noonanya.lucas

Untuk pertama kalinya, aku berdiri menghadap ribuan khalayak yang menyanjung Jordy. Seruan para penggemar yang tak sabar ingin bertemu dengan suamiku, terdengar—bahkan ketika aku belum menginjakkan kaki di atas karpet bergengsi, yang konon hanya berhak diinjak oleh selebritis kelas wahid.

Aku terus menundukkan kepala, menutupi rasa gugup sedari tadi telah memenuhi benakku. Aku belum terbiasa dikerumuni banyak orang, berbeda dengan Jordy yang memang bekerja dalam industri ini, apalagi pernah menikahi seorang selebriti papan atas. Beberapa dari mereka wajahnya tak terlalu asing bagiku. Ketika aku dan Jordy melangkah memasuki gedung, mereka yang sering kulihat wara-wiri di layar lebar, menghampiri Jordy. Dengan santainya Jordy membalas sapaan mereka dengan mencium pipi kiri dan kanan. Sedangkan aku yang berdiri di sebelah Jordy, diam mati kutu. Mulutku rasanya terkunci karena tak kuasa menepis rasa canggung.

Salah satu dari mereka adalah seorang aktris muda yang pernah kutulis namanya di buku tamu saat masih bekerja sebagai resepsionis. Namanya Gabriella. Gadis berparas indo-belanda yang bertubuh mungil dan tak memiliki kerutan di wajahnya. Putih, bening dan halus. Ia mengenakan satin dress berwarna rose gold. Netranya bergulir kepadaku sekilas, alisnya mengernyit bingung.

“Kayak pernah liat ya di PH-nya Kak Jordy,” celetuknya sambil terus menatapku. Aku tersenyum, tak tahu harus merespon ucapannya seperti apa. Jordy yang mendengar celetukan Gabriella, sontak meninggalkan perbincangan hangatnya dengan beberapa sutradara muda lainnya. Ia menengok padaku dan Gabriella.

“Gab, apa kabar?” Tanpa basa-basi, Gabriella menarik tangan Jordy dan mendekatkan tubuhnya yang bermandikan parfum mahal ke suamiku.

“Baik, dong, Kak,” senyum Gabriella pada Jordy. “Oh iya! Maaf ya, Kak Jordy, kemaren pas resepsi, aku gak datang.”

Jadi... perempuan ini diundang juga? Aku bahkan tak tahu siapa-siapa saja tamu yang hadir di pernikahanku waktu itu. Pasalnya, sebagian besar adalah kolega Jordy, temanku yang datang cuma beberapa saja. Itupun yang benar-benar kenal baik denganku.

“Nggak apa-apa, Gab. Santai banget,” sahut Jordy ramah. Gabriella tersenyum lagi, lalu melirikku sebentar, “Cantik.”

“Makasih—” sahutku

“Tapi Mba Kirana tuh vibesnya tuh lebih gimana gitu nggak sih, Kak?” potong Gabriella yang membuatku tersentak. Belum usai hangatnya perbincangan tentangku di salah satu akun spill gosip ternama, ternyata tak sedikit orang-orang yang menentang Jordy menikahiku.

Aku tahu, keputusan Jordy adalah hal yang salah karena memilih perempuan biasa sepertiku. Dia memang terlihat 'lebih' ketika masih bersama almarhum.

“Kayak gitu gimana?” Suara baritone yang sangat khas dari belakang, jauh membuatku lebih terkejut.

Jenan.

Akupun sontak melirik Jordy yang wajahnya masam saat Jenan berdiri di belakangku.

“Eh, Kak Jenan! Apa kabar? Enggak,” gadis itu tertawa renyah seraya menatap Jordy. “Aku tuh cuma mau bilang, auranya Kak Jordy tuh keluar banget kalo sama Mba Kirana,” tandasnya sambil menebar senyum pada suamiku. Aku tersenyum pahit, Jordy memandang Gabriella sekilas dan...ia mengangguk.

Hatiku hancur untuk kesekian kalinya. Nafasku tercekat kala Jordy, yang bahkan kukira akan menggelengkan kepala, justru menyetujui pernyataan aktris muda itu.

“Gitu dong,” gumam Jordy sesaat ia mendapati Mentari keluar dari kamar Aidan. Tetap dengan wajah merengutnya, perempuan itu diam saja dan hanya duduk di hadapan Jordy.

“Enak, sambelnya.” puji Jordy, mencoba mengalihkan amarah Mentari. Tapi istrinya itu tetap bungkam dan menatapnya.

“Kalo sakit perut aku gak tanggung jawab. Kata Erna kamu ga bisa makan pedes,” balas Mentari acuh.

“Iya. Kalo sakit perut ya berarti besok bolos ngantor,” ujar Jordy enteng. Mentari yang mendengar ucapan Jordy mengernyit heran, “besok katanya ada awards-awards itu.”

“Kamu ikut ya?” Jordy menaikkan tatapannya pada Mentari penuh harap.

“Aku masih mikir-mikir,” jawab Mentari mengangkat bahu.

“Marahnya beluman?” tanya Jordy hati-hati. “Nanti Idan ngambek sama saya, udahan ya?”

“Jadi kamu ngajak baikan itu karena pengen Idan gak marah doang?”

“Nggak, saya juga pengennya kita berenti marah-marah kayak gini,” sahut Jordy dengan wajah pasrah. “Belum bisa maafin jadinya?”

Kali ini gantian Mentari yang menghela nafas. Setelah tadi ia berbincang dengan Bulik Ratna tentang wetonnya dan weton Jordy, Mentari agak sedikit skeptis. Namun tiap mereka berdua menghadapi masalah begini, rasanya ucapan Bulik Ratna bukan isapan jempol belaka. Mentari tak memungkiri betapa ia ingin egois, memiliki Jordy sepenuh hatinya. Namun lelaki itu tak pernah memberi celah, meski kelihatannya Jordy mulai mau mengalah, Mentari bisa melihat jika Jordy masih sangat mencintai Kirana.

“Udah aku maafin,” jawab Mentari setelah satu helaan nafas.

“Kalo gitu mau nemenin ke award?” tanya Jordy berikutnya.

“Temen-temen kamu gak papa?”

“Jenan maksudnya?” Nada Jordy berubah ketus. “Bukan Pak Jenan atau Pak Teza. Artis-artis yang pernah kerja sama kamu maksudku, Mas.”

“Emang kenapa sama mereka?” Mentari diam seribu bahasa. Bukan ia tak tahu jika selama ini ia dihujat oleh shipper besar Jordy dan Kirana, justru Mentari sangat terganggu karenanya. Dia lebih memilih menyimpannya sendiri karena tak ingin hubungan kerja sama Jordy dengan artis terpercayanya jatuh. Bagaimanapun para artis tersebut membuat suaminya dikenal banyak orang dan bangga terhadap dirinya sendiri.

Jika Mentari melaporkannya pada Jordy, bisa-bisa kejadian Mentari jatuh dari motor, kembali terulang.

“Nggak apa-apa,” kata Mentari setelah lima detik merapatkan bibir.

“Rata-rata dateng sama pasangan. Nggak ada masalah kalo saya ajak kamu nanti.”

“Ya udah, nanti aku temenin,” sahut Mentari menyetujui. Jordy tersenyum tipis, “Rambut kamu asli kayak gitu?”

“Kenapa? Aneh ya? Jadi keinget dulu Idan manggil aku Tante Kibow.” Mentari kontan merapihkan rambut keriting ikalnya, karena ini pertama kali Mentari tampil apa adanya di depan sang suami.

“Nggak,” sahut Jordy namun Mentari malah memicing curiga, “kamu mau ketawa kan?”

