jordy seakan mematahkan kerasku kemarin. Kupikir dia hanya ingin bersendagurau dengan perasaanku. Tetapi sejak tadi lelaki ini tak henti-hentinya berdebat dengan Aidan memperebutkan siapa yang lebih berhak menggenggam tanganku.

“Idan mau duduk di depan sama Mamah! Idan mau gandeng tangan Mamah!” Alis Idan bertaut kesal saat ia melirik Jordy menggenggam jariku.

“IDAAAAN!” jeritnya.

“Idan, Idan, nggak boleh gitu sama Papi. Nanti gantian.” Aku menegur Aidan saat suaranya memecah sunyi dalam perjalanan kami, tapi disela-sela aku mencoba menenangkan tantrum anaknya, Jordy malah membuatku naik pitam.

“Papi menang, Idan kalah. Papi duluan.”

“HUAAAAA!”

Aku melirik sengit Jordy yang menunduk ketika Aidan menangis. “Kamu ya, bener-bener! Udah dibilang jangan digangguin anaknya, malah digodain.”

Aku kembali fokus pada Aidan yang berpindah ke tempat dudukku. Ia membenamkan kepalanya di dadaku sambil berusaha meredam tangisnya.

“Mamaaaaah, Papi nakaaaal!” adunya.

“Alah kamu tuh Dan, kayak apaan aja ngadu sama Mamahnya. Cuma dipinjem bentar doang aja ngambek.”

“Mamahnya Idan!” sengit Aidan mendorong tangan Jordy dari tanganku.

“Istri–” Jordy menahan napas, ucapannya terhenti di sana karena status kami yang tak lagi sama.

“Mamah!” Suara Aidan yang terdengar dari luar, membuat kaki berat melangkah. Seharusnya aku tetap di kamar, membiarkan ayah dari anak itu nelangsa sendirian. Tetapi saat senyum Aidan mengembang di depan pintu, tangisku pecah. Aku berlari menghampiri Aidan yang merentangkan tangannya lebih dulu.

“Dan,” aku balas memeluknya erat. “Mamaaaaaaaah, Idan kangen sama Mamah!” ujarnya, ia melonggarkan peluknya kemudian, lalu menyerahkan lukisan yang ayahnya kirimkan melalui WA kemarin malam.

“Idan bikin ini buat Mamah?”

Anak itu mengangguk kuat. “Di sekolah kita ada Appreciate Parents Day, Mah. Terus Idan bikin buat Mamah, harusnya ini disini tangannya Mamah, tapi Mamah gak pulang-pulang, jadinya pake tangan Papi. Terus, temen Idan nanya, 'tangan mamah kamu gede banget, kaya armagedon' Idan marahin aja yang bilang gitu.”

Aku kontan tertawa mendengar cerita polosnya, “Makasih sayangnya Mamah nomer satuuuuu!” Aku mengacak rambutnya setelah itu.

“Nomer dua siapa, Mah? Papi ya?” tanya Idan yang membuatku terenyak. Aku tahu kini tatapan Jordy lurus-lurus tertuju padaku, namun aku memilih untuk tidak menggubrisnya.

“Idan udah makan?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. “Masuk ke dalem yuk, mendung entar lagi ujan.” Aku menggenggam tangannya, dan mengajaknya masuk ke rumah. Tetapi anak itu enggan melangkah. Ia mendongakkan kepala sambil menatapku, “Papi enggak disuruh masuk, Mah?”

“Dan, Papi masih harus balik syuting. Nanti malem Papi jemput Idan di sini ya, temenin Mamah. Jangan nakal, ya.”

Seakan tahu jika kami masih perang dingin dengannya, Jordy langsung menghindar dengan menuju mobilnya.

Begitu ia tak lagi terlihat lagi di sekitarku, Aidan tiba-tiba berbisik padaku. “Mah, papi kemaren sakit, sampe muntah.”

Aku cukup terkejut mendengarnya, sebab yang kutahu, mantan suamiku adalah orang yang sangat menjaga pola makan dan menjalani pola hidup sehat, meski kadang ia masih sering merokok.

“Kok bisa Dan?”

Aidan mengangkat bahu. “Papi bilang jangan kasih tau Mamah.”

“Terus kok Idan ngasih tau?”

“Mamah kan istrinya Papi.”

Aku hancur mendengarnya.

Usai berkata demikian, anak itu berlari masuk ke kamar, menghampiri Dhea yang sedang mengerjakan PR sekolahnya. Teriakan bahagianya terdengar hingga keluar, dan bukan cuma itu, gelak tawa Aidan yang dulu menjadi penghias dan penyemangatku di rumah Jordy juga menggaung, memenuhi seisi rumah Bulik Ratih.

“Dan.” Aku membuka pintu kamar Dhea. “Ya, Mah?”

“Papi salah makan?” tanyaku hati-hati. “Papi enggak mau makan malah. Tadi aja cuma Idan yang makan. Dari pagi Papi belum makan apa-apa, cuma minum kopi aja.”

Aku membisu. “Jadi dua hari Papi nggak makan?”

“Papi makan sih, Mah. Tapi sedikiiiiit banget. Terus yah, Mah,” anak itu menjeda ucapannya.

“Papi kemaren tidur di kamar sambil meluk baju Mamah.”

Mataku berkaca-kaca, duniaku serasa terputar-putar. “Papi bilang sama Idan, katanya Papi bukan orang baik. Papi nakal sama Mamah.”

“Emang Papi ngapain, Mah?” tanya Aidan polos. “Nggak, Dan. Papi bohong aja itu sama kamu, Papi baik kok sama Mamah.”

