noonanya.lucas

“MAMAH, Papi beneran ajak kita nonton?” Pijar ceria yang tampil di wajah Aidan seketika menghangatkan hatiku. Anak itu tiada henti menggenggamku sepanjang kami berdua berada di lift. Dia sibuk berceloteh tentang tokoh kartun favoritnya, Spiderman, yang akan kami tonton di bioskop nanti. Senyumnya tak berhenti merekah saat ia bercerita. “Idan seneng?” tanyaku membelai rambut hitamnya. Aidan menyambutku dengan anggukan kepala.

“Seneng, Mamah. Apalagi nontonnya bertiga. Ada Papi sama Mamah.” Ia tersenyum selebar mungkin. Aku mengangguk, menatapnya penuh haru. Akupun merasakan bahagia yang luar biasa, sama seperti Aidan. Anak ini memang jarang sekali keluar rumah. Hiburannya hanya games dan buku cerita. Maka jangan heran, sekali ayahnya mengabarkan bahwa ia akan menonton bioskop, Aidan melonjak kegirangan. Aku tahu Aidan sebenarnya tak butuh games-games yang ia mainkan, yang ia butuh hanyalah perhatian Jordy, papinya.

“Idan, nanti mau duduk di depan?” tanyaku pelan. Aku bertanya dengan sangat hati-hati. Sebab jika Aidan menolak, artinya akulah yang harus duduk di sebelah Jordy. Rasanya aku belum siap untuk duduk bersebelahan dengannya. Debaran jantungku mulai tak karuan, padahal belum ada sedetik aku dan Jordy saling bertatap muka.

“Nggak mau, ah. Idan nggak bisa baringan.” Aku melongo.

“Kenapa, Dan? Kan enak bisa liat mobil.”

“Idan mau bobo, Mah. Biar enggak tidur nanti pas nonton bioskop. Mamah aja duduk di depan, sebelah Papi,” katanya cuek. . . . . Biarpun ini bukan pertama kali aku duduk di bangku penumpang, namun tetap saja aku belum terbiasa. Setelah beberapa bulan menikah, akupun sama seperti Aidan. Jarang sekali pergi dengan Jordy. Aku lebih banyak di rumah mengurus Aidan. Bisa dibilang, hari ini adalah pertama kalinya aku akan menghabiskan waktu bersama lelaki itu dan putranya seperti keluarga lain.

Ketika kami sudah berada di mobil, Aidan langsung mengambil posisi di bangku belakang. Kulihat ia meluruskan kaki dan memejam mata, mengamini omongannya di lift tadi.

“Kok malah diem? Ayo masuk cepet,” titah Jordy sesaat aku memandanginya dari luar.

“Misi,” ucapku kikuk. Perlahan aku mendaratkan diri pada bangku di sebelahnya. Rasanya sulit sekali untuk memalingkan pandanganku dari Jordy. Sebab di detik aku duduk di sebelahnya, jantungku berdegup kencang. Aku bagai kehabisan kata untuk memuja wajah tampannya yang meremang di bawah cahaya. Pantas bila orang-orang menilaiku kurang cocok dengan Jordy, suamiku saja setampan ini.

“Mau makan apa?” tanyanya membuka obrolan.

“Ng... apa ya? Aku ngikut aja.”

“Idan, mau makan apa?” Jordy langsung beralih ke putranya karena aku tak dapat memberi jawaban pasti. “Dan?” Jordy menengok ke jok belakang.

“Dia tidur, Mas.” Aku memberitahu. “Jangan dibangunin. Idan tidur, tadi kata dia mau nyimpen tenaga biar kuat nonton film.”

“Aidan tuh suka banget nonton. Kalo diajak nonton kayak gini, dia bakalan lupa semuanya. Mau laper, mau belum makan. Dia akan fokus sama tontonannya nanti. Makanya, saya nanya kamu, mau makan apa. Tuh anak pasti nurut diajak makan dimana.”

Aku mengangguk sembari memerhatikannya bercerita padaku. Senyum di bibirku mengembang, menikmati momen pertama kalinya Jordy yang selalu irit bicara itu, begitu mengobrol panjang denganku.

“Mau makan apa, Mentari?” Ia kembali pada pertanyaan semula. Namun fokusku pecah saat aku menyadari sesuatu—tangan Jordy yang seharusnya menyentuh perseneling malah berada di atas punggung tanganku.

“Mas, kayaknya kamu salah megang deh,” kataku melirik tangannya. Netranyapun turun, mengikuti ucapanku.

“Sering make lotionnya ya?” Ia mengalihkan pembicaraan.

“Gimana?” balasku heran. Jordy malah membahas hal-hal random diluar nalar.

“Tangan kamu udah nggak kasar lagi,” ujarnya, tersenyum.

“Eh? Masa? Ya belakangan emang lagi rutin sih, abis kemaren sempet kering karena kebanyakan cuci piring.”

“Lagian kamu, kenapa sibuk sendiri nyuci piring segala? Si Erna gabut dong kalo semua kamu yang ngerjain.”

“Nggak juga kok. Mbak Erna bagi tugas sama aku. Dia nyapu ngepel—”

“Kamu yang nyuci piring, nyetrika, masukin baju, lap meja, dan segala macemnya?” tanyanya memotong ucapanku.

Sebentar. Ini aneh, karena aku tak pernah menceritakan apapun padanya. Dari mana dia tahu jika aku melakukan semua itu? Dia saja jarang di rumah.

“Mas, aku—”

“Kamu bukan pembantu, Mentari. Yang saya bayar buat bersih-bersih rumah itu Erna. Ngapain sih kamu ngerjain gituan?”

Aku tertegun saat Jordy menegurku perihal yang satu ini. Aku memang sengaja melakukan pekerjaan rumah supaya pikiranku tenang, tak lagi mengingat sakit hati yang membekas karena tahu Jordy tidak mencintaiku. Aku melirik rahangnya yang mulai mengeras, menahan kesal. “Jangan bikin Erna keenakan. Nyonya di rumah itu kamu, kok malah jadi dia yang gabut.”

Nyonya katanya? Aku tersenyum kecil. Sebut saja aku gila, tapi ucapan Jordy barusan sukses meletupkan rasa hangat dalam diriku. Aku tercekat kala Jordy menoleh padaku sambil sedikit mendekatkan wajahnya.

“Denger nggak?” Jordy kembali memegang tanganku.