“Enggak, Mentari. Beneran, suudzon terus,” sahut Jordy menahan tawa. “Tumben aja, biasanya rambut kamu lurus gitu.”

“Karena udah gak kemana-mana dan gak kerja, jadi aku males nge-hairdryer,” katanya jujur.

“Berarti kalo kerja selalu catokan? Biar apaan kayak gitu?”

“Ya biar rapi,” jawab Mentari spontan.

“Bukan karena di kantor ada yang request biar rambut kamu lurus terus?”

“Kamu kan itu? Maunya rambutku lur—” “Jenan. Jenan suka liat rambutmu lurus, katanya.”

“Dia ga pernah ngomong gitu deh perasaan.” “Berarti dulu hampir bilang kayak gitu?”

“Enggak, Mas. Gak pernah sama sekali. Kamu kenapa lagi sih?”

“Kalo gitu besok-besok gak usah hair-dryer aja.”

“Dih? Besok nemenin acara, kamu mau aku diketawain? Sengaja, ya?” balas Mentari sengit.

“Besok ada Jenan.” Jordy membalas tak kalah ketus.

“Terus kenapa kalo ada dia?”

Jordy diam. Amarahnya yang tadi surut kini mulai bangkit sedikit demi sedikit. “Besok kamu dicepol aja.”

“Lah?” Mentari menaikkan alis. “Aku pengen lurus rambutnya.”

“Gak boleh,” jawab Jordy lekas. Mentari menghela nafas. “Cepol aja.”

“Emangnya aku istri polisi apa TNI digituin?” gerutunya tak terima.

“Bukan cepol kayak gitu, yang simple-simple aja. Nih, kayak begini.” Jordy menunjukkan simple messy bun pada istrinya dari ponsel. Namun Mentari seketika terdiam kala ia tak sengaja membaca pesan dari Recha, yang tak lain adalah mantan mertua Jordy.

Jordy, besok saya datang. Kan award itu kamu terima karena Kirana. Kamu ngangkat cerita tentang dia. Harusnya kamu berterima kasih pada almarhum istrimu, bukan menikah dengan perempuan gak jelas kayak gitu.

“Mas,” Mentari tiba-tiba merengut sedih. “Ya?”

“Besok Idan kayaknya pulang malem deh, aku nunggu dia di rumah aja. Kamu ke sana sendiri, gak apa-apa kan? Kasian, Idan besok kegiatannya cukup banyak.”

“Mentari, saya ngerti kamu sayang sama Idan. Tapi kalo kamu terus ngikutin maunya dia, apa-apa nemenin dia, kapan dia mandirinya? Nanti sampe dia SMA, gak mau tidur sendiri.”

Mentari menghela nafas, pikirannya terbengkalai usai tak sengaja membaca pesan Recha. Enggan menjatuhkan dirinya dua kali pada rasa sakit, Mentari hanya ingin menenangkan diri. Tapi sang suami kekeuh menginginkan Mentari untuk pergi.

“Idan itu anak laki-laki, Mentari. Gak papa dia manja sama kamu, manja sama saya. Tapi kalau kamu biasain tidur sama dia, sampai besar nanti akan kebawa.”

“Ya udah, iya...” Mentari kembali mengangguk dan tersenyum pahit pada suaminya.

Sesaat Jordy tiba di rumah, ia disambut oleh aroma pedas yang cukup menusuk hidung hingga membuatnya terbatuk-batuk. Netranya terarah tepat pada Mentari yang ternyata kembali ke dapur, menghangatkan beberapa makanan yang ia masak. Padahal bisa saja Mentari menghangatkannya dengan microwave, namun sang puan berkehendak lain dan memilih jalur yang lebih sedikit repot.

Jordy melangkah sangat pelan, ia berusaha keras agar tapak kakinya tidak mengejutkan Mentari. Ia hanya ingin duduk di ruang makan, menunggu istrinya untuk makan bersama. Tak ada seruan Aidan yang biasa meramaikan suasana rumah, Jordy sendiri tak tahu dimana anak itu berada. Jika ia lihat jadwal Aidan, seharusnya ia sudah pulang sekolah. Tapi tas ranselnya pun tak terlihat oleh Jordy. Lelaki itupun memutuskan untuk beranjak dari tempat duduknya, mencoba mengajak Mentari bicara baik-baik. Perempuan yang untuk pertama kalinya menampilkan rambut keriting ikal miliknya itu masih sibuk mengoseng beberapa makanan di panci hingga tak menyadari jika Jordy telah berdiri di belakangnya.

“Uhuk!”

Hampir saja spatula yang Mentari pegang terbang bebas mengudara. Ia cukup tersentak kala mendengar seseorang terbatuk di belakangnya. Sontak, perempuan itu mematikan kompor dan hexosnya, segera ia menghadap belakang.

“Oh, pulang,” gumam Mentari acuh lalu berjalan ke ruang makan.

“Saya pulang siang,” ujar Jordy pelan.

“Terus?” sahut Mentari kemudian.

“Idan mana?” tanya Jordy yang tentunya kehabisan topik untuk membahas sesuatu yang ringan sebelum ia benar-benar meminta maaf.

“Les,” jawab Mentari semakin singkat. Perempuan itu beranjak dari kursi, lalu mengambilkan piring yang ia sendokkan nasinya.

“Kamu masak banyak gini buat apa?” Jordy tahu kali ini pembahasannya semakin tak berguna. Terkesan maksa dan canggung.

“Buat dimakan, emang buat apalagi?” Mentari kembali duduk. “Kalo gak suka ikan sama udang, bisa makan yang lain.”

“Kamu abis nangis?” tanya Jordy bodoh. Mentari diam dan hanya melanjutkan makannya.

“Mentari...”

“Nanti makanannya aku taro kulkas,” jawab istrinya dingin.

“Saya nanya baik-baik, kamu malah ngalihin topik,” sudut Jordy. Mentari merapatkan bibir, sadar jika kata-kata yang akan keluar dari mulutnya akan jauh lebih menyebalkan dari respon sebelumnya, perempuan itu memutuskan untuk tidak menanggapi ucapan Jordy.

“Aku udah minta Erna pesenin makanan buat kamu.”

“Saya makan masakannya, tapi jangan marah lagi.”

“Udah dipesenin juga!” kesal Mentari yang membuat Jordy tersentak. Wajah istrinya makin merengut kesal setelah itu.

“Terus kamu maunya apa? Diajak ngomong baik-baik saya gak ditanggepin,” Jordy menghela nafas pasrah. Sedari tadi di kantor, masalah ini membuatnya tidak dapat bekerja produktif. Setiap membaca naskah, pertikaian mereka semalam selalu melintas dalam pikirnya.

Sebungkus rokokpun tak berguna. Tetap saja Jordy resah dan memikirkan pertengkaran hebat mereka, maka itu ia putuskan untuk pulang dengan harap bisa mengajak Mentari bicara baik-baik.

“Maaf, Mentari. Maaf sekali lagi,” ujarnya penuh penyesalan.

“Gak perlu minta maaf sama aku, minta maaf sana sama Idan,” ketusnya sambil berlalu meninggalkan Jordy. Lelaki itu menyusul sang istri yang telah sampai lebih dulu ke kamar anaknya.

“Idan bilang kamu nangis,” ucap Jordy menghalangi Mentari masuk ke kamar.

Mentari memandangnya dingin. “Terus menurut kamu, aku harus ngapain? Ketawa-tawa?” sinisnya.

“Jangan marah, Mentari. Saya udah gak tau lagi harus gimana ngomong sama kamu, tadi kerja di kantor pun saya gak bisa konsen.”