Anak itu mengangguk setuju. “Waktu Mamah pergi, Papi masa minta maaf sama Idan. Tapi Idan nggak ngerti kenapa Papi minta maaf. Soalnya kan Papi kemaren jagain Mamah pas sakit. Idan juga boleh main seharian sama Kakak Dhea dan Mba Erna. Idan gak disuruh belajar. Papi kenapa minta maaf ya? Padahal Papi baik.”

Aku tersenyum kelu, bahkan untuk menjawab rasa penasaran anakku saja, aku tak sanggup untuk mengatakannya, ia masih terlalu kecil untuk tahu bahwa ia adalah korban keegosian kami.

“Kalo gitu, Mamah juga minta maaf sama Idan,” kataku menahan tangis.

“Ih! Apa sih?” Anak itu menggerutu. “Lebaran kan udah lewat. Ngapain pada minta maaf?”

“Yah, Dan. Namanya minta maaf kan gak harus nunggu lebaran,” aku mengekeh. “Sebenernya Idan sedikit ngambek sama Mamah. Tapi dikiiiiit aja.”

“Kenapa?”

“Karena Mamah gak pulang-pulang, Idan takut Mamah enggak pulang terus pergi, terus sakit kayak kemaren. Surga Idan nanti ilang.”

”...Surga Idan?”

“Kata ibu guru surga di telapak kaki ibu, bukan di telapak kaki ayah. Kalo Mamah pergi, nanti yang jadi surganya Idan siapa?”

Aku tertawa dalam kondisi air mata yang meluap. Rasa bersalahku kian melebar pada Aidan sebab anak itu benar-benar menyayangiku dengan tulus.

“Mamah, nanti ikut pulang kan, Mah?” “Pulang ke...mana?”

“Hotel sama Papi sama Idan.”

Aku diam seribu bahasa dengan perasaan memburu. Dadaku tercekat karena keputusanku dan ayahnya untuk bercerai, adalah sebuah perpisahan yang paling menyakitkan untuk Aidan.

“Idan mau bobo sama Mamah!” katanya, memainkan tanganku.

“Dan...”

“Papi sama Mamah sekarang udah jadi temen baik. Tapi, Papi sama Mamah tetep orang tua Idan.”

“Oh, suami istri itu temen baik yah? Berarti aku sama Nono suami istri dong Mah?”

Dhea di ujung kasur, terbahak mendengar jawaban Aidan, lalu dengan suara pelan ia berceletuk, “wis toh Mbak, seh tresno kok ditahan? Ngko bojomu lungo, nangismu tambah mbanter.”

“Diem lo! Gue lagi kemusuhan!” aku membalas judes. Dhea langsung bungkam dengan penuh rasa bersalah.

Jenan tidak peduli jika tubuhnya akan terluka untuk kesekian kali. Ia datang ke ruangan Jordy tanpa mengucap izin, dengan nafas memburu. Kilatan emosi memenuhi daksanya. Ketika ia mendapati lelaki bertubuh tinggi itu sedang mengambil salah satu buku bacaan di rak, Jenan menarik kausnya dari belakang. Segera ia ayunkan tangan, memberi hantaman keras pada wajah Jordy hingga memar.

“You idiot!” umpat Jenan kasar. Jika pada waktu lalu Jordy melawan balik, kini lelaki itu tidak melakukannya. Ia membiarkan wajahnya terluka, toh, akan sembuh seiring waktu berjalan. Hantaman demi hantaman Jenan hantarkan dengan sempurna ke wajah Jordy, wajahnya memerah padam namun hal itu tidak juga menyurutkan emosi Jenan pada Jordy.

“Udah anjing! Udah!” Teza yang menyusul Jenan berusaha menjadi penengah. Tapi apa daya, Jenan kala itu tengah digandrungi amarah, sedang Jordy, meskipun kelihatannya ia baik-baik saja, Teza tahu sorot mata lelaki itu hampa, tak ada semangat di sana. Ia datang ke kantor hanya sebagai kewajiban bukan pekerja atapun pemilik.

Maka jangan heran mengapa Teza sampai mengomeli atasannya sendiri di groupchat. Jordy tidak menyatakan alasan apapun pada keduanya. Harus Jenan dan Teza yang datang sendiri untuk mengguncang isi kepala lelaki itu.

“Udah?” Lihat saja betapa pasrahnya Jordy setelah hampir sepuluh menit menjadi buronan Jenan. Dibalik wajah memarnya dan sikap dingin yang Jordy tunjukkan pada Teza dan Jenan, lelaki itu sebenarnya hanya menyembunyikan kehancurannya.

Tak berapa lama usai Jenan meluapkan emosi, Jordy duduk di bangkunya. Bahunya gemetar dan tangisnya pecah. Baru kali ini Jenan dan Teza melihat Jordy seruntuh itu, bahkan kalau boleh mereka katakan—ini jauh lebih parah daripada kehilangan Kirana.

“Udahlah.” Jenan menghentikan emosinya. “Pulang lo sono. Biar gue sama Teza yang nanganin.”

Jordy bangkit perlahan, tak satupun kata keluar dari mulutnya. “Banci!” Jenan berteriak kesal.

Jika dulu aku mendengar nasihat Bulik Ratih, mungkin nasibku tidak akan semenyedihkan ini. Tapi sayang, aku terlalu percaya diri pada apa yang bukan menjadi jalanku. Maka ketika lelaki itu berjalan memunggungiku, aku membiarkannya meski isak tangis itu tetap ada.