“Denger. Aku gak boleh ngerjain kerjaan rumah,” ujarku mengulangi titahnya dan membuatnya tersenyum puas, kemudian Jordy menurunkan tatapannya ke tanganku dengan alis bertaut, “ngapain sih tangan kamu tuh?”

“Nyetir. Jangan gak fokus,” aku menatap jalan raya dan mengembalikan tangannya ke atas perseneling.

Tapi entah apa yang sedang menggandrungi Jordy malam itu, ia kembali menarik tanganku dan justru melakukan hal yang lebih tak masuk akal bagiku—menggenggam tanganku erat.

“Its our family time. Today.” “Terus?”

“Liat tuh di depan, lampunya merah.” Aku tak paham dengan maksud pembicaraan Jordy.

“Ya terus kenapa, Mas Jordy?”

“Mirip sama pipi kamu. Blush on-nya over.” Ia mengayunkan tangannya kemudian mengusap pipiku perlahan.

“Mas... kamu kenapa sumpah...” kataku terbata-bata. Ia hanya tersenyum, tapi tangannya mulai nengelus pelan tanganku bahkan sampai dipindahkan ke atas pahanya. Satu per satu jari kami menyatu.

“Sebentar aja. Saya lagi capek banget ini.”

Aku mengangguk, membiarkan pijar istimewaku ini beristirahat sejenak.

“Assalamualaikum, Mas.”

Jordy baru saja kembali dari kantor. Kali ini ia pulang sedikit lebih larut dari biasanya—pukul sebelas malam. Sepengetahuan Jordy, orang rumah sudah tidur lebih dulu jika ia pulang semalam ini. Tapi ternyata ada satu sosok yang sedari tadi belum memejam mata. Ia, Jordy temukan berdiri di belakang Jordy dengan mata sayu, seakan memaksa diri menahan kantuk.

“Belum tidur?” tanya Jordy meletakkan tasnya pada sofa di ruang keluarga.

“Belum, aku nungguin kamu.”

“Lain kali, nggak usah. Dua minggu ini saya bakalan pulang malem terus, syuting.” sahut Jordy acuh, meninggalkan perempuan itu di ruang sunyi tersebut.

“Mas Jordy.” Langkah Jordy seketika terhenti.

“Makasih ya hampers lotionnya. Hmm, tapi aku nggak pake. Kayaknya gak cocok buat aku, kamu aja yang make.”

“Gak suka sama wanginya?” tembak Jordy menduga.

Perempuan itu menggeleng.

“Nggak, aku suka baunya, enak. Tapi gak pantes aja buat aku. Terlalu mahal, Mas.”

“Terus, kenapa kamu nggak nolak dikasih make up sama Jenan waktu itu? Kenapa kalo dari saya selalu nolak?” Entah apa yang Jordy pikirkan hingga membuatnya terbengkalai, dan teringat akan hampers dari Jenan. Emosi di kepalanya memuncak seketika. Wajahnya merah padam, dan tak lagi ia tersenyum hangat seperti sedia kala.

“Buang aja. Disitu kan ada tempat sampah, kalo nggak suka ya tinggal dibuang. Saya mau tidur.”

Tak ada jawaban yang Jordy dengar dari perempuan itu setelah ia menegurnya. Jordy segera melangkah ke kamar, dan ketika ia sudah berdiri di ambang pintu, Jordy benar-benar merasa kesal hingga tak sadar membanting pintu kamarnya kuat-kuat

Sedangkan perempuan yang tadi menjadi sasaran amukannya duduk merenung di sofa. Air matanya terjatuh untuk kesekian kali. Nafasnya tercekat, dan dadanya kian terasa sesak mengingat ucapannya sendiri.

“Kintan enak nih bos, web seriesnya kan nembus dua m.” Tepat jam makan siang, ada satu orang yang bertandang ke ruang kerja Jordy. Teza. Biasanya berdua dengan Jenan, namun akibat kejadian kemarin, suasana dingin masih menyelimuti keduanya. Jenan bahkan terpaksa datang ke kantor dengan pelipis biru hingga menjadi pusat perhatian beberapa anak buahnya.

“Lo masih ngambek sama Jenan?” tanya Teza mengalihkan topik. Yang ditanya hanya meliriknya tanpa ekspresi, dan membuat Teza semakin tertawa karenanya. “Gue tau Jenan salah. Caranya salah, tapi udahlah, Jor. Temen deket kita, gue yakin dia gak maksud buat ngegoda bini lo.”

Lelaki yang menjadi lawan bicaranya masih senantiasa menutup mulut. Sedari tadi yang dilakukannya hanya membaca skenario untuk proyek selanjutnya, seakan menghindari arah pembicaraan tentang Jenan. “Kalo lo kayak begini, bagus dong. Usaha Jenan berhasil artinya!” Teza tiba-tiba nyeletuk.

“Usaha apa?” Lelaki itu memandang Teza dengan muka lempeng.

“Ngetes lo jatuh cinta sama Mentari apa enggak,” jawab Teza enteng.

Ia menjentikkan jari pada kertas yang sedang dibaca oleh laki-laki itu. Mendengar celetukan Teza, Jordy hanya bergeming. Tidak menganggukkan kepala maupun menggeleng. Sementara Teza yang sedang mendaratkan tatapannya pada pria itu tersenyum tipis. “You love her, Jor. You really love her,” sambungnya penuh keyakinan. Namun si es batu itu malas menanggapi dan melakukan satu kebiasaan buruknya—menghindar, “lo masih mau ngepoin urusan gue, atau mau meeting? Kalau enggak silakan keluar. Pintu di depan.”

Teza memutar bola matanya, lalu terbahak. “Makan tuh gengsi,” cibirnya puas.

“Gue gak makan di luar hari ini.” Arah tatapan Jordy kemudian melipir ke sebuah tas yang ia bawa, berisikan tupperware yang mengeluarkan aroma sedap.

“Lo...apa?” balasnya heran. Tanpa menjawab pertanyaan Teza, lelaki itu mengeluarkan kotak makan yang ia bawa dari rumah.

“LO BAWA MAKANAN DARI RUMAH?” Teza menjerit histeris karena tak percaya dengan apa yang ia lihat. Jordy yang Teza kenal adalah sosok yang paling anti membawa makanan dari rumah. Sejak kepergian Kirana, Jordy selalu makan di luar jam istirahat kantor, ditemani kopi dan rokok seusai menyantap makanan.