“Nyalahin aku?” Mentari menyahut kesal.

“Enggak...” Jordy menjawab pasrah, ia mengetukkan kakinya, gelisah. “Besok saya ada award.”

“Terus?”

“Ya ikutlah kamu, masa saya sendiri perginya?”

“Aku mikir dulu, mau ikut apa enggak.”

“Ya udah, sekalian mikir maafin saya apa enggak ya.”

“Kalo yang itu nggak tau!” Mentari menutup pintu kamar Aidan keras.

“Papiiiiii!” Aidan membuka pintu setibanya ia dan Mentari di rumah. Namun lelaki bertubuh tinggi itu justru menghiraukan panggilan putranya. Pandangannya tertuju pada perempuan di belakang Aidan.

“Dan, masuk kamar,” tegas Jordy ketika anak itu baru saja meletakkan tas.

“Pi...”

“Sekarang!” Suaranya meninggi, pertanda seorang Jordy sedang tak ingin dibantah. Aidan mau tidak mau menuruti perkataan ayahnya, ia menyeret kakinya untuk masuk ke kamar. Di depan sudah ada Erna yang siap menenangkan Aidan agar tak terlalu memikirkan pertengkaran pasutri baru itu.

“Dan, sini, Mbak Erna udah masak nugget kesukaan Idan. Makan sama Mbak Erna aja ya?” bujuknya seraya menggandeng lengan anak dari tuannya.

Sementara perempuan di hadapan Jordy itu membisu. Ia tak lagi punya tenaga untuk bertengkar dengan suaminya, meski tahu hal ini pasti terjadi.

“Dari mana aja kamu, baru pulang jam segini?” tembak Jordy dengan tangan terlipat. Memandang cara dandan Mentari, lelaki itu bergerak mendekati. Dengan ibu jarinya, ia menghapus lipstik merah gelap yang membubuhi lipstik istrinya.

“Yang kamu bawa itu anak saya! Apa-apaan kamu pake lipstik dan pakaian Kirana kayak gini? Saya kan udah bilang, jangan dateng ke sekolah. Kenapa kamu dateng?” bentak Jordy tanpa ampun. Puannya menghela nafas, hilang sudah rasa lapar yang menjera dirinya sedari tadi. Melihat murka pada sang suami, Mentari cuma bisa menundukkan kepala dan kembali meminta maaf. “Maaf, Mas. Aku—”

Ia menahan segala ucapannya dengan tercekat. Tahu betul jika suaminya tak akan percaya dengan apapun yang ia ceritakan, Mentari memilih menyimpannya sendiri. “Aku minum obat dulu, maaf ya.”

“Saya belum selesai bicara, Mentari. Aidan ngapain lagi di sekolah?” tanya Jordy dengan napas memburu. “Idan! Sini, turun!” teriaknya kemudian.

Mentari menggelengkan kepala. Ia tahu mungkin setelah ini, Jordy akan tambah membencinya atau bahkan dalam satu bulan menikah, Jordy bisa saja menggugatnya di pengadilan. Namun anak lelaki yang tak lahir dari rahimnya itu berhak mendapat keadilan. Mentari sudah cukup tersiksa jika Aidan terus-terusan ditegur ayahnya meski ia tidak melakukan kesalahan.

“Mas, kamu mau ngapain sih? Udah, biarin Idan istirahat aja,” bujuk Mentari masih dengan nada tenang, tapi Jordy segera menepis omongan istrinya.

“Kamu terlalu manjain dia, kan? Liat, sekarang Idan makin nakal, makin nggak bisa dikasih tau!” sengit Jordy.

“Kamu nggak tau kan Idan diapain?” Mentari menyamakan kedudukan.

“Apalagi kalau bukan mukul temennya. Dia apa-apa gak pernah mikir kalo ngelakuin sesuatu!” rutuk Jordy kesal. Emosinya makin tersulut, ia menarik kasar ponselnya hendak menelepon Erna untuk menyuruh Aidan turun.

“Ern—” Jordy nyaris melotot kala Mentari mendorong tangannya. “Kamu ngapain sih?!” Jordy berteriak kencang.

“KAMU TAU NGGAK, FOTO MBAK KIRANA DIHANCURIN TEMENNYA!” Mentari yang saat itu sebenarnya sangat lelah dan tak ingin bertengkar, pada akhirnya mengibarkan bendera. Ia tahu mungkin berat baginya untuk menerima Jordy masih menaruh hati pada mendiang Kirana, namun kali ini sikap Jordy yang selalu arogan terhadap Aidan membuat Mentari gerah. Anak itu tidak salah, yang kejam adalah dunia di sekelilingnya. Jordy? Dia mana mau tahu tentang itu.

Sejak menikah dengan Mentari, Jordy benar-benar menyerahkan urusan Aidan kepadanya. Mulai dari buku pelajaran, menemaninya mengerjakan tugas, hingga membuat bekal untuk bocah itu. Mentari tidak keberatan sama sekali, karena ia sangat menyayangi Aidan meski anak itu tidak lahir dari rahimnya. Tetapi, bolehkah sekali saja Jordy memikirkan Aidan? Bukan hanya tau membiayai hidup anaknya dan merasa paling berjasa karena menyekolahkan Aidan sampai perguruan tinggi kelak.

Mentari begitu paham akan kerinduan Aidan. Bahkan, sebenarnya pernikahan ini tak perlu terjadi apabila Jordy menyadarinya dari awal.

Aidan cuma membutuhkan kasih sayang dan perhatian ayahnya. Dia tak akan butuh Mentari jika saja teman-teman di sekolahnya berhenti merundung. Aidan ingin seperti anak lain, mendapat perhatian penuh dari orang tuanya. Namun laki-laki dengan ego besar seperti Jordy tak akan pernah mengerti. Ia hanya terus menyibukkan dirinya dalam pekerjaan. Dua puluh empat jam penuh, Jordy habiskan di depan laptop. Memeriksa naskah, atau meeting dengan para investor film. Jarang sekali lelaki itu menyapa anaknya, mengelus rambut Aidan sebagai bentuk kasih sayang. Mengapresiasi Aidanpun tak pernah terdengar sekalipun oleh Mentari. Hal ini membuat perempuan itu berkaca pada masa lalunya, yang beda—Mentari tak pernah merasakan kasih sayang itu dari ibunya yang telah berpulang.

Nafas Jordy tercekat saat Mentari menitihkan air mata.

Meski bukan pertama kali puannya ini menangis di depannya, namun kali ini buliran kristal itu cukup mengguncang Jordy.

Belum pernah Jordy melihat perempuan setenang Mentari menampilkan amarahya, selama ini semua itu Mentari simpan sendiri. Atau jangan-jangan kemungkinan yang paling Jordy takutkan terjadi.

Jenan mengetahui kisah kelam Jordy dan Mentari setelah tiga bulan mereka menikah.

Gemuruh di dada Jordy bertabuh, ingin segera ia hampiri Jenan dan memukulnya hingga berdarah. Namun satu ucapan Mentari yang menghentikan pikiran piciknya, “Idan nyontoh kamu, Mas. Kamu pakai emosi, dia juga. Kamu pake fisik, dia juga. Karena apa dia gitu? Karena dia sayang sama kamu. Apapun yang kamu perlihatkan, dia bakal ikut, karena buat Idan, kamu segalanya.” Mentari berjalan menjauh dengan menyeka sisa air mata yang tertinggal. Di hadapannya kini terlihat Aidan yang berlari ke arahnya, memeluk Mentari kuat sambil terisak, “Idan mau bobo sama Mamah, Idan takut bobo sendiri. Idan takut sama Papi....”