Aidan, putra Jordy, pagi hari itu berlarian menyusuri lorong apart saat aku mengeluarkan koper besar. Entah dia paham maksudku dan ayahnya, Aidan tak berhenti mengikutiku. Binar mata lugunya terus menatapku, seakan melarangku pergi.

“Mamah mau ke rumah sakit ya? Mamah mau Idan temenin enggak? Papi kok nggak nganter Mamah sih?!” Anak itu menggerutu ketika sadar jika ayahnya tidak di sekitar. Ia berlari meninggalkanku, mencari ayahnya.

Air mataku yang sedari tadi tertahan, pada akhirnya berlinang ketika Aidan datang kembali, dan memelukku. “Mamah mau ketemu Kakak Dhea di Jogja? Idan mau ikut, Mah! Idan bisa izin sama Papi. Idan mau nemenin Mamah!”

Dengan suara gemetar, aku berjongkok agar sejajar dengan tinggi putra sambungku. “Dan...” Nafasku tercekat bahkan disaat aku berusaha menyingkirkan kenanganku bersama Aidan.

”...Mamah cuma sebentar kan?” Iris matanya membulat. “Kakak Dhea bilang Mamah ke Jogja cuma sebentar.”

“Dan, dengerin Mamah dulu,” selaku sembari membelai surai hitam tebalnya. “Janji sama Mamah, ga boleh nakal sama Papi selama Mamah pergi.” Aidan mengangguk kuat. Hatiku patah melihatnya.

”...Belajar, tapi ingat istirahat dan makan sayur. Mcd-nya jangan sering-sering yah?”

“Iya, Mah.”

“Ya udah, anak pinter. Mamah pergi dulu ya? Jangan nakal sama Papi, jangan suka ngambek sama Mba Erna. Ya, Sayang?” Aku menautkan kelingkingku pada kelingking mungil Aidan.

“Iya, Mah. Mamah kalo udah pulang bilang Idan ya? Nanti Idan jemput sama Om Devon. Papi enggak usah diajak, soalnya Papi nakal.”

Aku tertawa meski untuk melakukannya aku merasa amat terpaksa. “Dan, gak boleh gitu ah sama Papi. Katanya mau sayang Papi sama Mamah?” bujukku.

“Iya, Idan lupa, hehehe.” Anak lelaki itu memelukku sekali lagi, binarnya memandangku tulus. “Idan sayang sama Mamah, jangan sakit lagi ya, Mah. Idan udah belajar ngaji sama Kakak Dhea.”

Tangisku semakin pecah saat Aidan berucap demikian. Kupeluk tubuhnya erat, “Idan, maafin Mamah ya? Maafin semua kesalahan Mamah sama Idan. Mamah sayang banget sama Idan. Tumbuh jadi anak yang baik ya, sukses kayak Papi. Ya? Janji?”

“Iya, Mah. Idan nanti mau kayak Papi, jalan-jalan traveling bikin film kayak Om Sutradara.”

Aku berusaha tersenyum. “That's my boy. Mamah sayang Idan.”

Aku lantas memaksa diri untuk bangkit dan tak lagi menengok ke Aidan yang melambaikan tangan padaku.

// TW // harsh word

“You are my sunshine...My only sunshine... you make happy when skies are blue...”

Sedari tadi Erna, pengasuh Aidan terlihat bingung ketika nyonya-nya melantunkan lagu kesukaan Aidan di setiap gerak-geriknya. Sebelumnya ia berpesan pada Erna untuk membantu menjaga Aidan, tetapi pada detik berikutnya, istri dari tuannya itu justru menghentikan Erna untuk melakukan tugasnya.

“Biar saya aja, Na,” ucap Mentari pada Erna. Sebagai pengasuh, titah tersebut harus ia lakukan. Iapun membiarkan nyonya-nya bergerak bebas mengurus putra sambungnya.

“Bu, udah nggak papa? Tadi kata Ibu, kepala Ibu pusing?” tanya Erna cemas.

“Oh iya, ya? Saya baik-baik aja kok,” jawab Mentari tersenyum simpul. Erna diam lagi, tadinya ia enggan memikirkan hal ini, akan tetapi ia sadar jika gelagat Mentari cukup membingungkan.

Pertama, Mentari bolak-balik ke gudang. Kemudian saat keluar, perempuan itu dilihatnya membawa beberapa bingkai foto yang bukan menampilkan wajahnya sendiri, melainkan mantan istri Jordy, Kirana.

“Na, bagus ya?” tanya Mentari pada Erna ketika ia keluar dari gudang. Erna mengangguk saja. “Iya, Bu. Almarhumah cantik banget,” jawabnya setuju.

“Bu...” Teringat akan pesan tuannya yang meminta Erna untuk tidak lagi memajang foto Kirana, Erna mencoba memberitahu Mentari.

“Bu... Maaf, tapi Bapak pesen sama saya untuk simpen foto Almarhumah di gudang.”

“Kenapa? Kenapa harus disimpan? Emangnya ini jelek? Bener, Jordy yang ngomong gitu?”

Kilatan penuh emosi begitu kentara di daksa Mentari. Hal itu membuat Erna tertegun dan ketakutan setengah mati. Wajahnya seketika merah padam. “Taruh semua ini di kamar.”