“Apaan sih? Heboh banget,” sahutnya sembari membuka kotak makannnya yang ternyata tidak hanya berisi nasi goreng sesuai yang ia minta, namun juga ada buah-buahan, sayur dan berbagai makanan ringan lainnya.

“Ini mah si Riri nyuruh lo buka warung sih, Jor,” gurau Teza mencomot salah satu buah kesukaan Jordy—strawberry. “Main ambil-ambil aja lo!” tukas Jordy dengan wajah merengut.

“Yah, udah ketelen, Jor. Gue muntahin lagi aja ya?” ledek Teza.

“Jorok banget lo, gue lagi makan!” semprot Jordy kesal.

Pagi itu, pemilik tubuh tinggi menjulang ini keluar dari kamar dengan tergesa-gesa mengingat akan jadwalnya yang begitu padat meski di pertengahan minggu, ia segera keluar kamar dengan pakaiannya yang sudah rapih.

Sebelum lelaki itu meninggalkan kamar, ia sempat berhenti sejenak, tersadar ada aroma yang berbeda dari pakaian yang ia kenakan. Wewangian bunga, bukan rempah, meski demikian ia tetap suka dengan aromanya.

Wangi ini jelas bukan parfum Kirana, melainkan perempuan yang sedang memasak nasi goreng di dapur. Jordy asal mencomot parfum siapapun yang tersimpan dalam lemari karena terburu-buru.

Begitu kakinya ia langkahkan ke dapur, Aidan rupanya telah sampai lebih dulu. Ia memang bangun lebih pagi sejak Mentari menyiapkan segala keperluannya. Anaknya itu duduk manis di ruang makan, sambil terus melirik ibu sambungnya yang sibuk memasak makanan kesukaannya.

“Nasi goreng ya, Mah? Asyikkk!” Aidan menggoyangkan kakinya kegirangan. Netranya terus bergerak mengikuti kemanapun Mentari melangkah.

“Iya, Dan. Makan dulu sebelum berangkat.” Tanpa perlawanan, Aidan langsung menyantap sajian sederhana yang Mentari masakkan untuknya.

“Pi, makan.” Aidan memanggilnya untuk makan pertama kalinya. Jordy diam, namun air mukanya berubah kagum pada sosok perempuan yang kini tengah meletakkan beberapa sendok nasi ke piring di depan Jordy.

Perubahan Aidan yang drastis memang tak lepas dari peran Mentari. Semenjak pemilik rambut ikal itu mendampingi anaknya, Aidan yang dulu selalu rewel dan bawel, perlahan berubah menjadi sosok yang penurut, walau tak selalu ia mengikuti ucapan ayahnya, tapi setidaknya Aidan perlahan mulai berubah.

“Piiiii ayo makaaaaaan!” seru Aidan pada Jordy yang tertangkap basah melirik Mentari terus menerus.

“Mamaaaaah, ayooo makaaan. Masaknya udahaaan!” Aidan merengek seperti biasa.

“Sabar, Dan. Ini sisa naroin sosis buat Papi. Idan mau? Atau telur ceplok aja?” tanya Mentari seraya memindahkan lima buah sosis di piring yang berbeda.

“Enggak, Idan makan nasi goreng buatan Mamah aja kenyang.”

“Enak ya?” kekeh Mentari. Putranya mengangguk kuat. Penasaran, Jordypun ikut mencicip masakan Mentari yang membuatnya tersedak seketika.

“Mas, pelan-pelan makannya. Minum, minum.” Mentari menuangkan segelas air untuk Jordy. Lelaki itu terkesiap saat pertama kali makan nasi goreng ini, sebab rasanya sangat mirip dengan masakan Kirana. Tak terlalu asin, tapi gurih dan tidak pedas. Jordy bahkan tidak pernah memberitahu seperti apa nasi goreng kesukaanya, tetapi secara mengejutkan, Mentari dapat mengetahui seleranya.

Saat Mentari menatap Jordy yang sibuk tercenung, lelaki itu baru tersadar jika Mentari sedang memandangnya lekat-lekat. “Nggak enak ya? Kamu sampe keselek gitu,” keluhnya sedih.

“Enggak, Mentari. Enak kok,” sahut Jordy spontan lalu mengalihkan canggungnya pada sang putra, “Dan, udahan belum makannya? Jangan sampe telat ke sekolah.”

“Udah, Pi. Papi enggak mau makan?” tanya Aidan heran. Lelaki itu melirik Mentari sekilas, kemudian pada anaknya. “Papi ada meeting, Dan. Ayo.”

Aidan merengut. “Papi mah! Ngeburu-buruin Idan mulu. Orang baru jam setengah tujuh!”

“Nggak apa-apa, Dan.” Mentari menggeser piring berisikan sosisnya. “Sana gih, nanti Idan terlambat,” katanya kemudian. Ia meninggalkan dapur, lalu menghampiri Aidan—memastikan jika seragam Aidan sudah lengkap dan tak ada yang tertinggal. “Udah lengkap semua. Buku catetan udah, kotak pensil udah, botol minum udah—”

“Ada satu yang belum, Mah!” sela Aidan penuh semangat.

“Apa?” tanya Mentari bingung, begitu juga dengan Jordy yang sedari tadi hanya menyaksikan keduanya. Aidan tersenyum tipis seraya berlari kecil menuju Mentari. Anak itu berhenti tepat di depan Mentari dan meraih tangan ibu sambungnya untuk ia salami sebelum berangkat.

“Assalamualaikum, Mamahku.”

Untuk yang kesekian kalinya, Jordy dibuat terpaku oleh Mentari. Seperti yang orang-orang tahu, Aidan memang terkenal sangat keras sama seperti Jordy. Tak jarang anak itu berperilaku tidak sopan pada yang lebih tua, tapi apa yang Jordy baru saksikan tadi membuat lelaki itu tak dapat mengartikan perasaan menggebu yang menyelimuti benaknya. Tanpa sadar kini Jordy terpaku memandang Mentari yang sibuk mengurus Aidan.

“Wa'alaikumsalam, Dan. Hati-hati ya. Minum air putih yang banyak, jangan isengin anak orang. Yang pinter di sekolah. Okay?” sahut Mentari mengacak rambut Aidan.

“Iyaaaaaa, Mamah.” Aidan menepis tangan Mentari yang sibuk mengusak rambutnya, lalu segera berpaling ke sisi Jordy, menyelipkan tangannya dibalik genggaman sang ayah. “Ya udah, kita jalan dulu.”