Jordy memandangi putranya dengan nafas tercekat. Perlahan ia mencoba mendekati putranya, namun lekas Aidan merapatkan peluknya pada Mentari, “Idan enggak mau sama Papi. Idan mau sama Mamah.”

Kala langkah kecil Idan mengikuti jejak Mentari, Jordy menunduk penuh penyesalan.

“Dan!” Sesaat Mentari terbangun dari tidur panjangnya, perempuan itu segera menghambur peluk pada Aidan. Air matanya berlinang, tubuhnya lemas namun sama sekali ia hiraukan, yang penting Aidan berada dalam dekapan.

“Mah, kenapa?” sahut Aidan terbingung-bingung, pasalnya Mentari terlihat sangat cemas seolah ia meninggalkan Aidan untuk waktu yang sangat lama.

“Kita dimana? Tangan kamu gak papa? Yang nakalin kamu siapa, Dan?”

Rentetan pertanyaan yang Mentari ucapkan sontak membuat Aidan mengerutkan kening. Sepanjang ia berada di ruang itu, 'kan hanya ada Mentari dan Gallen serta ibunya, bagaimana bisa Mentari tidak menyadarinya? “Mah, Mamah kenapa? Kan tadi Mamah yang ngomelin Gallen sama Tante Buruk Rupa itu. Gallen sampe meluk kaki Idan, Mah. Terus, dia juga bilang kalo Mamahnya nggak seperti Mamah, Tante itu jahat sama dia. Katanya sering dicubit padahal nilai dia bagus...”

Mentari tercenung. Dia bahkan tak ingat apapun yang ia katakan. Semua kejadian yang Aidan tuturkan adalah mimpi dalam tidurnya. Ya, Mentari bermimpi dan semua tindak-tanduk yang Aidan bilang terekam jelas bagai sebuah rol film yang berputar. Yang membedakan, jika Aidan bilang bahwa dirinyalah yang memarahi Gallen, dalam mimpi Mentari, Kirana-lah yang melakukannya. Ia masih mengingat tatapan dingin dan tajam Kirana terhunus penuh dendam pada sepasang ibu dan anak itu. Amarahnya mengudara bagai badai pasir di padang gurun.

“Dan...” Mentari lemas seketika. Satu-satunya yang ia lakukan hanya terus mendekap Aidan dan mengelus kepalanya, bersyukur jika Aidan masih berada di sisinya.

“Mah,” panggil Aidan kemudian. Sunyinya mobil pun pecah karena Idan terlihat sangat ketakutan. “Idan kira tadi bukan Mamah...” Ia mulai menangis dan memeluk Mentari.

”...Kenapa, Dan?”

“Tadi Mamah bilangnya 'Mami', Idan takut, Mah,” isak Aidan dalam rengkuhnya. Mentari lagi-lagi hanya bisa terdiam. Sebab jika ia pikir pakai logika, semua mimpi itu berasa nyata. Ia seperti mengatakannya, namun pemeran utamanya selalu Kirana. Mentari hanya ada di belakang, ia menjadi bayang dan bukan seseorang yang nyata.

“Mah, jangan gitu lagi...Idan takut..” bisik Aidan sekali lagi, suaranya mulai gemetar.

“Maaf, Dan... Maafin Mamah... Nanti Mamah minum obat yang banyak ya?” katanya dengan perasaan yang hancur.

The Mothers

“Oi, anak mami!” seruan seorang bocah lelaki berambut jabrik dan berseragam SD mengejutkan Aidan dari belakang. Ia tahu betul siapa pemilik suara itu, dan siapa juga yang berulah kepadanya di siang hari ini.

Saat tadi Aidan masuk sekolah bocah laki-laki yang pernah ia pukul hingga babak belur waktu itu, tidak berhenti meliriknya. Seringai licik penuh dendam terus terlengkung di bibirnya. Ia bersama kedua antek-anteknya bergerak, mengawasi Aidan. Bel istirahat berdentang, para siswa berhambur keluar kelas. Ada yang bawa bekal, ada pula yang jajan di kantin, namun tidak demikian dengan Aidan.

Seketika nafsu makannya lenyap walau tubuhnya mulai lemah, namun putra dari Jordy Hanandian, sang sutradara kawakan ini menahannya sebaik mungkin. Tatapan Aidan jatuh pada sebuah kertas prakarya yang ia buat sendiri saat pelajaran KTK.

Kertas yang berisi tempelan foto mendiang ibunya. Pada bagian pinggir, Aidan memberi hiasan bunga mawar—bunga kesukaan almarhumah sang ibu. Dengan segenap hati ia kerahkan segala usaha demi meraih nilai tertinggi pada pelajaran karya seni itu, tetapi dua bocah jahil bin nakal yang bernama Gallen dan Michael, mendatangi Aidan. Dengan wajah piciknya, mereka mengolok hasil karya Aidan.

“Mami kamu hidup lagi, ya?” Kepala Aidan mendidih detik itu. Tangannya mengepal kuat dan sabarnya pun sirna ditelan semesta. Nafas yang semula teratur berubah berang, begitupun dengan sorotnya yang menajam.

“Apaan tuh, Len? Masa cowok hiasannya bunga! Bunga kan buat orang meninggal, hiiiiiiy!” Tanpa seizin Aidan, Michael—pengikut setia Gallen merampas kasar kertas prakaryanya. Bocah itu menjentikkan jarinya tepat di wajah ibu Aidan, lalu mencabut paksa setiap bunga yang Aidan tempel sebagai bingkai.

“Apaan sih?!” Aidan merebut balik.

“Mami kamu itu udah mati, udah di tanah! Kayak kita doooong! Maminya nunggu di depan, gak cuma liat foto doang!” ejek Michael mengompori Gallen.

“Mike, kamu enggak tau ya? Idan tuh sekarang punya mamah baru! Mamah barunya itu naik motor, gak pake mobil kayak kita!” Gallen membuka mulut. Aidan tadinya masih bisa menahan sabar walau murkanya sebentar lagi meledak, ia terus mengingat ibu sambungnya yang selalu berpesan agar tak mementingkan omongan orang-orang. Tetapi Aidan tak semudah itu memaafkan orang, terlebih jika sudah menyangkut ibunya.

“Mamah baru kamu kerja dimana? Pasti cuma supir ojek doang,” cibir Gallen sembari menurunkan jempolnya.

“Emang kenapa kalo Mamah aku kerjanya cuma supir? Daripada Mamah kamu kerjanya cuma bisa marahin kamu, jewer kuping kamu, Mamah aku enggak pernah marahin aku! Mamah aku baik!” balas Aidan penuh amarah.

“Mamah baru kamu baik? Hahahaha, mana ada sih ibu tiri baik? Kamu jangan kebanyakan nonton kartun deh,” ledek Michael bergantian.

“Pasti dia nontonnya yang fairytale gitu, makanya kayak cewek, hahahahah.” Detik ketika Gallen memandangnya remeh, Aidan langsung maju. Tidak ada ampun bagi bocah tengik itu, Aidan menarik kerah seragam Gallen, dan tak perlu menunggu waktu lama, hidung Gallen berdarah. Ya, Aidan kembali melayangkan tonjokan pada anak itu. Mau Gallen menangis atau meringis, Aidan tak peduli. Di matanya, bocah menyebalkan seperti Gallen harus musnah.