Mentari yang Erna kenal, tidak pernah sedikitpun memarahinya. Ia akan berkata lembut. Kalaupun Mentari menegur Erna karena ia teledor, nyonya-nya itu akan lebih memilih mengajaknya bicara baik-baik. Tapi mungkin hari ini berbeda. Ada banyak kemungkinan yang terlintas di kepala Erna. Entah karena sedang bertengkar dengan Bapak, atau jangan-jangan... nyonya-nya ini akan segera memberi adik untuk Aidan.

Sebab, siapapun tahu jika wanita berbadan dua tidak mungkin memiliki emosi stabil. Kalau benar alasannya karena Mentari sedang berbadan dua, Erna turut senang. Akhirnya penantian dan doanya terkabul oleh Tuhan.

“Bu, tapi Bapak pesen—”

“Kalau saya bilang taro, ya taro. Susah banget ya bilangin kamu!” gertak Mentari. Erna sontak menunduk, iapun gemetar saat pertama kali Mentari menunjukkan taringnya.

“Baik, Bu.” Ia menyahut patuh sekaligus gelisah. Seraya melangkahkan kaki ke kamar tuannya, lagi-lagi sayup suara terdengar dari luar. Kali ini suara itu terdengar merintih pelan, sedih dan sesak.

“You are my sunshine...My only sunshine...You make me happy, when skies are blue...”

Lutut Erna melemas ketika Mentari melantunkan lagu kesukaan Aidan dalam nada pedih dan lara. Sudah cukup lama Mentari tidak menyanyikan lagu itu, namun saat nyonya-nya bernyanyi, salah satu bingkai foto pernikahan Jordy dan Mentari yang dipajang di atas lemari mendadak jatuh, kaca bingkainya pecah berserakan.

Erna sontak menjerit kaget karenanya. “Astaghfirullahaladzim!” Ia menengok ke belakang, dan segera berlari mengambil sapu.

“Siapa yang suruh kamu beresin?” Tau-tau Mentari muncul di depan Erna, sorot matanya memburu, suaranya lantang. Tapi yang lebih menakutkan dari itu semua, Mentari memoles lipstik merah yang dulu sering dipakai mendiang.

“Bu, Bapak kan nggak suka kalau kamarnya berantakan—”

“Nyonya kamu itu saya! Bukan perempuan sundal ini!”

Erna tersentak ketika Mentari yang ia lihat di matanya bukan lagi Mentari, melainkan Kirana.

Tak lama kepala Ernapun terasa sakit, bagai dihantam palu. Pandangannya lambat laun meredup, tubuhnya makin lemas. Dalam hitungan detik, perempuan paruh baya itu tak sadarkan diri.

Yogyakarta.

Wanita paruh baya terlihat duduk bersila di sebuah ruang gelap. Tak ada siapapun di sana, hanya ada ia seorang dan beberapa hadiah yang berisi bunga kasturi, melati dan sebagian panganan pasar.

Wanita itu dalam heningnya, melirih pada Yang Maha Kuasa, agar semua sanak keluarganya terlindung dari berbagai gangguan. Ia terus khusyuk berdoa, sampai gemercik air dari luar terdengar. Angin dingin berembus kuat di belakang tengkuknya, namun wanita ini tetap memejam mata, menyerahkan sepenuhnya pada Yang Di Atas.

Tetapi tampaknya kuasa kegelapan tak gentar mengganggu. Selalu saja, setiap ia ingin melantunkan nyanyian doa dan mantra, seluruh tubuhnya gemetar hebat. Perlawanan diadakan meski tak ada yang berserakan. Dia bukan siapa-siapa, tapi leluhurnya berkuasa.

“Opo karepmu?” Perempuan itu melantang. (Apa maumu?) Yang diajaknya bicara hanya diam sesaat, namun air mukanya terlihat bengis. Kedua mata merahnya menyalak, namun wanita itu tetap tenang dan enggan terinterupsi oleh kedatangannya.

“Kulo bade dahar...ambek ngombe....” Suara itu melirih kemudian tertawa keras di telinga sang puan. Jelas namun sukses menaikkan segala bulu halus di lengannya. (Aku ingin makan...dan minum...)

“Lungo!” Ia menjerit penuh amarah. (Pergi!)

“Ojo ngganggu!” teriaknya sekali lagi.

“Kulo teko kanggo wedhok kuwi... De'e pengantinku!” Tak ingin kalah, suara itu bergemuruh, juga dengan beberapa sajen yang disediakan di lantai. Tiba-tiba, jatuh berantakan.

“De'e dudu milikmu! Kowe ki' demit, tempatmu dudu neng kene! Mbiyen, wis tak omongi, de'e ki menungso, dudu seko bangsamu.” (Dia bukan milikmu, kamu ini jin. Tempatmu bukan dari sini, dulu sudah aku bicarakan. Dia manusia, bukan dari bangsamu)

Namun semakin sang perempuan menantang, suara itu kian menggelegar. Lantai yang menjadi alasnya seketika bergetar. “Kulo mboten peduli! Kulo njaluk wedho kuwi! Tak kirim kabeh pengikutku, njogo ing ngarepe griyané!” (Aku tidak peduli, aku mau anak perempuan itu. Pengikutku sudah kukirim untuk jaga di depan rumahnya!)

Tepat ketika suara itu menjawab, perempuan itu membelalakkan matanya. Nafasnya tercekat. Segera ia bangkit berdiri meninggalkan ruangan sunyi itu dan memanggil suaminya.

“Paaaak, Paaaaak, kita harus ke Jakarta malam ini! Riri dalam bahaya, Pak! Bangun toh, Pak. Pesen tiket malem ini juga!”