“Iya, bye, Dan!” Mentari melambaikan tangan pada Aidan.

“Mamah,” panggil Aidan. Jordy di sebelahnya hanya bisa terdiam saat anak itu melepas genggamannya.

“Kata ibu guru, nggak cuma ibu-ibu doang yang harus dihormatin...” Anak itu melirik Jordy yang mematung di sebelahnya.

“Kata ibu guru...bapak-bapak juga harus dihormatin, Mah!” cetusnya. “Jadi...Papi kan bapak-bapak, Mamah kan ibu-ibu...” Perempuan itu kontan melepas tawa.

“Dan kita nggak ada waktu, ayo cepet masuk mobil–”

“Assalamualaikum, Mas Jordy.” Jordy membeku saat tangannya diraih oleh Mentari. Perempuan itu menempelkan tangan Jordy pada dahinya.

“W-wa'alaikumsalam.” Jordy menarik tangannya cepat. Ia segera membalik badannya, sebab detik itu Jordy sadar, ada sebuah perasaan yang tak seharusnya muncul dalam diri Jordy. —

“Pi,” panggil Aidan.

“Kenapa, Dan?”

“Papi kenapa sih dari tadi ngeliatin Mamah kayak gitu?”

“Kayak gitu gimana?”

“Kayak cinta banget gitu.”

“Kamu tuh, kayak ngerti aja cinta-cintaan. Denger gak tadi Mamah ngomong apa sama kamu?”

Aidan mengangguk. “Iya, disuruh belajar, gak boleh isengin temen.”

“Nah iya, ya udah itu aja yang Idan lakuin,” ucap Jordy, Aidan mengangguk patuh. “Kalo Mamah yang minta, Idan pasti lakuin.”

“kok sama Papi enggak?” protesnya.

“Soalnya...Papi galak. Terus kata ibu guru, surga di telapak kaki ibu, Pi. Bukan di telapak kaki ayah,” jawab Aidan penuh logika. Lantas lelaki itu menguar tawa, “Iya, iya. Mamah bukannya sering negur kamu?”

“Iya, tapi sebentar doang. Mamah jarang marah. Dia malah sedih kalo Idan marahan sama Papi.”

Jawaban itu cukup memberi tamparan keras bagi Jordy. Ia bagai diejek oleh orang yang belum pernah menjadi orang tua seperti Mentari. Tak sedikitpun terpikir olehnya jika Mentari akan mengatakan hal setulus itu pada Idan.

“Dan.”

“Ya Pi?”

“Idan sayang banget sama Mamah?”

Anggukan kepala Aidan menceloskan hati Jordy.

“Emang, Papi enggak sayang mamah ya?”

Ditanyai putranya sendiri, Jordy seperti dilucuti habis-habisan, seakan kini semesta berpihak pada perempuan yang sempat membuatnya tak kuasa menahan marah pada sahabatnya sendiri.

Kita bicara di rumah.

Aku menelan ludah ketika kalimat itu terkirim dan muncul di chat room-ku bersama Jordy. Sudah jelas amarah tengah menyelimuti Jordy kali ini, tapi aku tak dapat berbuat apapun karena nasi sudah menjadi bubur. Aku tak tahu kabar Jenan sekarang, terakhir kami berkabar dia hanya memintaku untuk tenang. Gimana bisa dia menyuruhku tenang kalau ia dan rekan kerjanya sendiri bertengkar?

Yang kutakutkan adalah Jordy menjadi brutal cuma karena hal sepele, mengingat aku menyaksikan sendiri betapa marahnya ia saat kakiku terkilir sebelum kami menikah.

Lima belas menit kuhabiskan di kamar Aidan demi mencari cara menenangkan Jordy sesampainya ia di rumah nanti.

Klek.

Namun sepertinya waktuku terbuang sia-sia, Jordy telah berdiri di ambang pintu dengan muka lempeng dan dinginnya seperti biasa.

“Mas,” sapaku pelan.

“Kamu udah tau, kan?” Sesuai dugaan Jordy paling benci basa-basi, ia pasti akan langsung membahasnya.

“Nggak perlu mukul juga, Mas...” kataku mencoba menenangkan marahnya.

“Dan nggak perlu juga dia megang tangan kamu,” balasnya menyindir. Aku ciut kala dia menyahutiku tak kalah sengit. Setelah itu ada jeda yang terasa hambar diantara kami. Aku masih memikirkan cara agar menenangkannya, sedang Jordy, sepertinya mencari cara agar bisa mendebatku.

“Saya nggak suka,” tegasnya. “Mas, aku nggak tau kalo dia bakal megang tanganku—”

“Bukan itu. Masalah itu udah selesai, tadi saya nonjok gak cuma sekali.”

“Harus kamu pake kekerasan kayak gitu?” Tiba-tiba emosiku tersulut. Jordy sempat diam, tapi beberapa detik kemudian ia juga ikut meninggikan suaranya, “Harusnya kamu tau gimana caranya bersikap sebagai seorang istri!”

Aku diam, frustasiku naik lagi. Jika ia mengira aku senang disentuh Jenan, ia salah besar. Aku sama sekali tidak menyukainya. Aku marah juga pada Jenan, tapi saat itu ada perih yang membelenggu perasaanku, terutama ketika Jordy berucap dari atas podium dengan wajah haru,

“Dan, saya juga berterima kasih kepada mendiang istri saya tercinta, Kirana, yang menjadi sumber inspirasi terbesar saya dalam mengerjakan proyek ini. Terima kasih.”

Aku tak tahu lagi jika saat itu bukan Jenan yang di sampingku. Mungkin aku akan lebih membuat Jordy malu karena tangisku akan pecah di depan banyak orang. Yang kupikirkan hanyalah ingin menjaga nama baik Jordy. Aku tak mau mempermalukan suamiku karena memiliki istri cengeng dan penuh drama.

Nafasku tercekat, bibirku kelu untuk mengucap. Kuhela nafas sejenak untuk menenangkan diri, “kamu boleh marah sama Jenan, itu hak kamu, tapi gak perlu pake tangan.”

“Kamu bales perasaan dia sampe segitunya ya?” Ia mencibir.

“Bales apaan sih? Nggak ada! Aku gak pernah bales apapun ke Jenan,” sahutku tak terima.

“Kamu aja yang ga nyadar,” nadanya merendah namun netranya masih penuh kilatan emosi.