“Jangan pernah hina Mamah dan Mamiku! Aku nggak suka!” Setelah puas membuat wajah Gallen babak belur, barulah Aidan melepaskan Gallen. Kali ini tidak hanya bibir yang berdarah, tetapi pelipis hingga mata Gallen dipastikan terluka. Semua anak yang menyaksikan Aidan murka berlarian panik, Nono sahabat Aidan berusaha menenangkan dengan menarik Aidan, namun emosi yang membuncah dalam benak sobatnya membuat ia gelap mata.

Alhasil Nono harus menunggu hingga emosi Aidan stabil baru ia berani mendekati. Karena jangan sampai ia juga menjadi sasaran Aidan berikutnya.

“Kamu udah dimana? Saya telepon dari tadi kenapa nggak diangkat?” Tak ada ramah tamah yang tertutur dari bicara Jordy ketika ia menghubungi Mentari.

“Mentari, kamu sudah dimana? Saya telepon kamu karena urgent, Aidan mukul temennya—”

“Kamu memang gak bisa diharapkan.”

Jordy terdiam. Nada angkuh itu datang kembali, yang berarti personaliti Mentari yang kedua kini telah menguasai dirinya.

“Enak-enakan ya kamu menikahi perempuan ini, sementara kamu tidak mengurus anak kita?” Lanjut perempuan itu dingin.

“Dengar! Siapapun kamu, jangan pernah datang ke sekolah! Pulang sekarang!”

“Terlambat. Perempuan ini tidak akan pernah menggantikan saya sebagai ibu dari Idan. Dengar baik-baik.” Sosok itu mematikan telepon Jordy tanpa memberinya celah untuk membalas. Jordy lantas memijat kepalanya, segala kalut dan khawatir kini bersarang dalam dirinya, berpikir keras betapa Mentari begitu tak bisa menahan diri disaat genting seperti ini. Helaan nafas Jordypun terdengar berat, rasanya semua sia-sia. Mau sampai kapapun Mentari mengonsumsi segala anti-depresan, ia tidak akan membaik.

Gallen, anak yang barusan dipukul Aidan kini telah berada di ruang kepala sekolah. Ibu Gallen, yang juga putri dari penyumbang saham terbesar di sekolah Aidan turut hadir mendampingi putranya yang terluka.

“Ini sudah yang kedua!” Perempuan congkak itu menggebrak meja. Ditariknya Gallen agar berdiri di sebelah, sorot mata intensnya tertuju pada Aidan yang menunduk.

“KAMU!” Bentaknya kemudian. “Tidak ada lagi skors yang berlaku! Saya mau, kamu keluar dari sekolah ini!” Ia menjerit kuat hingga terdengar ke luar ruangan.

“Selamat siang,” sapa seorang perempuan dengan pakaian serba merah gelap. Ia melangkah masuk, tidak langsung menyambangi Aidan, melainkan berdiri di hadapan ibu dari Gallen. Netranya bergulir sekilas pada Gallen sambil menyunggingkan senyum remeh.

“Kenapa kamu mencabuti bunga yang ditempel Aidan?” Suaranya pelan, namun jelas anak lelaki yang diajaknya bicara gemetar hingga menunduk takut. Bahkan dari celananya keluar cairan kuning karena ia sangat kalut.

“Say....saya cuma bercanda...” sahutnya sembari mengamit lengan sang ibu.

“Kamu kira saya sudah mati?” tantang perempuan itu dengan tatapan dingin. Semua yang berada dalam ruangan hanya bisa terdiam saat perempuan itu melantangkan suara. “Saya belum mati, saya datang. Karena saya tidak suka! Kamu mengganggu anak saya!”

Kali ini suaranya benar-benar bergemuruh, bahkan tanpa gebrakan meja, siapapun yang mendengar kecaman suara perempuan itu langsung bergidik. Bulu kuduk mereka satu persatu tampak berdiri, dan bukan hanya itu, aroma melatipun seketika tercium begitu kuat. Beberapa gelas yang berisi air jatuh dan pecah dengan sendirinya.

“Minta maaf sama anak saya,” suruh perempuan itu melipat tangan di dada. Aidan yang berdiri tepat di samping ibunya merapatkan posisi, ia menggenggam tangan ibu sambungnya kuat. Dan tanpa kata, anak lelaki itu pun menunjukkan raut bingungnya. Dalam hati ia berkata, kenapa Mamah tangannya dingin banget ya? Mamah sakit? Tapi kok...kuat kesini ya? Kemaren waktu Mamah sakit, lemes tuh, ini kenapa Mamah malah dateng?

Sayangnya, Aidan tak dapat langsung bertanya pada ibu sambungnya. Sebab tiba-tiba, Gallen dan ibunya meminta maaf hingga berlutut di depan kakinya. Ia tercengang bukan main. Gallen yang terkenal jahil dan menyebalkan, meminta maaf kepadanya sampai hampir menangis.

“Maafin aku ya, Idan. Aku cuma...cuma sirik aja sama kamu, karena kamu disayang sama mamah kamu...Mamah aku enggak gitu, mamah aku sibuk kerja, aku harus jadi seperti apa yang dia mau...”

Sontak ibu dari anak itu menoleh, “Gallen! Kamu ngomong apa? Jangan sembarangan!” tegurnya kemudian.

“Iya, Mamah aku selalu bilang kalo aku bodoh karena aku gak pernah dapet seratus. Tanganku dicubit Mamah karena aku dapet sembilan puluh, aku juga gak boleh makan malem kalo aku belum selesein PR, aku pernah dikurung sama Mamah satu jam karena nilaiku tujuh puluh. Maafin aku, Idan—”

“GALLEN! Kamu ini ngomong apa? Kamu mencoreng muka Mamah ya?!” Ibu Gallen panik seketika, sementara Aidan tercengang saat Gallen tidak berhenti membuka kartu ibunya.

“Mamah, aku juga nggak tau kenapa aku gak bisa berhenti ngomong gini! Aku gak bisa tahan mulutku,” ia meracau sambil menangis. “Mamah, tolong, Mah. Aku gak bisa berhenti bilang apa yang ada di kepalaku! Aku benci Mamah! Aku benci Papah, aku benci kalian! Aku mau kayak Idan, disayang, dimanja, aku gak suka dituntut!”

Gallen tidak berhenti memukuli kepalanya sendiri, bahkan tanpa ia sadari, ia pun ikut menusukkan pelipisnya dengan pensil hingga terluka. “Mamah, tolong! Mamah tanganku gak bisa berhenti! Mamaaaaaah!”

“Aidan, ayo ikut Mami pulang. Kita udah selesai.” Perempuan itu menarik tangan Aidan dan membawanya keluar dari ruang kepala sekolah, meninggalkan segala kisruh yang terjadi di dalam sana. Sedang Aidan dalam heningnya terdiam, Mamah kenapa nyebut dirinya Mami?

Sepuluh lewat dua puluh menit malam telah melewati kesepakatan Jordy dengan Aidan beberapa jam sebelum ia melanjutkan meetingnya.

“Papi, udah belom meetingnya? Idan ngantuk, Papiii. Idan mau main sama Papi, kan tadi Papi janjiiiii,” tanya Aidan setengah merengek padanya.

“Sebentar lagi, kan ada Mamah di sebelah. Idan main sama Mamah dulu, nanti Papi nyusul,” kata Jordy membujuk.

Walau tahu ucapannya hanya sebatas bualan, setidaknya dengan Mentari, segala tantrum Aidan mulai terkendali. Ia tak lagi terlalu rewel saat ayahnya berjauhan dan sibuk bekerja. Justru ia sibuk dengan bacaan-bacaan buku ceritanya. Mulai dari Humpty Dumpty hingga BenTen, Aidan terus bercerita pada Jordy tentang Mentari yang terkantuk-kantuk kala membacakan cerita untuknya.