// cw // Mature Content

Dekapan Jordy masih membekas. Itu satu hal yang kupastikan melekat kuat dalam pikiranku. Maka ketika kedua kaki ini kulangkahkan pelan ke kamar, entah mengapa kakiku terasa lemas. Bukan perkara aku tak sanggup bila harus tidur berdua Jordy yang hobi memamerkan tubuh berotot yang penuh tato itu, tapi aku lebih tidak sanggup bila harus melihatnya menyembunyikan keluh, lelah dan patahnya sendirian.

Dua hari ke belakang, aku selalu memerhatikan Jordy berkutat pada tumpukan kertas di meja kerjanya. Bahkan tidak jarang, suamiku tertidur di atas tumpukan itu. Menjadi buruh di industri film, ternyata tak seindah bayanganku. Mereka bukan hanya duduk memantau di balik layar, ongkang kaki dan tinggal menyabet penghargaan, tapi ternyata ada kerja keras di dalamnya.

Aku langsung merasa tidak enak hati pada Jordy, lantaran pernah mempermasalahkan dia menyebut nama mendiang di ajang penghargaan bergengsi itu.

Aku merasa egois, tak becus dalam mendukung pekerjaan suamiku. Yang kupikir saat itu cuma cemburu yang menggebu, mengesampingkan betapa ia berjuang keras demi meraih penghargaan tersebut.

Maka sebagai tebusan atas keegoisanku, aku menghampiri Jordy yang tengah memejam mata di ranjang, merehatkan diri sejenak dari tumpukan skenario itu.

“Mas,” panggilku pelan. Ia tak menggubris panggilanku. “Tidurnya yang bener, nanti punggungnya sakit.”

Satu detik, dua detik Jordy tetap bertahan pada posisinya. Namun di detik ketiga, akhirnya ia bergerak pelan. “Mas, udah ya, jangan kerja lagi. Kamu capek banget itu, sampe cekung gitu matanya. Tidur ya? Jangan dipaksa lagi buat kerja.”

“Hmm.”

“Kamu lagi bad mood ya hari ini? Gara-gara apa?”

Jordy menggeleng pelan. Ia menarikku dari belakang, memelukku erat. Tangannya bertumpu di pundak. Seketika itu, aku terdiam. Jantungku berdegup tak beraturan, baru sadar jika ada satu hal yang kulupa malam ini.

Aku belum mengenakan bra. Biasanya aku selalu tidur menggunakannya, karena aku yakin Jordy tidak akan menyentuhku. Kontan, mataku yang seharusnya terpejam malah terjaga, sebab Jordy mengeratkan peluknya.

“Mas,” kataku pelan.

“Kenapa lagi...” Suaranya mulai mengayun pelan, “Gak bisa kita tidur aja?”

“Boleh ya aku ke kamar mandi sebentar,” izinku gelisah, sedangkan tangannya yang beberapa menit lalu bertengger hanya di sekitar pundak, kini merambat ke dada.

“Mas, aku mau ke toilet,” ujarku sekali lagi, dengan harap Jordy berhenti dan menurunkan tangannya ke bagian tubuhku yang lain.

Tetapi yang kudapat justru sebaliknya. Ia menggeleng, dan malah semakin mempererat peluknya. “Nggak mau,” gumamnya dengan nada memelas.

Sepertinya dia tahu aku berbohong. Akhirnya aku putuskan untuk menghadap ke arahnya.

“Kamu nggak pake bra ya?” tanya Jordy yang sontak makin membuatku malu.

Terpaksa aku mengangguk. Dan lagi, aku yakin jika selama ini dia menyadari kebiasaanku yang selalu mengenakan pelindung saat tidur.

“Pantesan.” Jordy mengekeh kecil. Mataku melebar kala dia tertawa, “pantesan apa?”

“Ngerengek alesan pengen ke toilet.”

“Ck!” Aku berdecak menahan malu.

“Nggak bagus kalau sering pake bra pas tidur,” ujarnya memberitahu layaknya orang tua menasihati anaknya.

Aku sontak tertawa ketika dia berkata seperti ayah kepada anaknya. Tapi apa yang Jordy katakan, sepenuhnya benar.

Aku selalu mengenakannya karena aku tak pernah terpikir kalau kami akan berada di titik yang sekarang.

Tidur seranjang, saling mengikat tubuh satu sama lain.

Desahan nafasnya berembus pelan di telingaku—seakan merayu untuk melepas segala yang selama ini kupertahankan sejak Jordy resmi menjadi suamiku.

“Rambut kamu wangi,” ia mendekati wajahnya.

“Aku abis keramas,” sahutku pelan. “Kamu gerah ya, kalo tidur nggak pernah pake baju.”

Dia menjawab dengan suara parau, “emang kebiasaan saya dari dulu kalo tidur gak seneng pake baju.”

“Ntar kamu masuk angin.”

“Nggak pernah, tuh,” balasnya cuek.

“Eh, aku ke kamar mandi dulu ya, Mas?”

“Mau pake bra?”

Aku mengangguk.

“Nggak usah.” Ia melarang.

Pikiranku langsung kacau detik itu juga. “Aku belum kebiasaan...” Aku terus beralasan dengan harap ia mengerti maksud hatiku.

“Kan tadi udah dibilangin, gak bagus.” Tangannya kini bertengger disela-sela dadaku. Perlahan ia menggerakkannya, dan kupastikan ia menyentuh salah satu dari milikku.

“Mas kamu ngapain...”

Ia tertawa kecil.

“Kan emang cuma boleh saya yang megang,” katanya sambil tersenyum.