“Saya gak suka, tadi saya udah bilang,” katanya tegas, enggan didebat. Lalu bagaimana denganku? Apa aku juga harus mengatakan padanya bahwa aku tak suka dengan pernyataan salah satu rekan artisnya yang bilang bahwa aku menurunkan pamor Jordy? Apa aku sebagai istrinya harus terus menahan perasaan seperti ini?

Tak terasa bulir air mataku pun terjatuh disaat aku belum sempat memeluk Jordy sebentar seperti malam itu, malam ketika aku pertama kali tidur di ranjang yang sama dengan Jordy.

Ia bagai anak kecil yang mencari ketenangan dalam tidurnya, alisnya mengerut, dan wajahnya murung. Pelan ia berkata, “Maafin, Na...Aku cuma mau yg terbaik buat Aidan. I didn't mean to hurt you by marrying someone I don't love.”

“Terus kamu maunya aku ngapain, Mas?” tanyaku tertahan.

“Saya udah pernah bilang ke kamu di awal kita menikah. Fokus kamu cuma dua orang, saya, suami kamu, dan Aidan, anak kita.”

Netranya menatapku sekilas, meski bibirnya berucap tegas namun wajah Jordy mulai melunak. “Saya mau tidur, terserah. Kamu mau tidur di kamar Idan, atau tidur sama saya. Mungkin kamu butuh ketenangan—”

Aku diam, memandangnya lekat. Jauh dalam hati, aku memanjat syukur pada Allah, sebab Ia telah menjawab doa-doaku untuk Jordy.

“Aku mau tidur sama kamu, aku nggak suka tidur sendirian,” sengaja kusela ucapannya sambil memeluknya sebentar

“Kalau nggak boleh, aku tidur—”

“Masuk kamar sekarang, gak pake nanti-nanti,” ia melepas pelukku perlahan.

“Iya,” aku menyahut patuh.

Amarah Jordy menggebu saat Erna, pengasuh Idan mengirimkan gambar sebuah paket dengan nama Jenan Syailendra yang ia tujukan atas nama Mentari. Maka tanpa berlama-lama, Jordy segera menghentikan Jenan dari meetingnya sore itu. Ia tidak peduli atas ancaman Jenan semalam, Jordy telah berpikir masak-masak. Setelah si tak tahu diri itu menggenggam tangan Mentari saat acara penganugerahan itu, Jordy kewalahan. Dadanya berkecamuk, ada rasa ingin menghabisi Jenan sama seperti yang acap kali Jenan ancam padanya. Ia tak gentar menghadapi Jenan. Justru yang membuatnya jauh lebih takut adalah sesuatu yang ia takutkan terjadi.

Aidan meninggalkannya bersama Mentari. Jordy tidak ingin itu terjadi, maka sekuat apapun ombak yang mencoba menggoyahkan keluarga mereka, Jordy lawan sekuat mungkin. Perihal perasaannya pada Mentari, Jordy sendiri belum bisa memastikan, apakah rasa yang perlahan tumbuh itu... karena dia takut kehilangan Mentari, atau takut menghancurkan impian Aidan yang selama ini mendamba sebuah keluarga yang sempurna.

Dua malam sebelumnya, ketika Mentari memilih tidur bersama Aidan, Jordy goyah. Ia keluar dari kamarnya, kemudian diam-diam menyelinap masuk ke kamar putranya dan menemukan Aidan tidur berpelukan dengan Mentari begitu erat, bahkan putranya tidur sambil menggenggam erat tangan Mentari. Tangan perempuan itu tak berhenti mengelus kepala Aidan hingga iapun akhirnya terlelap. Tapi jelas, saat Jordy menyaksikan buliran air mata mengalir di wajahnya, Jordy refleks melangkah mundur. Ia kecewa bukan pada siapapun melainkan dirinya sendiri.

Berkali-kali Jordy meyakinkan diri bahwa nama Kirana tak akan pernah terganti, tapi semalam penuh lelaki itu terjaga karena pertengkarannya dengan Mentari yang selalu pasang surut. Pekerjaannya terbengkalai bahkan kepala Jordy pusing berhari-hari, tapi ia menyimpannya rapat-rapat—tak ingin membuat Mentari lebih kepikiran soal kondisinya.

Berbagai obat penahan sakit kepala telah Jordy habiskan, namun setiap pulang ke rumah dan Mentari tak mengajaknya bicara, Jordy merasa kesal dan kalah dari Jenan. Dan sebagai orang yang punya hak terbesar atas Mentari, Jordy tak kuasa menahan emosi yang telah bertumpuk dalam dirinya. Ingin ia tumpahkan pada lelaki hidung belang itu dengan segera.

“Kenapa, Jor—”

Buk!

“Bajingan.” Jordy memaki dingin, napasnya tersengal dan sorot matanya menatap Jenan seperti ingin memangsa lelaki itu. Jenan menyeringai, tak gentar karena satu pukulan Jordy.

“Gue udah bilang sama Mentari,” lelaki itu bangkit perlahan, “kita berantem gini, akan jadi urusan gue sama lo.”

“Gue tegasin sekali lagi,” peringat Jordy penuh murka. “Ini terakhir kali lo sentuh Mentari, dan jangan pernah kirimin barang-barang ke dia.”

“Lo tersinggung?” tantangnya. “Kenapa lo gak pernah sekalipun liat usaha Mentari buat Aidan dan lo sih?” ujarnya.

“Gue gak perlu ngebeberin isi rumah gue ke lo, Je.”

“Well, gue gak mau tahu juga. Gue cuma mau bilang, I'm gonna steal my sun if you dare to make her cry. For sure,” balas Jenan yang membuat Jordy semakin berang.

“Your fucking what—” Jordy gelap mata, sekali lagi ia layangkan pukulan pada sahabatnya sendiri, lalu pelan ia mengejek, “Lo gak ada bedanya sama gue, rumah tangga lo juga hancur karena orang lain.”

Aku menemukan Jordy duduk termenung di ruang makan, menatap hampanya deretan kursi dan meja dalam tatapan nanar. Entah mungkin dia sedang mengenang kebersamaannya bersama Kirana, atau ada hal lain yang menjalari pikirannya. Ketika aku menarik kursi, Jordy baru sadar jika ada manusia lain yang hadir disana selain dirinya.

“Hey,” sapanya canggung. Aku tersenyum tipis seraya menarik kursi di depannya.

“Jadi minum susu coklatnya?” tanyaku basa-basi.