“Mamah bobo,” suara Aidan terdengar sedih.

“Ya udah, biarin Mamah istirahat sebentar. Idan tidur sana temenin Mamahnya,” suruh Jordy namun segera dibantah oleh Aidan. Anak itu menghela nafas pelan, “Nanti Papi pesenin makanan. Kalian bertiga belum makan dari tadi pasti?”

“Idan sama Mbak Erna udah, Mamah belum.”

“Kok?” Alis Jordy terangkat.

“Kata Mamah mau nunggu Papi selesai meeting biar makan bareng. Idan kelaperan jadi Idan makan duluan. Papi sih huft!” rutuknya.

“Emang kenapa lagi, Dan...” sahut Jordy sedikit merasa bersalah.

“Mamah tadi minum promaag, asam lambung katanya, tapi Mbak Erna bujuk makan nggak mau, nungguin Papi..” Anak itu menghela nafas lagi. “Makanya, Papi, udah sih suruh Om Jenan aja yang wakilin, ayo ke kamar sebelah, Idan sama Mamah udah di kamar.”

“Entar lagi Papi nyusul. Papi beli makanan sama cari obat dulu buat Mamah.” Jordy segera menutup teleponnya dengan sang putra, lalu bergegas meninggalkan kamar hotel.

“Bu, makan sedikit nggak papa, Bu. Nggak usah nunggu Bapak, emang biasa Bapak tuh kalo meeting sampe malem—” Ucapan Erna yang terlihat sedang membujuk istri tuannya seketika terhenti saat Jordy berdiri di ambang pintu.

Lelaki itu membawa sebungkus nasi goreng yang ia semogakan dapat diterima oleh perut Mentari. Netranya lurus-lurus memandang sang istri yang tengah terkulai di ranjang, wajahnya memucat dan rambutnya sangat acak-acakan.

“Erna, istirahat aja. Ibu biar saya yang urus,” titah Jordy, melangkah masuk ke kamar. Di sana terlihat Aidan yang sudah lelap dalam tidurnya, tangan anak itu terselip pada jemari ibu sambungnya, seakan ingin menjaga sang ibu disaat ayahnya tengah sibuk bekerja.

Jordy diam, berusaha menekan segala perasaan membuncah dan haru yang berkecamuk dalam benaknya. Aidan putranya yang selama ini selalu ia kira kekanakan dan cuma tau meminta, justru jauh lebih siaga ketimbang dirinya. Jordy bagai ditegur karena tak becus menjalani tugasnya sebagai seorang suami.

“Mas, udah selesai meetingnya?” tanya Mentari sembari meremas perutnya pelan. Melihat Mentari yang terus-terusan tak memindah tangan dari sana, Jordy mendekat, memutus jarak diantara keduanya.

“Makan dulu,” ucap Jordy pelan. “Lain kali gak perlu nungguin saya selesai ker—”

Tapi nyatanya Mentari memiliki sifat yang begitu mirip dengan Aidan, yakni sama-sama keras kepala. Semakin Jordy beritahu, ada saja bantahan yang mereka lakukan. Jika Aidan lebih verbal dan mengungkapkan apa yang ia rasa, Mentari, ibu sambung putranya berkebalikan. Perempuan itu tiba-tiba mendekap Jordy erat hingga membuatnya terpaku pada aroma manis yang mengudara hingga ke penciumannya.

“Maaf ya, aku cuma pengen meluk kamu. Abis seharian ini kamu kayaknya capek banget,” senyumnya melengkung setelah itu.

“Drakor mana yang lagi kamu tonton?” Jordy melepas peluk istrinya. Alih-alih tersinggung, Mentari kembali menyugar tawa, “Apa ya? Crazy Love. Tapi baru episode awal. Ceritanya tuh menurutku bagus deh, gak klise seperti kebanyakan drakor lain, kalo di kantor kamu tuh misalnya mau bikin film atau web series gitu, ada cari referensi nggak sih? Kalo iya, coba deh tim kamu nonton drakor itu. Bagus.”

Binar hangat dan antusias yang terpancar dari mata bulan sabit Mentari perlahan-lahan membuat Jordy tak mampu melepas pandangannya dari paras ayu sang istri. Bibirnya mengulum senyum, dan meski wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, percayalah hal sebaliknya ia simpan serapih mungkin dalam hati.

“Mas, eh? Maaf-maaf, aku harusnya gak terlalu banyak ngomong ya? Udah tidur aja gih,” ucap Mentari seraya bangkit dari kasur, namun seketika langkahnya harus terhenti tatkala Jordy kembali menumpukan tangannya di salah satu lengan Mentari.

“Kenapa?” tanya Mentari bingung.

“Makanan yang saya beli mau dibuang aja?” Mentari sontak melirik bungkusan makanan yang sedari tadi berada di sebelah kanan Jordy.

“Lho, kupikir itu punya kamu. Nggak papa, kalo mau dimakan, kamu aja.”

“I bought it for my wife,” gumamnya dengan suara yang sangat pelan, hingga nyaris tak terdengar Mentari.

“Aku denger kamu ngomong apa,” tandas sang puan tiba-tiba.

“Kalo denger, nunggu kiamat dulu baru dimakan?” desis Jordy yang justru ditertawai Mentari.

“Iyaaaa, aku makan,” sahut Mentari kembali menahan tawanya yang hampir pecah karena sang suami langsung tidur setelah memastikan Mentari menghabiskan makan yang ia pesan.

“Papi turun, Mah! Tuh Papi!” Telunjuk mungil Aidan tertuju pada laki-laki bertubuh tinggi dengan kaus putih bertuliskan “VETEMENTS.” Lelaki itu menjadi pusat perhatian seketika, terlalu mudah mengenali sutradara berbakat tersebut. Tubuh tinggi menjulang Jordy menjadi buah bibir di antara perempuan-perempuan yang terpesona padanya. Mentari tahu itu. Pujian-pujian kekaguman atas paras suaminya terdengar hingga ke telinga. Dibilang gerah, Mentari tentu merasakannya. Tapi sekali lagi, laki-laki yang menikahinya ini bukanlah pria sembarangan. Mantan istrinya seorang aktris yang berasal dari keluarga kaya, begitupun Jordy. Dibandingkan dirinya yang seorang rakyat jelata, tentu netizen menemukan kejanggalan atas pernikahan mereka.

“Cantik, tapi hamil duluan gak sih?” Selentingan Mentari dengar percakapan seorang pegawai hotel dengan salah satu temannya.

“Bisa jadi, kali,” sang teman menyambut obrolan si pegawai hotel dengan tawa remeh. “Lo liat gak, dia usaha banget loh deket sama anaknya Jordy. Pake susuk apa dia ya?”

“Parah lo, hahahaha,” ujar sang pegawai hotel itu lagi. Keduanya melirik Mentari sekilas lalu pura-pura berdeham saat dirinya balas menatap mereka. Mentari hanya tersenyum menanggapi cibiran itu.

“Eh, eh,” bisik sang pegawai hotel belum kapok. “Kemaren tuh di TikTok, rame banget katanya pas mereka nikah, periasnya kesurupan, njir.”

Alis teman si pegawai langsung terangkat, “Berarti susuknya jalan gak sih? Mungkin ada khodamnya kali.”

Berita tentang perias pengantin yang kesurupan itu sempat tak terdengar oleh Mentari. Ia akui sejak awal prosesi sembogo dilaksanakan, kepalanya memang sakit dan tubuhnya sedikit berat. Namun setelahnya Mentari tak ingat lagi apa yang ia lakukan. Seingat Mentari, Jordy ada di sebelahnya dan tidak melepas genggaman tangan Mentari. Mendengar pembicaraan dua pegawai hotel tersebut, Mentari melipir sejenak untuk menelepon Bulik Ratih yang sudah kembali ke Yogyakarta.