“Sinting!” Aku menukas, menggeser tangannya dari benda yang paling ingin kulindungi. Matanya setengah terbuka, memandangku memelas.

“Sayang, boleh ya?”

“Nggak.” Aku berkeras diri. Ia merengut. “Tadi saya di-mention sama temen kamu di Twitter.”

“Chanting asu!” Aku kelepasan mengumpat, sebab sedari tadi aku sudah berusaha kuat dan tegar menahan diri agar hal ini dapat kusembunyikan rapat-rapat dari suami, tapi sayangnya pepatah yang sering kudengar itu benar adanya.

“Tuhan menyembunyikan rahasiamu, tapi tidak dengan sahabatmu.”

“Kamu nggak bales,” kataku sembari berusaha memindah tangannya dari salah satu benda itu.

“Emang enggak, tapi kan saya punya mata buat baca.”

“Maas!” Aku nyaris mendesah ketika sadar bahwa Jordy tidak hanya sekedar meletakkan tangannya di sana, tapi juga meremasnya.

“Kamu iseng banget!” Aku tersentak kaget.

“Saya suami kamu.”

“Bukan berarti kamu bisa seenaknya!” tegasku.

“Ya udah maaf,” ia mengalah dengan muka pasrah. “Maaf kalo maksa.”

“Aku bukan nggak mau,” tuturku mencoba memberinya pengertian.

Ia mendengarkan dalam raut penuh rasa bersalah. “Idan masih butuh perhatian ekstra. Sabar dulu ya, masih banyak yang harus kita perbaikin.”

“Apa?”

“Us.”

Entah apa yang membuatku menjadi seberani ini dalam mengutarakan isi pikiranku. Kulirik wajahnya dipenuhi rasa bersalah seketika. Disaat yang sama, akupun panik, takut menyinggung perasaannya.

”...Ng, aku gak maksud nyalahin kamu—”

“Saya tau, salah saya banyak sama kamu,” ia memotong perkataanku tanpa sedikitpun melepas peluknya. Justru kini dia kembali mengeratkannya.

“Maaf ya, aku kayaknya ngajak bicara pas lagi gak tepat gini,” sesalku kini memburu. Aku bukan maksud menolak permintaannya, namun kurasa baik aku dan dia harus sama-sama yakin akan pernikahan ini. Jadi, aku menahannya sebisaku. Dan lagi, Aidan...aku sangat menyayanginya seperti anakku sendiri walau dia tidak lahir dari rahimku. Ia masih butuh banyak perhatian dariku, juga ayahnya meski usia Aidan boleh terbilang pantas memiliki adik. Tapi yang paling aku utamakan adalah aku dan Jordy sebagai orang tuanya.

Masih banyak kurangku yang terkadang membuat Jordy marah, begitupun dia yang hingga saat ini membuatku bingung dan sulit membedakan apa sikapnya ini sungguh-sungguh atau dia hanya ingin kompak di depan Aidan dan tidak menyakiti anaknya.

“Nggak, kamu bener,” ucap Jordy. “Saya nggak sadar kalau saya selalu nyakitin kamu.”

“Mas, jangan gitu..”

“Tidur, besok saya harus kerja.”

“Kamu marah ya?” tanyaku lembut, ia menggeleng.

“Tidur, Mentari.” Kali ini suaranya tegas. “Kalo kamu udah siap, baru kasih tau saya. Its on you.” Ia tampak menjeda ucapannya, “...Saya ga marah sama kamu.”

Aku mengangguk dalam rengkuhnya, “...Mas, aku sayang banget sama kamu,” lirihku sepelan mungkin.

Ia tak menyahut, tapi jelas kurasa Jordy turut mengangguk dengan tangannya yang mengelus puncak kepalaku.

”...Kalau Jenan ngechat, jangan dibales.”

”...Kalau dia telpon jangan diangkat.” Aku melirik matanya yang mulai terpejam.

”...Kalau saya yang telpon, kamu harus angkat.”

”...Kalau saya chat, dibales.”

“Masih ada lagi, Pak?” gurauku sambil tertawa.

”...Kalau Idan mau tidur di sini, harus approve saya dulu.”

“Ih! Nggak boleh gitu, Mas. Itu anak kamu, masa gak boleh tidur sama papi mamahnya, yang bener aja?” Aku langsung mengomel panjang.

“Boleh, tapi nggak boleh keseringan. Harus banget saya ngulang-ngulang?” Ia tak mau kalah memprotesku.

“Kalo itu aku tau, Mas Jordy. Udah sih, kamu marah-marah melulu,” gerutuku kesal.

“Abis kamu, udah saya kasih tau masih keras kepala,” debatnya.

“Lagi, emang kenapa coba Aidan nggak boleh tidur sama orang tuanya—”

“Kamu mau dia liat kita posisinya gini?” Jordy balas menyekakku, netranya kini terperangkap pada pakaian tidurku yang transparan, tangannya yang terikat pada pinggangku.

Aku tersenyum kelu, kadang apa yang dia bicarakan ada benarnya. Pasti Aidan akan bertanya-tanya jika ia melihatku dan Jordy tidur dalam posisi saling menghimpit seperti ini.

Netranya menetap di daksaku, hangat dan lekat. Dengan tangan kokohnya, ia menarikku perlahan ke dekatnya.

“Tunggu.” Suaranya pelan, menderukan ombak besar di hatiku.

“Kenapa?” Aku cuma menjawab singkat dengan suara parau. Bahkan untuk membalas tatap hangatnya itu rasanya aku tak sanggup. Benakku terlanjur diselimuti bahagia—terlena akan semua sikapnya yang seolah begitu mencintaiku.