“Nope, katanya ada yang mau bikinin tadi,” singgung Jordy dengan seulas senyum kecil. Ia menggaruk pelipisnya, kemudian merapihkan posisi duduknya. Aku menghela nafas pelan, menepis segala pikiran burukku yang setiap malam menghantui. Entah karena Kirana atau aku yang miris pada diriku sendiri. Mencintai laki-laki yang sepenuh jiwanya dimiliki perempuan lain. Yang rumahnya telah tiada, yang semestanya telah berpulang pada rahmat-Nya. Lalu aku di sini, menemani pria kesepian itu. Sakit sekali. Kadang-kadang terlintas dalam hatiku untuk pergi dari Jordy, namun setiap Aidan merengek padaku untuk menemaninya belajar, anak itu selalu berhasil menggagalkan keinginanku.

“Sebenernya saya ngga bener-bener minta kamu bikinin susu coklat,” cetusnya saat aku telah beranjak ke dapur. Langkahku seketika terhenti, juga dengan segala sibuk tanganku yang meletakkan beberapa sendok bubuk coklat dalam mug kesayangan Jordy yang memiliki foto bertiga dengan Kirana dan Aidan.

“Terus, mau ngapain?” tanyaku menggeser mug menyakitkan itu.

“Mau ngobrol soal Jenan.” Please, aku sedang sangat hancur saat ini. Dengan Jordy yang nggak berhenti membahas Jenan terus-menerus, bukankah dia menuduhku telah berselingkuh dengan Jenan?

Aku langsung menyusul Jordy, bergabung dengannya di ruang makan kembali. Tapi tenang, kali ini aku sedang tidak dalam mode mengajaknya bergelut lewat mulut. Aku hanya ingin mendengar apa yang ingin ia katakan tentang Jenan. Atau lebih eksplisitnya lagi, aku ingin tahu apa Jordy cemburu.

“Saya udah ngobrol sama Jenan tadi di kantor,” katanya seraya menggulung lengan baju hitamnya.

“Dia bilang...apa?” tanyaku penasaran.

“Dia bilang dia naksir sama kamu. Saya udah tau itu,” ujarnya masih dengan nada tenang. Kecewa dalam hatiku langsung merambat. Ekspektasiku ternyata terlalu tinggi. Lihat bagaimana ia tertawa setelahnya. Ia benar-benar santai menanggapi perasaan temannya padaku.

“Lucu ya?” tanyaku. Dia berhenti ketawa dan mengangguk. Serius? Perasaanku setelah lima bulan menikah dengan Jordy hanya dianggap wahana dufan olehnya? Sungguh mengenaskan.

“Lucu,” katanya santai, tapi tunggu. Kenapa mendadak air mukanya terpasang dingin?

“Lucu karena bisa-bisanya dia megang tangan kamu di depan saya.”

Maksudnya?

“Saya tau, bukan dari Teza atau bahkan dari kamu. Sebelum itu saya udah tau karena muka kamu kemaren ketakutan,” jelasnya. “Dan itu yang bikin saya marah sama Jenan.”

Dia jealous?

“Kamu..tau?” tanyaku heran sekaligus panik. Jordy lantas merapatkan duduknya ke sebelahku.

“Naluri suami itu mah,” ucap Jordy sembari menggenggam tanganku. Aku tak berkutik saat hangatnya telapak tangan Jordy menyusup pelan ke dalam aliran darahku. Rasanya saat itu, aku ingin waktu berhenti di sini saja. Sebab ia membuatku merasa diinginkan. Iya, hanya dengan sesederhana itu. Digenggam tangannya oleh laki-laki yang sangat kucintai.

Akibat perbuatan manisnya, aku yang tadinya mau marah, malah menjebloskan diri pada lubang tercuram paling mematikan. Padahal aku tahu jelas jika ucapannya barusan hanya untuk menenangkan amarahku.

Perihal dia yang tak menampik ucapan rekan artisnya tempo lalu, sejujurnya masih begitu membekas dalam hati. Benar yang Chanting katakan, sampai kapanpun aku akan selalu di urutan terakhir dalam hidup Jordy.

“Mentari,” panggil Jordy padaku.

“Ya?”

“Jenan keren ya?” “Keren?”

Jordy melepas tawa, “iya, keren. Keren banget bisa bikin saya pusing kaya gini.”

“Lho? Sakit? Kenapa nggak bilang?” Aku langsung beranjak, berpindah ke sebelah Jordy.

“Bukan pusing migrain, Mentari.” “Terus?”

“Pusing, gimana caranya bisa kayak dia. Ngalahin dia.”

“Nggak ngerti aku, Mas. Kalian cekcok ya gara-gara pemain atau pas PPM?” Ia menggeleng, dan hanya tersenyum kecil lalu mengalihkan pembicaraan, “tidur di kamar bareng saya?”

“Nggak ah,” aku menolak mentah-mentah.

“Ck, mau ngapain sih emang? Betah banget tidur sendiri,” rutuknya sebal.

“Lebih tenang aja rasanya.”

“Maksud kamu, saya ngoroknya kenceng dan tidurnya berantakan?” Jordy nyaris melotot saat aku mengutarakan alasanku.

“Gimana aku tau, orang seranjang aja enggak pernah.”

“Ya udah ayo, tidur seranjang,” ajaknya enteng.

“HAH?”

“Emang salah? Kita udah suami istri, nggak akan ada yang ngira zina.”

“Ck! Orang lagi serius!”

“Ya saya juga serius, pegel juga punggungnya tidur di sofa tiap hari.”

“Tuh kan! Aku bilang juga apa, udahlah kamu tidur di ranjang aja, aku tidur di kamar Idan aja.”

“Nggak mau, Mentari. Let's sleep together.” Jordy menguap, “ayo, Mentari, udah jam setengah dua. Besok saya kerja.” Ia menarik lenganku pelan. Tunggu, cara Jordy barusan mengingatkanku pada Aidan. Gayanya sama persis. Aidan juga sering begini padaku kalau manjanya kambuh.

“Ck, ayo. Ngapain lagi malah bengong?” protes Jordy tak sabar.

“Susu coklatnya gak mau diminum?” tanyaku, melihat Jordy meninggalkan mug itu di meja.

“Iya, ketinggalan. Nanti saya tuang di gelas yang satunya lagi,” ia berbalik kemudian mengambil mug itu dari atas meja.