“Bulik, halo? Ini Riri, Bulik.”

“Ya...Ri?”

“Bulik... bisa ceritain nggak, apa yang terjadi di malam pernikahanku sama Mas Jordy? Semua berjalan dengan baik kan, Bulik?”

Mentari cukup tegang saat Bulik Ratih terdiam sejenak. Embusan nafas buliknya itu terasa berat, suaranya pun parau, “Nduk, usahaken kalau kemana-mana bareng Jordy ya? Jangan sendiri. Berdua sama anaknya juga kalau bisa jangan terlalu sering...”

Mentari mengernyit tak mengerti. “Emang kenapa, Bulik?”

“Ibune anak itu ndak rela nek kowe deket mbe anake. Kayaknya sih gitu. Bulik bukan maksud melarang kamu sayang sama anaknya Jordy, tapi ini demi kebaikan kamu. Apa ndak kasihan sama dirimu? Bojomu kuwi ndurung selesai ambek sing mbiyen, terus moksonen rabi karo awakmu, ngko awakmu sing loro dewe,” peringat Bulik Ratih yang saat itu juga menimbulkan sesak dalam hati Mentari. Bahkan Bulik Ratih yang notabene-nya tidak mengetahui seperti apa hubungan Jordy dan Mentari, dapat menilai jelas jika pernikahan ini tidak dilandasi cinta.

Mentari tersenyum pahit, “Insha Allah, semua baik-baik saja, Bulik. Matur nyuwun, nggih, Bulik.”

Wajahnya yang tadi sumringah kini berubah sendu dan kalut. Ia berkata demikian karena tak terlalu ingin terpengaruh oleh hal-hal diluar nalar seperti yang disampaikan Bulik Ratih. Selain itu, Mentari tahu apapun yang Bulik Ratih dan keluarganya yakini, tentu akan dimentahkan oleh suaminya.

“Dari siapa?” Suara Jordy memecah kesunyian dan racaunya pikiran Mentari.

“Udah nemenin Aidannya?” Pertanyaan itu terdengar begitu palsu di telinga Jordy.

“Dari siapa?” ulangnya penuh penekanan.

“Bulik Ratih, nanyain kabar kita gimana,” dusta Mentari dengan senyum meyakinkan.

“Handphone kamu yang satu lagi ketinggalan di kamar.” Lelaki itu menyerahkan ponsel Mentari yang satu lagi. Ponsel ini adalah ponsel yang selalu ia gunakan saat bekerja.

“Eh iya, makasih, Mas. Kamu tadi udah makan?” tanya Mentari pelan.

“Udah,” sahutnya singkat. Lelaki itu kemudian menggeser tubuhnya sebentar, “Rame notifnya,” gumamnya setelah itu.

“Oh iya, soalnya ini buat kerjaan juga kan. Jadi emang buat ngurus ekspedisi kantor—”

“Paling rame dari Jenan. Berisik, istirahat saya terganggu.”

Tepat ketika Jordy tiba-tiba menggeret nama Jenan, Mentari tampak ketakutan setengah mati. Ia akui terkadang sisi teledornya sering membawanya pada masalah, tapi yang ia tak sangka Jordy memasang wajah kecut saat menyebut nama Jenan.

“Maaf kalo gitu. Pak Jenan cuma nanya aja kok,” kata Mentari mencoba menjelaskan.

“Nanya kapan kamu masuk kantor, nanya apakah kamu bisa kerja lagi setelah kita nikah. Atau nanya kamu udah makan apa belum, dan pengen melindungi kamu as a friend?”

Rentetan pertanyaan yang Jordy sampaikan membuat Mentari ciut dalam sekejap. Ia bahkan tak tahu bahwa suaminya membaca semua yang Jenan katakan kepadanya. Dan Mentari kira Jenan hanya ingin mendoakan ia dan Jordy sebagai teman biasa, tak mungkin lebih dari itu.

“Dia nggak ngapa-ngapain kok, Mas. Malah ngedoain semoga kita langgeng,” ucap Mentari, mencoba menetralisir amarah dalam diri Jordy. Lagipula Jordy dan Jenan kan berteman sejak lama, seharusnya Jordy tak perlu semarah itu pada sahabatnya. Kalau dalam bekerja saja ia begitu memercayai Jenan sebagai wakilnya, mengapa untuk hal yang satu ini, Jordy justru menyingkirkan rasa percaya itu?

“Saya kan udah pernah bilang sama kamu untuk bilang ke dia, suruh dia cari perempuan lain aja,” dumelnya sembari menyimpan ponselnya sendiri pada saku celana. Mentari tersenyum saat mendapati wajah Jordy terlihat kesal. “Aku gak kemana-mana, Mas. Gak usah ngomel,” bujuk Mentari dengan menyapu lengan suaminya.

“Tuh tangan kenapa lagi?” Sorot mata Jordy kini turun kepada salah satu jemari Mentari yang terluka.

“Kebeset,” sahut Mentari enteng seperti tak ada beban.

“Kamu tuh teledor banget. Pantes aja Aidan kayak gitu. Jatoh dia kepleset,” beritahu Jordy santai. Berbeda dengan Mentari yang langsung khawatir dan berlari meninggalkan suaminya.

“Mentari,” tangan Jordy menahan lengan puannya.

“Kamu kok bisa-bisanya tenang ya anaknya jatuh? Bukannya ditolong, malah nahan kayak gini. Sana ah!” tepis Mentari tak kalah galak.

“Idan itu laki-laki, luka sedikit gak papa,” kata Jordy.

“Dia posisi jatuhnya gimana? Kalo kepala duluan masih berani bilang nggak papa?” ketus Mentari sebal, melepas tangan Jordy yang betah memegang tangannya, kemudian berlari ke tepi kolam mencari Aidan.

“Mamaaaaaaaaah!” Tangis Aidan mengguncang seluruh pengunjung hotel saat Mentari sampai di sana. Lututnya berdarah, tapi beruntung tak terjadi apa-apa pada lengan maupun kepalanya. Mentari yang sudah sampai lebih dulu dibanding Jordy segera mengambil kotak P3K untuk membubuhkan obat merah pada luka Aidan.

“Idan tadi ngapain bisa jatuh begini?” tanya Mentari khawatir. Ia segera membersihkan cucuran darah segar yang mengalir dari lutut kiri Aidan dengan kapas basah.

“Tadi Idan mau main perosotan itu,” adu Aidan terisak-isak.

“Terus? Mbak Erna ada kan?” Sorot mata Mentari kini menatap sang pengasuh putra sambungnya.

“Iya, Bu. Ada saya, tapi tadi Den Idan kepengen banget main di kolam besar, tingginya belum cukup, jadi pas naik dia kejungkal...” tutur Erna sedikit takut pada nyonya barunya. Sedangkan ayah dari anak itu cuma diam dan memandangi lutut Aidan yang berdarah.

“Dan, makanya kalo dikasih tau tuh didengerin. Jangan ngebantah. Kan Papi udah bilang sama Idan, main di kolam kecil aja.” Lima detik setelah bungkam, Jordy langsung mengomeli putranya.

“Tapi kan Idan udah gede!” sahut Aidan tak mau kalah. Kalau begini, Mentari terpaksa ada di pihak Jordy. Apa yang Jordy bilang sedikit ada benarnya, keras kepala Aidan membuat Jordy kewalahan.