Ia melepas safety-beltnya kemudian mencondongkan tubuhnya ke arahku, tangannya terayun dan menyelipkan rambut ikalku ke belakang telinga. Kala itu dapat kupastikan bila segala nadir dalam diriku terhenti sejenak, Jordy kupastikan mengambil alih semua yang ada dalam diri ini hingga aku tak berkutik.

“Saya gak ada karet gelang, jadi diiket pake tangan aja dulu.”

Aku tertawa lepas, memandang wajahnya yang berbinar hangat untuk pertama kali saat ia sedang denganku. “Aku bawa karet, sebenernya...” Pelan suaraku menjawab.

“Nggak usah pake karet, siapa tau kapan-kapan berantakan.” Ia tertawa renyah setelahnya.

“Hah?”

Disaat aku sibuk mencerna maksud ucapan Jordy, lelaki itu justru mempererat kaitan tangannya yang telah berpindah ke pinggulku. Ia mendekat kembali, meletakkan kepalanya di ceruk bahuku. Dekapannya kali ini entah mengapa terasa lebih erat dari biasanya, desahan nafas yang terbuang dari bibirnya pun terasa amat menyedihkan. Namun Jordy tidak bicara apa-apa, ia hanya terus memelukku.

“Kamu kenapa?” Raut khawatir di wajahku terlintas, tanganku bergerak mengelus pipi Jordy yang semakin hari semakin tirus.

“Kerjaan? Atau gara-gara ngurus aku di bully? Soal Idan, nggak usah khawatir, kan ada aku,” ucapku mencoba menenangkannya.

Ia menggeleng pelan, menghindari pertanyaanku.

“Udah ditunggu sama Idan, ayo keluar. Nanti nangis kalo kamu gak nongolin muka,” ujar Jordy membuka pintu. Kacamata hitam Rebel bertengger di batang hidung mancungnya.

Aku lantas berlari kecil menyusul Jordy yang lebih dulu berjalan. Dan berani-beraninya aku yang selalu ragu tentang kesungguhan Jordy mulai mencintaiku, menyelipkan tanganku sendiri di balik jemarinya.

“Kalo ada apa-apa cerita ya.” Aku memberanikan diri mengelus punggung tangannya.

“I will.”

“Kelamaan nggak nunggu akunya?” Pertanyaan itu tercetus ketika Mentari baru saja tiba di depan mobil Jordy. Sebenarnya tidak terlalu lama lelaki itu menunggu, hanya sepuluh menit. Mentari muncul dengan rambut ikalnya yang tergerai indah. Hari itu dia mungkin belum berdandan, sebab khawatir membuat Jordy menunggu terlalu lama.

“Nggak terlalu,” sahut Jordy dengan muka lempengn seperti biasa. Tetapi rautnya berubah hangat saat Mentari duduk di sebelahnya. Netranya otomatis terarah pada sibuknya kegiatan Mentari siang itu. Ia membuka pouch make up yang berisi peralatan dandan yang Jordy berikan beberapa waktu lalu.

“Kamu mau aku pake yang mana? Coba pilihin,” tanya Mentari menyodorkan beberapa pilihan foundation di hadapan Jordy.

“Ya saya mana tau, Mentari. Sama semua itu,” sahut Jordy pasrah. “Bedak kan?”

Perempuan itu tertawa kecil, “bukan dong, Mas. Ini tuh foundation, sebelum bedak. Lah kamu beliin waktu itu.”

“Saya gak langsung ke counter, dikabarin sama sekertaris waktu itu. Mesennya online.”

Mentari mengangguk paham, “Pantesan aja belinya segambreng,” gumamnya. “Aku bingung abisnya, mau pake yang mana.”

“Yang itu aja tuh.” Jari Jordy menunjuk pada foundation mahal yang paling enggan Mentari sentuh karena harganya selangit.

“Kamu cek nggak ini foundy-nya di harga berapa?”

Jordy kontan menggeleng. “Pokoknya waktu itu saya pesen ke sekertaris untuk cariin make up yang paling bagus di Plaza Indonesia.”

Mentari tercengang. “MAS YA ALLAH! Pantesan aja...” pekiknya sembari mengelus dada. Sementara oknum yang kartu kreditnya tergesek hanya memandangnya datar tak mengerti. “Emang kenapa? Itu kan pusat perbelanjaan.”

“Iya sih...” Mentari menyahut dengan nafas tercekat. “Mas, tapi mahal banget itu. Nggak ada yang di bawah lima ratus kayaknya. Pasti lima juta ke atas...” Ia memandang iba pada alat makeup nya.

“Ya enggak papa. Mending yang bagus sekalian daripada yang abal-abal,” respon Jordy masuk akal. “Jadi kamu nggak suka sama make-upnya?”

“Enggak, Mas. Bukan.” Tanpa Mentari sadar, tangannya mengelus lengan Jordy pelan. Lelaki itu sontak membalas, ia turut meletakkan tangannya di atas tangan Mentari, kemudian ia genggam sejenak.

“Terus apa?” Jordy kembali bersuara tanpa membiarkan Mentari melepas kaitan tangannya. Netranya terpusat pada sepasang mata bulan sabit milik sang gadis. Lekat, penuh makna tersirat di dalamnya.

“S-sayang duitnya aja,” jawab Mentari, menarik tangannya dari genggaman Jordy.