“Kan sama aja... ngapain sih ngotor-ngotorin gelas?” balasku gantian ngomel. Alih-alih membalas Jordy justru memfokuskan pandangannya pada foto di mug miliknya.

“Ini disimpen aja di lemari, gak usah dikeluarin atau dipake lagi. Besok suruh Erna.”

Aku terdiam. Nafasku tercekat karena ingin tahu apa alasannya. Selama aku menikah dengan Jordy, dia jarang sekali menggunakan gelas lain selain gelas itu.

“Kan masih bagus, Mas,” kataku pelan.

“Disimpen aja. Banyak gelas baru yang lebih gede. Udah ayo ah, kamu kebanyakan ngomong.”

Aku menahan senyum sambil melangkah mengikuti Jordy masuk ke kamarnya.

Pikiranku buyar tatkala Jenan nekat melakukan satu tindakan diluar nalar. Aku tersentak, segala sedihku semakin menyeruak. Aku tahu, aku datang ke acara itu hanya untuk tersakiti. Namun Jenan tambah membuatku nelangsa.

Semestinya aku menepis tangan Jenan barusan, namun entah mengapa kala itu kekuatanku telah terserap oleh perih yang menghujam hati, pikiranku pun mendadak buntu saat Jordy nyaris menitihkan air mata hanya dengan menyebut nama mendiang istrinya.

Sebut aku egois, tapi aku tak begitu pandai menutupi perasaan. Aku cemburu, dan aku tak ingin menyangkalnya. Namun aku menahan diri hingga acara selesai. Tanpa pamit pada Jenan, aku melangkah keluar mengikuti Jordy dari belakang.

Di luar, wanita paruh baya yang beberapa waktu lalu pernah menampar keras pipi Jordy ternyata telah menunggu kemunculan suamiku. Entah karena sebuah keharusan atau apa, Jordy menghampiri ibu dari Kirana, meninggalkanku berdiri sendirian.

Dari jauh kulihat Recha memeluk Jordy erat. Sungguh, kupikir dia akan bersikap sama seperti waktu itu, walau aku tak tahu pasti apa yang mereka bicarakan. Binar wajah Recha terlihat hangat dan diliputi kebahagiaan, sangat berbeda dari yang kulihat dulu saat kami pertama kali berjumpa.

Recha menepuk kedua pipi Jordy, sedang suaminya—memeluk Jordy juga seakan mengucap terima kasih atas karya yang telah ia buat untuk mendiang putrinya.

“Selamat ya Jordy, makasih karena sudah membuat karya yang hebat, dan masih mencintai putri saya...”

Wajah Jordy kala mantan ayah mertuanya berkata demikian pun terlihat sangat terpukul tapi juga hangat, mungkin dalam kepala, suamiku ingin Kirana yang hadir, bukan aku si sosok figuran dalam hidupnya.

Raut itu, raut yang tak pernah ia tunjukkan padaku sepanjang kami menikah.

Dua puluh empat per tujuh, Jordy hanya memperlihatkan muka lempeng tak berekspresi miliknya, kecuali kemarin saat emosiku luluh lantah. Ia frustasi dan kalang kabut, tapi kenyataannya ia menyesal hanya sementara.

Peluk ayah Kirana pada Jordy, membuatku semakin tersadar bahwa yang selama ini Jordy inginkan hanyalah Kirana. Bukan aku.

Aku reflek melangkah mundur semakin menjauhi Jordy, bahkan kalau bisa aku lenyap dari pandangannya.

Pikirku saat itu, ini adalah kesempatan yang bagus untukku pergi darinya. Tapi satu pesan berhasil menggagalkan pikiranku yang terbengkalai itu.

Idan🐻❤️:

Mamah, udah dimanaa? Idan mau sama Mamah :( Mamah masih lama enggak? Idan tadi akhirnya pergi beli mekdi sendiri ditemenin Mba Erna sama Pak Devon, sekarang Idan udah di rumah lg makan burger. Mamah Idan beliin french fries, Papi Idan gak beliin soalnya Idan masih sebel 😠

Tangan dan tubuhku bahkan gemetar hanya untuk membalas pesan Aidan, aku bahkan tak punya kekuatan untuk menjawab pesannya. Sebab sakit hati, putus asa, kecewa dan nelangsa telah menguasai benakku malam itu. Aku tak dapat menjelaskan lebih jauh lagi seberapa hancurnya aku di hari bahagia Jordy malam itu.

Aku mengabaikan pesan Aidan sebagai langkah terbaik yang kupilih untuk menenangkan diri.

Suasana penerimaan award makin meriah tatkala tim rumah produksi Jordy dipersilakan naik ke atas panggung. Penggemar Kirana hadir dan menyoraki Jordy penuh haru. Sama sekali, mereka tak peduli akan hadirnya Mentari sebagai istri Jordy yang sekarang.

Terus mereka gaungkan nama Kirana dan Jordy, bahkan masih saja sayup Mentari dengar bisikan-bisikan yang berkata jika Jordy dan Kirana adalah pasangan sehidup semati. Jika saja Mentari bebas pergi, ia akan melakukannya. Sejak tadi Mentari sudah berusaha mengalihkan kesedihannya. Tapi selentingan komentar beberapa teman Jordy mengenai dirinya membuatnya tak berkutik.

“Cantik, tapi gak pinter dandan ya.”

“Kayak orang desa aja.”

“Si Jordy bawa dia kesini buat apaan deh? Kan jelas-jelas mau nerima penghargaan tentang Kirana.”

Mentari hanya bisa menepis perihnya dengan mengontak Chanting dan Renjana. Meski Renjana tak datang di award ini, ia dan Chanting menontonnya dari rumah. Mereka sungguh tak sabar melihat Jordy bicara di atas panggung, ingin tahu kalimat apa yang akan ia katakan dari sana.

Dan tak lama, saat MC berseru memberi ucapan selamat pada Jordy, lelaki itu dipersilakan untuk ke panggung, menyampaikan sepatah dua kata setelah menerima penghargaan ini.

“Pertama-tama, saya mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan kedua orang tua saya, juga tim dari rumah produksi yang dapat bekerja dengan baik, para pemain, kru, dan orang-orang kantor, sehingga kami dapat menerima penghargaan ini.”

Jordy menjeda kalimatnya sejenak, ditatapnya piala bergengsi itu dengan mata berkaca-kaca. Suaranyapun mulai goyah saat akan kembali bicara, ”...Dan, saya juga berterima kasih kepada mendiang istri saya tercinta, Kirana, yang menjadi sumber inspirasi terbesar saya dalam mengerjakan proyek ini. Terima kasih.”