Maka itu, Mentari ingin menengahi cekcok mulut yang sebentar lagi pasti terjadi diantara keduanya.

“Dan.” Mentari mendekati Aidan perlahan, diusapnya lembut kepala Aidan sejenak. “Sekarang Idan ngerti kan kenapa Papi suka ngelarang Idan?”

Sambil terisak, Aidan mengangguk. “Tapi...”

“Papi marah sama Idan itu ada maksudnya, bukan semena-mena. Buat ngasih tau Aidan mana yang boleh Idan coba, mana yang enggak. Kalau gini kan Idan sendiri yang sakit, Papi sama Mamah jadi sedih kalo Idannya sakit,” bujuk Mentari lembut. Jordy hanya bisa diam dan sedikit tertegun akan sikap lembut istrinya, teringat pesan Jenan semalam akan ketulusan Mentari pada putranya.

“Ya udah entar-entar, Idan nggak nyoba lagi, tadi Idan liat anak-anak lain nyobain, jadi Idan mau ikutan,” keluhnya pada Mentari.

“Nanti Idan pasti boleh main ke kolam gede, tapi sabar sedikit lagi ya?” kata Mentari lagi. Dan dalam hitungan detik, Idan mengangguk setuju. Jordy berdeham pelan, mengusir canggung yang seakan membangkitkan desir di benaknya. Dalam heningnya, Jordy membatin, pantes Jenan gak mau lepas.

Terpukul dan tersiksa di waktu bersamaan, aku membeku diantara puing-puing rasa yang tercipta untuk Jordy.

Lelaki itu—lelaki yang beberapa jam lalu berikrar menjagaku seumur hidupnya, kudapati tengah duduk termenung di sofa kamar hotel kami. Wajahnya lelah, namun bias penyesalan dan kesedihan terpancar jelas di sana.

Sungguh, apakah aku tidak begitu ia inginkan? Hingga melirikku saja, kurasa Jordy tak sudi.

Dan ini sebabnya aku memilih berlama-lama di kamar sebelah dengan Aidan. Saat kulihat ponsel, tertera lima missed calls Jordy. Mungkin ia butuh sesuatu atau sekedar menanyakan Aidan rewel apa tidak.

“Sebentar ya, Dan. Papi telepon,” kataku pada Idan yang nyaris tertidur di sebelahku.

“Mamah bobok sini aja, jangan ke sebelah. Idan mau bobo sama Mamah,” rengeknya.

Aku tersenyum kelu, menyugar surai hitam Aidan, “Iya, nanti Mamah ke sini lagi. Idan sama Mbak Erna dulu ya? Gak papa, ya?” bujukku lembut.

“Iyaaaaa, tapi Mamah nanti disini ya,” katanya menepuk sebelah ranjang yang kosong.

Aku mengangguk, lalu mengusap tangan Aidan sekali lagi agar ia lebih tenang. Setelahnya, aku segera menitipkan Aidan pada Erna dan langsung menuju kamar Jordy.

“Mas?” Sesampainya aku di kamar, aku menemukan Jordy tengah menenggak satu loki kecil minuman berakohol. Ia duduk di sofa, sembari memijat kepalanya pelan.

“Kamu minum satu gelas aja, kan? Atau ini udah gelas kedua?” tanyaku panik, segera kuhampiri Jordy yang terduduk lemas sembari menundukkan kepala.

“Mas? Udah, jangan minum lagi. Udah ya? Istirahat,” bujukku pada Jordy. Namun lelaki itu tak mendengar permintaanku. Tangannya meraih loki-loki kecil di depan, hendak menenggak satu loki berikutnya.

Aku menatapnya miris, seakan paham mengapa ia bertindak sebrutal ini bahkan di malam pertama kami sebagai suami istri. Paras tampannya mengeras hebat, menghalau tanganku pelan saat aku hendak menghentikan segala tindak tanduknya. Jika ditanya apakah aku lelah menghadapi Jordy, tentu aku tak dapat menutupi betapa lelahnya fisikku hari itu, namun sejak Jordy berjanji akan menikahiku, akupun bersedia menjaga dan mencintai Jordy seumur hidup.

“Udah ya?” ulangku pelan, mencoba menyenderkan tubuhnya pada sofa. Jordy menengadahkan kepalanya sambil terus memejam mata saat aku bangkit berdiri hendak dan menuangkan segelas air putih untuknya.

“Na... I made a mistake. I'm in trouble, a really big trouble. Maaf.”

Detik kudengar Jordy berucap se-nelangsa seperti itu, gelas yang tadinya berada di tanganku, mendadak jatuh dan pecah. Lagi-lagi ujung jariku berdarah. Ini sudah kesekian kalinya aku selalu melukai diri jika sesuatu yang berhubungan dengan Kirana terucap. Aku hanya bisa terdiam sembari menekan ujung jemariku yang terus mengalirkan darah. Perih mulai terasa menghujam diri, tapi aku berusaha keras menghiraukannya. Yang kulakukan justru menepuk pundak Jordy pelan, sesekali kuusap sebentar agar setidaknya lara dalam hati Jordy tak bertambah parah.

“Enggh...” Jordy melenguh singkat. Ia melirikku dengan mata setengah terbuka, karena alkohol masih begitu memengaruhinya.

“Masih pusing?” tanyaku.

Jordy cuma menggeleng sambil menepuk kepalanya lagi.

“Jangan dipukul gitu, nanti tambah sakit.” Aku menghalau tangan besar Jordy.

“Jangan pergi,” pintanya dengan suara parau.

“T-tapi Idan gimana? Dia nggak mau tidur kalo aku gak di sebelah, nanti rewel.”

“Jangan...” Kulirik tangan Jordy yang tiba-tiba telah berpindah di pergelangan tanganku.

“Kita berdua dulu ya, Na? Idan kan udah ada yang jagain, Erna. Ya?” Suaranya yang lembut membuatku semakin rapuh. Air mataku mengalir seketika, napasku memburu saat kudengar bukan namaku yang ia sebut. Meski nadanya terdengar memohon, tapi aku tahu menikah dengan Jordy bukanlah sebuah pilihan tepat.

Jika Jenan diberi satu kesempatan lagi untuk menikah, maka perempuan yang berdiri anggun di depan tadi, adalah pilihannya. Jenan pastikan bahwa perempuan bermahkota itu akan menjadi ratu selama mereka mengarungi kehidupan.

Ia tak berhenti memandang wanita itu dari kejauhan. Sedikit saja berpalingpun Jenan enggan melakukannya. Netranya terpatri pada jemari lentik sang puan, ia berandai jika seandainya lelaki beruntung itu adalah dia, bukan Jordy si bajingan.

Ketika Jenan membuka unggahan status whatsapp Jordy, ia sontak menggebrak meja. Murkanya meledak memenuhi dada.

Bagaimana bisa Jordy menikahi wanita tak bersalah itu? Apa dia tak memikirkan kedepannya? Isi pikiran Jenan diburu oleh puluhan pertanyaan yang sama. Hatinya menggebu untuk menjaga sang puan dari laki-laki yang baru saja mengikrarkan diri menjadi suaminya.

Maka dalam sepersekian detik Jenan memutuskan untuk mengambil screenshot dari apa yang Jordy unggah.

Bajingan! Tumpah sudah segala tumpuan amarahnya. Bila saja lelaki yang ia sumpahi itu ada di depan Jenan sekarang, ia takkan segan menghabisi Jordy dengan tangannya sendiri.

Rahang mengeras serta tangan mengepal. Penyulut api di tangan tak sengaja membakar ujung telunjuknya, pertanda Jenan kini begitu ingin lari memeluk mataharinya.