“Mas, ini udah mah jam dua, kita belum jalan-jalan dari tadi, nanti Aidan kelaperan.” Mentari mencari-cari alasan agar Jordy tidak melancarkan aksi berikutnya. Namun sayang perempuan itu tak begitu pandai berbohong. Pipi bulatnya merona merah, dan membuat Jordy tersenyum lebar karenanya.

“Iya, iya. Tapi tangannya gak usah kemana-mana,” sahut lelaki itu seraya menyetir dengan satu tangan. Mentari menelan ludah saat Jordy kembali menarik tangannya.

“Mas.”

“Hmm.” Jordy menggumam dengan pandangan yang tetap lurus ke depan, sementara ibu jarinya sibuk mengusap punggung tangan Mentari.

“Aku mau make up....” ujar Mentari menghela nafas. Lelaki itu tertawa kecil lalu perlahan melepas tangan istrinya.

“Lipstikan aja.”

“Nggak.”

“Ya udah eyeshadowan aja.”

“Nggak, kaya topeng monyet.”

“Ya udah blush on-an aja.”

“Itu makin kaya topeng monyet kalo kamu suruh aku cuma pake blush on.”

“Haha.”

Entah yang keberapa kali Jordy mengumbar senyum hari ini, begitu ia mendapati Mentari merengut, gelak tawanya kian melebar. “Ngambekan banget, kamu tuh.”

“Ngaca!” seru Mentari enggan mengalah.

“Ya udah, make up, make up.” Jordy mengacak rambut ikal Mentari yang baru saja sisir beberapa jam lalu. “Mas, kalo berantakan aku marah banget ya sama kamu. Sisirnya susah ini.”

“Saya rapihin pake jari juga bisa,” jawab Jordy sok tahu. Mentari menyipitkan mata.

“Mau pake karet gelang apa tangan?” Lelaki itu memasang tampang jahil.

“Hah?” Mentari merespon dengan wajah lugu.

“Nggak jadi, saya bercanda doang.” Jordy memungkas ucapannya ketika sadar bahwa istrinya ini begitu naif bahkan jauh lebih naif dari perkiraannya.

“Idan mau pop corn asin, Mah!” seru anak lelaki berambut hitam, ia menarik tangan seorang perempuan, memintanya berbaris rapi di lorong “snacks.”

“Iya, pelan-pelan, Dan. Jangan lari, nanti jatuh,” sahut perempuan itu mengikuti sang bocah berbaris. Di belakang dua orang ini, Jordy berdiri gagah. Tubuh tinggi yang menjadi ciri khasnya membuat para penonton di sana dengan mudah mengenali sutradara kondang tersebut. Jordy langsung menjadi pusat perhatian kaum hawa di sekitarnya. Ada yang menatapnya penuh kagum, dan ada pula yang melirik sang puan dengan pandangan cemburu. Tetapi Jordy sama sekali tak menggubris wanita-wanita muda yang sibuk menebar pesona padanya. Sorot Jordy hanya terpusat pada seseorang yang sedari tadi terus mengurusi putranya di depan.

“Sebentar, Dan. Mamah beli dulu,” ucap sang puan lembut pada Aidan. Sembari satu tangannya mengeluarkan dompet, tangan kirinya menggandeng erat tangan Aidan. “Idan mau sama Mamah.”

“Ya, sini. Tangan Mamah jangan dilepas, nanti ilang,” peringat perempuan itu sebelum ia menatap pegawai bioskop, “Mas, mau yang asin satu ya.”

Pegawai yang bertugas justru bergeming. Bahkan nyaris tak berkedip saat si puan mengajaknya bicara. Ia mengelus dada, “Masha Allah, cantik banget. Bismillah, nomer WA-nya berap—”

“Popcorn asin, satu,” sambar Jordy dari belakang. Sang puan yang menyadari bahwa muka suaminya terpasang dingin lantas terbahak.

“Mukanya jangan galak gitu, bisa nggak?” ledeknya usil.

“Saya biasa aja tuh,” kilah Jordy cepat. Ia kembali melirik sang pegawai yang sedang membawakan popcorn sesuai pesanan sang puan. Dan tanpa berani melirik perempuan itu, si pegawai menyerahkan popcorn pada Jordy.

“Dah, ayo,” ajak Jordy enggan berlama-lama. Diraihnya tangan sang puan untuk mengikuti langkahnya ke depan pintu bioskop.

“Mas,” panggil sang puan. “Ada apa?” Jordy menoleh.

“Idan aja yang digandeng, aku gak usah.” Perempuan itu melepas tangannya dari genggaman Jordy.

“Kenapa?” tanya Jordy datar. “Tanganku kasar,” jawab sang puan, menunduk malu. “....kata kamu.”

“Emang iya,” kata Jordy lagi. “Ya udah gak usah digandeng kalo gitu.” Perempuan itu menyimpan satu tangannya di belakang. “Udah, fokus aja liatin Idan lari-lari. Nanti kalo Idan ilang, kamu panik.”

“Idan gak mungkin hilang kalau magnetnya jalan sebelah saya,” ucap Jordy spontan seraya kembali menggenggam tangan istrinya.

“Mas, dibilang gak usah megang,” decaknya kesal.

“Nanti kamu hilang, Aidan ikut ilang,” jawab Jordy asal. Ia semakin mempererat genggamannya, tak membiarkan perempuannya menjauh.

“Jangan lepas,” bisiknya. “Kalo kamu lepas, nanti gak ada yang bisa saya jagain.” Satu tangan Jordy mengacak rambut belakang sang puan.

Yang ia tidak sadari jika perlakuannya membuat si puan nyaris tak sadarkan diri.