Ucapan Jordy barusan menerima applause dari para penggemar, juga mantan mertua Jordy, Recha, yang duduk di deretan tamu VVIP bagian depan bersama pihak penyelenggara.

“Bener kan kata gue,” celetuk salah seorang penggemar Kirana. “Perempuan yang dia bawa itu dinkahin karena kecelakaan. Badannya gendut sih abisnya.”

Para penggemar Kirana kebetulan menempati bagian belakang dekat round table Mentari, Jenan dan Teza. Ketika penggemar itu berucap, Jenan langsung menengok padanya dengan tatapan tajam hingga membuat sang penggemar menunduk dengan wajah ketakutan. Sementara perempuan yang mereka bicarakan sengaja membuang tatapan ke arah lain. Wajahnya memerah, bibir bawahnya gemetar. Air matanya nyaris tumpah kembali, namun seketika terhenti saat perempuan cantik itu menyadari sesuatu.

Bahwa Jenan, laki-laki yang dicap sebagai bad boy kelas wahid, menggenggam erat tangannya, seolah ingin membuktikan jika ucapannya waktu itu pada Mentari tidak main-main. Perempuan itu tersentak, mencoba melepas tangan Jenan yang terus menggenggamnya erat, bahkan sampai Jordy kembali duduk di sebelahnya, Jenan tak gentar menunjukkan taringnya. Terus saja ia eratkan genggamannya pada Mentari hingga perempuan itu terlihat tidak nyaman.

Suara denting alat makan yang terjatuh akhirnya menghentikan segala tindak tanduk Jenan. Lelaki itu akhirnya mengalah, melepas kaitan jemarinya dari Mentari. Dan Jordy, laki-laki yang semestinya punya hak melakukan hal itu tampaknya tidak menyadari apa yang telah sahabatnya lakukan. Pandangannya lurus ke panggung, tak sedikitpun kata terucap, berbeda dengan Mentari yang melirik Jordy nanar, seakan sadar jika nasihat Bulik Ratih padanya waktu itu telah menjadi bumerang di hidupnya sendiri.

Jenan menggelengkan kepala saat ia tak sengaja melihat Jordy menanggapi ucapan Gabriella dengan anggukan. Amarahpun membubuh di benak lelaki berkulit putih pucat itu. Ia mendelik tajam pada Jordy dengan rahang mengeras. Namun laki-laki yang ia pandangi justru asyik mengobrol dengan beberapa teman mereka.

Fokus Jenan akhirnya teralihkan pada Mentari. Perempuan itu sedari tadi menunduk lesu, binar wajah kecewa terpancar dari parasnya. Jika saja Jenan memiliki secuil keberanian, maka Jordy akan habis di tangannya malam ini juga. Sayang, Jenan cuma bisa merutuk dalam hati, memaki Jordy, mengatainya bajingan kelas kakap sambil sesekali ia melirik Mentari yang berusaha keras menahan tangis.

“Maaf Kak!” Gabriella memukul mulutnya sendiri.

“Aku kayaknya terlalu kebiasaan liat Kak Jordy sama almarhumah Mba Kirana... Nggak maksud buat gimana-gimana kok.” Jenan mendengus saat Gabriella menyampaikan rasa penyesalannya. Bahkan tanpa Jenan ungkapkan, senyum wanita muda itu terasa sangat palsu. Bukan Jenan tak tahu jika Gabriella ini, dulunya adalah anak emas di sekolah model yang Kirana miliki. Prestasi gemilang Gabriella teraih karena Kirana turun langsung membimbingnya. Maklum, ayah Gabriella memang berteman dekat dengan ayah Kirana. Tentu Jenan yakin ada nepotisme yang terjadi di dalamnya.

Saat Jenan mendapat celah untuk berdiri dekat Mentari, lelaki itu berbisik pelan. “Lo cantik banget, Ri.”

Jenan memuji Mentari tulus, mata bulan sabit perempuan itu melebar. Ia nyaris tak dapat mengatupkan mulut saat Jenan berkata demikian. Ketika Jenan balas memandangnya, Mentari seperti kebingungan dan ketakutan. Lantas, acuannya kembali tertuju pada bosnya sendiri. Apa yang telah Jordy perbuat sampai Mentari sepanik itu? Pikirannya memburu, namun lagi-lagi Jenan sadar, batasnya tak lebih dari sekedar sahabat. Walau ia berikrar pada Mentari untuk menjaganya, Jenan tak mau melewati batas. Ranahnya di sini cuma sebagai orang luar, meski satu tangan Jenan mulai terkepal.

Bayangkan. Saat memasuki gedung, Jordy bahkan tidak menggandeng Mentari. Pantas para wartawan berspekulasi. Jangankan wartawan, siapapun yang menengok ke pasutri itu akan ragu jika mereka menikah atas dasar cinta.

Ketika mereka tiba di dalam gedung, Mentari, Jordy serta Jenan duduk bersebelahan. Mentari menempati posisi di tengah, diapit olehnya dan Jordy. Masih dalam diamnya, Jenan tak melepas tatapannya dari perempuan itu. Raut muka sendunya belum berubah. Dari dugaan Jenan, Mentari hanya ingin mencoba menyesuaikan diri dengan pergaulan suaminya, tapi Jordy si berengsek itu tidak memberi Mentari kesempatan. Yang ia lakukan hanya sibuk berbincang dengan beberapa aktris senior. Mengenalkan Mentari pada rekannya pun Jordy seakan ogah melakukannya.

“Ri, udah isi belum?” Jenan sontak mendelik pada Teza. Pertanyaan itu terlalu kasar bagi Mentari apabila ia tanyakan. Tanpa banyak bicara, Jenan menginjak kaki Teza hingga ia meringis kesakitan.

“Anjing lo ya!” maki Teza dengan segera.

“Lo yang anjing,” umpat Jenan dengan raut mengeras. Mentari memandang Jenan dan Teza secara bergantian dengan muka bingung.

“Suaminya juga bukan lo, jadi lo yang protektif. Sadar, Je. Istri orang itu,” bisik Teza menahan kesal.

Jenan menghardik ucapan Teza. Dia tak peduli mau seberapa banyak orang mengecam perbuatannya, tapi Jenan tak terima perlakuan Jordy pada mataharinya.